Papa Kandung?

Giselle Azarel
4 min readMar 18, 2022

--

Masih di “private” area

“By the way, nice to meet you, I’m Gabriele.” kata pria berambut hitam yang pertama kali membuka suaranya tadi.

“Nice to meet you, cantik, gue Yujin.” kata pria berambut merah yang menertawainya tadi.

“Gue Marlo, nice to meet you.” kata pria berambut pirang yang duduk jauh diujung.

Tersisa perempuan jual mahal tadi yang tidak berniat untuk memperkenalkan dirinya.

“Woi, kenalan dong Lyn.” kata Yujin.

“Jangan acuh tak acuh gitu dong dek.” tegur Gabriele.

“Ck. Gue Lynette, gak nice to meet you.” kata Lynette sinis, tapi tetap menjulurkan tangannya ke Luna.

“Haha! Nice to meet you guys, I’m Luna.” kata Luna dengan senyumannya, dan membalas jabatan tangan Lynette.

“Lo ngga ngambil champagne?” tanya Yujin.

“Dimana emangnya?” tanya Luna.

“Noh disana.” Yujin menunjuk stan wine dan champagne yang letaknya tidak jauh dari sini.

“Ok, aku ambil dulu.” kata Luna, langsung beranjak dari tempat duduknya.

Tepat 10 langkah ke kiri, Luna sudah berdiri di depan stan wine dan champagne, yang tidak ada penjaganya.

Di stan wine itu, hanya menyisakan sekitar 50 botol wine, serta beberapa pembuka wine yang tergeletak begitu saja diatas meja tersebut.

Tanpa ragu, Luna langsung mengambil satu botol wine, lalu membukanya.

Jangan ditanya kalau Luna bisa membuka botol tersebut.

Minum wine saja baru kedua kalinya.

“Ciaaa ada yang kesusahan nihh.” ejek Yujin dari belakang, dan semua saudaranya serentak melihat kearah Luna.

Luna makin panik setelah mendengar ejek Yujin dari kejauhan.

Tak kunjung menemukan cara, tiba-tiba seorang pria paruh baya menghampiri Luna dari belakang.

“Need some help, kid?” tanya pria tersebut.

Luna memekik kaget, lalu menengok ke asal suara mengejutkan tersebut.

Dan yak, anda benar, itu adalah pria paruh baya yang tadi ia temui di katedral.

“S-sure..” Luna mengiyakan, lalu menyerahkan pembuka botol tadi ke pria tersebut.

Luna cengo melihat pria tersebut dari jarak yang dekat.

Luna deg-degan bukan main, serasa didatangi oleh perampok bersenjata.

“Here you go! Get your glass, dear.” kata pria tersebut selagi memegang botol wine yang sudah terbuka.

Luna segera menghentikan lamunannya, dan segera mengambil gelas wine yang berada diatas meja.

“Here..” kata Luna pelan.

Pria tersebut hendak menuangkan wine ke dalam gelas yang Luna pegang, namun pria tersebut menghentikan aksinya.

“Hold on, how old are you?” tanya pria tersebut, memastikan Luna tidak dibawah umur.

“I-I’m seventeen, sir..” jawab Luna menatap wajah pria tersebut dengan ketakutan.

“Haha, okay, enjoy your wine.” kata pria tersebut, seketika berubah menjadi orang yang sangat ramah.

“T-thanks!” kata Luna.

“By the way, kid. I’m really thankful for the roses. It was his favorite.” jelas pria tersebut.

“I-I’m glad, he likes it.” jawab Luna dengan senyumannya.

“Shall we sit?” tawar pria tersebut, lalu Luna mengekori pria tersebut dan duduk di area “private” tadi.

“Hi pa, kemana aja tadi?” sapa Lynette dari kejauhan.

Gabriele dan Yujin serentak memberikan ruang untuk pria tersebut agar beliau bisa duduk berdekatan dengan Lynette.

“Tadi lagi nyapa tamu-tamu.” jelas pria tersebut.

“Oh iya, sini duduk.” kata pria tersebut, menyuruh Luna untuk duduk di sebelah kanannya.

Dan sekarang pria tersebut duduk dihimpit oleh Lynette dan Luna.

“Pa, sorry, Marlo tadi ngga bisa ikut, soalnya ada urusan dirumah.” jelas Marlo yang duduk di sebelah kiri Lynette.

“Iya, papa tahu.” kata pria tersebut memaklumi.

“How was the funeral?” tanya Marlo, yang tidak bisa menghadiri pemakaman tadi.

“Good, all went very well.” jelas pria itu, diikuti oleh anggukan Marlo.

“Have you meet my daughter and my sons?” tanya pria tersebut kepada Luna.

Luna langsung menangkap siapa yang dimaksud pria tersebut.

“Yes, I’ve introduced myself earlier to them.” jelas Luna.

“Ok, then. By the way, where are you from?” tanya pria itu.

“I’m from London.” jawab Luna dengan senyumannya.

“Ooh, London. So, you came here alone?” tanya pria itu lagi.

“No, I came here with my mum and dad.” jelas Luna.

“Oh, I see..” kata pria itu diikuti anggukkannya.

Lalu mereka kembali terdiam lagi.

“Nice to meet you, I’m Niccolo.” kata pria tersebut selang beberapa detik setelahnya.

“Nice to meet you too, I’m Luna.” kata Luna polos.

“Luna? What a beautiful name.. I also named my youngest daughter Luna.” ujar beliau.

“What a good choice, haha.” sahut Luna, sedikit canggung.

Mereka kembali terdiam.

Setelah berpikir sejenak, pria tersebut spontan menegakkan postur badannya, yang tadinya bersender, sekarang langsung duduk tegak.

“Wait, you are from London. And your name is Luna?” tanya pria tersebut menatap serius kedua mata Luna.

“Yes, what’s wrong with that?” tanya Luna ikut kebingungan.

“My youngest daughter is from London, and her name is Luna!”

“So.. what’s wrong with that?” Luna masih belum paham dengan situasi ini, sedangkan putra putri pria itu sudah bisa menerka-nerka apa yang akan terjadi setelah ini.

“Are you Luna Mignonette Armani?” tanya beliau, membuat Luna membelalakkan matanya.

“Y-yes… how did you know my name?” tanya Luna kebingungan dan mengernyitkan dahinya.

“No way…” kata pria tersebut, seketika menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Luna masih mencerna apa yang sedang terjadi, ia memikirkan segala hal dari yang masuk akal sampai yang tidak masuk akal.

Akhirnya, Luna sadar.

“Don’t say you’re my dad.” kata Luna, segera menjaga jarak dengan pria itu.

‘No waaaayyy!!’ batin Gabriele.

‘I knew it!’ batin Lynette.

‘Anjing bener lagi dugaan gue.’ batin Yujin.

‘Again?’ batin Marlo

Pria tersebut masih menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Luna tertawa remeh akan hal yang sangat sial ini.

‘Luna… Luna… kenapa malah ketemu sih?’ batin Luna selagi memandang kearah kedua kakinya.

“Heol…” kata Marlo, Yujin, Gabriele, dan Lynette serentak, lalu menghela nafas mereka.

“I’m sorry.” ujar Mr. Armani dengan lirih.

Tak ada kata-kata lain yang bisa dilontarkan beliau selain kata maaf.

Perasaan yang sangat baru timbul di batin Luna, perasaan resah, sedih, frustasi, senang, dan haru, tercampur menjadi satu.

Airmatanya perlahan meluap dan memenuhi kedua mata milik Luna.

‘Sial, kenapa nangis?’ batin Luna, menyadari airmatanya kini perlahan membasahi kedua pipinya.

Begitu airmatanya mengalir, Luna langsung menghapusnya dengan kasar.

Mr. Armani juga tidak bisa berkata-kata lagi.

--

--