What I learned on Growth Hacking

Gideon Manalu
7 min readAug 19, 2018

--

“WOW!”

Pertengahan tahun lalu, kata tersebut adalah satu hal yang terlintas di benak saya ketika pertama kali membaca banyak cerita tentang Growth Hacking.

Awalnya melihat istilah tersebut dari sub-forum baru yang belum ada isinya di sebuah media marketing yang saya ikuti.

Rasa ingin tahu karena istilahnya yang terdengar unik, membawa saya mengetik keyword “Growth Hacking’ di Google, lalu bermunculan list artikel mulai dari penjelasan hingga cerita suskes.

Jadi, apa itu Growth Hacking?

Yang pasti bukan istilah hacking pada umumnya di dunia IT, dimana kalian bisa membobol sebuah website.

Istilah ini merupakan bagian dari strategi pemasaran digital, tapi berbeda dengan digital marketing.

Karena mindset dari Growth hacking, artinya kalian harus mendatangkan user sebanyak-banyaknya, dengan cara memahami user melalui data. Mencari tahu bagaimana user mengadopsi produk kita, lalu fitur-fitur seperti apa yang layak dan dibutuhkan user agar pada akhirnya company bisa mendapatkan revenue — di kemudian hari.

Ada banyak contoh Growth Hacking yang berhasil dan populer, seperti Hotmail dimana setiap email ke pengguna ditambahkan catatan kaki yang tulisannya ‘Get your free email at Hotmail’. Strategi sederhana Hotmail tersebut mendatangkan 12 juta pengguna sehingga perusahaan layanan email tersebut diakuisisi Microsoft pada 1997 dengan banderol 400 juta dollar atau setara Rp 5,2 triliun.

Ada juga Dropbox, dengan sistem refferal ‘Get Up to 16 GB Free space by inviting your friends to Dropbox’ yang berhasil menumbuhkan pengguna hingga 3900% dalam 15 bulan dan kini strategi ini juga banyak dipakai para pemain startup.

And… enough with numbers. Let’s get straight to the chase: how did they do it?

Pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang sama, dan membuat saya mengajukan diri ke kantor untuk mendaftar ke sebuah training Growth Hacking. Saat itu, saya sudah hampir dua tahun berkutat dan terlihat mentok di dunia SEO.

Because I just realized, that only SEO is not enough to growth the business.

Tiga hari lamanya training dasar Growth Hacking yang saya ikuti bersama teman-teman yang kebanyakan berasal dari startup seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dll. Melakukan brainstorming dari sebuah contoh kasus, membaca data, belajar bagaimana menentukan sebuah user behaviour dan banyak hal lainnya.

Setelah selesai training, saya sadar bahwa akan ada banyak PR menumpuk.

Karena untuk membaca data, ada berbagai tools yang dipakai. Dan bisa dibilang produk website yang ada di perusahaan saat itu tidaklah cukup untuk mengumpulkan data. Saya tidak pernah memakai paid tools dan data yang ada di Google Analytic belum benar-benar tersinkronisasi dengan baik. Tidak ada funnel, bahkan beberapa report di menu Behavior baru saja di aktifkan.

Mengingat janji kepada perusahaan sebelum mengikuti training, dan harga training yang tidaklah murah, membuat saya berpikir untuk melakukan hal yang lebih cepat dari pada menunggu mengumpulkan data hingga benar-benar lengkap. Apalagi kalau bukan mengandalkan asumsi, yang pada akhirnya, hanya berbuah keberhasilan jangka pendek dan kegagalan jangka panjang.

Keberhasilan jangka pendek yang saya dapatkan adalah berhasil menumbuhkan jumlah user sekitar 250% dalam waktu 3 bulan.

Didukung dengan tampilan UI website yang juga improve di saat yang sama oleh Tim Desain, membuat banyak peningkatan signifikan di segala sisi mulai dari average time user on website, views per user, dll.

Hasil itu juga yang membuat saya berkesempatan untuk mengikuti salah satu event digital marketing terbesar di Asia, Intrigue Summit di Singapura — full di biayai oleh kantor.

Di Event tersebut saya bertemu dan mendengar banyak kisah digital marketer dari berbagai brand dunia, bahkan berkesempatan duduk langsung serta satu meja dengan digital marketer dari Mercedez hingga Tokio Marine Insurance. Sebuah pengalaman yang luar biasa! Tapi lagi-lagi hanya meningkatkan ego asumsi. Yang berbeda adalah sekarang saya mendapatkan cukup banyak asumsi berdasarkan kisah orang lain.

Setelah itu saya juga mengambil training Google untuk sertifkasi Adwords (Sekarang Google Ads) karena mulai berpikir bisa melakukan Growth melalui Adwords — layaknya sebuah startup, perusahaan saya juga rela melakukan “bakar duit” demi mendapatkan user.

Hasilnya saya bisa mendatangkan user 3 kali lipatnya, dibandingkan rekanan digital agency selama ini.

Intinya, semua berhasil berjalan dengan lancar. Setidaknya sampai penghujung akhir tahun 2017.

Kegagalan jangka panjang yang dirasakan, sebenarnya masih belum terselesaikan dan masih dalam pengerjaan setidaknya hingga sekarang (-Agustus 2018).

Karena dari jumlah user yang bisa didapatkan tahun lalu, faktanya tingkat retention-nya sangatlah rendah.

Salah satu poinnya adalah kenapa bisnisnya masih tidak berkembang juga.

Konsep baku dari Growth Marketing yang mengandalkan metrik-metrik seperti AARRR (Acquisition, Activation, Retention, Referral, Revenue) pada akhirnya mentok pada retention — dalam kasus ini.

Retention adalah cara agar pengguna kembali ke situs. Contoh kasus, yang sedang terjadi saat ini adalah dari 10.000 user yang datang pada minggu pertama hanya 1% (100 user) yang kembali datang di minggu ke-14.

Masalah tidak berhenti sampai disitu, 99% user yang hilang juga meninggalkan pain points. Karena produk website yang ada hanya bisa memberikan sedikit good points dan tidak ke semua user.

Pain points disini bisa timbul karena beberapa masalah, contohnya user gagal memahami tujuan dari produk.

Produk website yang saya jalankan memberikan kesempatan user untuk mencoba barang secara gratis — tapi tidak untuk semua user yang mendaftar.

Lalu bagaimana dengan user yang mendaftarkan diri dan beranggapan hanya dengan mendaftar dia pasti akan dapat barang gratis? Bagaimana dengan user yang sudah mencoba lebih dari 3x mencoba mendaftar tapi tidak pernah mendapatkan hadiah?

That’s what I called a pain points.

Dan untuk bisa mengatasi pain points user ini jalan masih panjang, yang paling susah itu ada yang dikenal dengan istilah boomerang user.

Boomerang user akan membagikan kisah pain points yang dirasakan ke orang banyak dan dapat memberikan efek yang sangay fatal pada produk kita.

Bahasanya terlalu berat? Contoh simpelnya seperti ini.

Kamu ingin membeli sebuah produk dari sebuah toko online di Tokopedia/BukaLapak, tapi dengan feedback toko seperti ini: bintang lima 1 komentar, bintang tiga 50 komentar, bintang satu 40 komentar, dan total rating toko hanya 1,5.

Yang kasih bintang tiga sama bintang satu itu disebut boomerang user.

Pasti kalian mikir dua kali kan buat beli di toko itu? Kalau udah ga ada yang beli ya pastinya itu toko tutup.

Nah, gimana kalo yang tutup web bisnis dari perusahaan kalian?

Lalu bagaimana cara menyelesaikannya masalah diatas?

Kalau contoh kasusnya seperti toko online diatas ada beberapa pilihan, salah satunya kasih promo yang banyak. Cari banyak pembeli lagi, tapi dengan catatan memberikan kualitas pelayanan berbeda dan lebih baik. Sehingga kualitas rating juga akan meningkat.

Lalu bagaimana dengan kasus saya?

Belum selesai.. kan udah bilang sebelumnya hahaha

Yang pasti, nanti akan di update kembali dan saya akan menjelaskan bagaimana permasalahan dari awal dengan detail, lalu bagaimana cara menyelesaikannya.

FYI, kasus yang saya alami sudah terjadi dan berjalan sejak awal. Bahkan dari sebelum saya mencoba untuk melakukan konsep Growth Hacking dengan metrics pertumbuhan user.

Karena memang tidak ada yang sadar dan tidak ada orang di tim yang bertanggung jawab terhadap user.

Saya juga akui bahwa setahun terakhir berada di metrics yang salah dan bisa dibilang ambigu. Banyak keputusan menggunakan asumsi, dan ini merupakan akar permasalahan.

Asumsi yang ada malah melahirkan konsep sebaliknya, yang justru terlihat seperti Growth Problem. Karena tidak menyelesaikan pain points yang ada pada user lama, tapi malah tetap terus menerus menumbuhkan jumlah user baru.

Mungkin bila saya lebih bersabar tahun lalu dan tidak menggunakan asumsi, saya bisa menemukan akar masalah ini. Karena metrics Growth Hacking tidaklah selalu menumbuhkan user baru, tapi bisa juga bagaimana mempertahankan user yang pernah menggunakan produk kita agar selalu loyal.

Sekarang semuanya harus mulai kembali dari nol, mulai lagi dari memahami user dan mencoba berpikir untuk bisa mengembalikan lebih dari 50 ribu user yang telah merasakan pain points.

And now, I’d just started by define growth as a number of active users. Often in the next few months, the growth may be more on increasing the retention time of a new user.

So the lesson is,

It’s very important to define, collect, analyze and optimize the right metrics.

Tidak ada lagi asumsi.

In turn, maybe before you think I know a lot about Growth Hacking. No, I’m not.

Tapi saya berharap kasus diatas bisa jadi salah satu pelajaran yang penting.

Jangan pernah juga terlalu banyak melihat kasus keberhasilan Growth Hacking orang lain, tapi cobalah berkreasi melalui data dan bikin kasus keberhasilan kalian sendiri.

Then you’ll have an opportunity to become a growth hacker.

At least, If you do this, you’ll save yourself from the month of pain I went through.

So, remember this:

People first. Product later.

Growth the right thing, Growth the thing right.

When you found a problem, and the solution is outside your assume, or even your knowledge. Remember, you just push a solution, that doesn’t solve the bigger problems.

--

--