Photograph by Pia Riverola

“Mau makan apa pake Cinta?”

Giyanda Vernoval
31 min readNov 20, 2022

--

To love a person is to learn the song that is in their heart and to sing it to them when they have forgotten. Arne Garborg

Murakami di salah satu bukunya yang berjudul “Men without women” pernah menulis ; “Musik memiliki kekuatan untuk menghidupkan kembali kenangan, terkadang begitu kuat hingga menyakitkan” . Dan beberapa waktu yang lalu, saya mengalami apa yang Murakami katakan itu. Seperti bau — musik atau lagu bisa membawa kita kembali ke masa lalu. Membawa kita mengingat kembali kejadian-kejadian yang telah lama terkubur di dalam kepala kita yang berhubungan dengan lagu-lagu atau bau-bau tertentu. Musik bisa menjadi mesin waktu bagi kita.

Pada suatu sore, saat beristirahat sebentar bersama rekan-rekan kerja saya di kantin sebelum melanjutkan kembali kerja di malam harinya, salah satu penjual kantin (kami menyebutnya “Ko Aghuan”) memutar beberapa lagu melalui speaker kesayangannya. Setiap sore. Selalu seperti itu.

“Kau hancurkan aku dengan sikapmu
Tak sadarkah kau telah menyakitiku?
Lelah hati ini meyakinkanmu
Cinta ini membunuhku...”

Penggalan lirik yang dinyanyikan dari suara halus Rian D’masiv tersebut keluar melalui speaker jedag-jedugnya. Dan menyentuh lembut sepasang telinga saya. Lembut seperti sentuhan jari-jari bayi yang belum mengenal dosa. Lagu tersebut membawa saya kembali ke masa kecil saya. Masa dimana saya belum terlalu mengerti apa itu namanya Cinta. Sebelum mengenal Beatles, Queen, Radiohead & band-band favorit saya lainnya, saya mulai mencintai dan mengenal musik pertama kali melalui band-band seperti Peterpan, Ada Band, Kerispatih, The Changcuters, Padi, D’masiv dan masih banyak lagi. Saya tumbuh dengan lagu-lagu mereka. Ketika melihat Indra Peterpan memainkan Bassnya (saat itu saya masih kelas 2–3 SD & belum bisa membedakan mana gitar mana bass) di salah satu videoklip dari lagu mereka yang berjudul Mimpi yang Sempurna”, saya mengucapkan kata-kata ini kepada Mama saya “Ma nanti Nopal ulang tahun beliin gitar aja ya, mau belajar gitar”. Dan lagu “Ada apa denganmu” milik Peterpan menjadi lagu pertama yang bisa saya mainkan dengan gitar saat masih duduk di bangku kelas 3 SD”.

Di tahun-tahun itu, hampir semua band dan musisi yang berhasil muncul ke permukaan industri musik menciptakan dan menyanyikan lagu dengan tema yang sama. Yaitu “Cinta”. Tema yang membuat band bernama “Efek Rumah Kaca” kesal karna band dan lagu-lagunya tidak sesuai dengan pasar dan tidak diterima oleh industri saat itu. Kekesalannya tersebut ia salurkan melalui sebuah lagu sindiran yang ia ciptakan dengan judul “Cinta melulu”.

Saya tumbuh dan mengenal Cinta melalui lagu dari band-band tersebut. Dari lirik-lirik mereka yang muram & menyedihkan, mereka mengajarkan kita kalau Cinta selalu menumbuhkan kesedihan & penderitaan di dalam diri kita. Sampai-sampai ia hampir saja membunuh Rian D’masiv, he. Tapi apakah benar Cinta seperti itu? Apakah Cinta membawa kita tenggelam ke dalam lautan kesedihan dan penderitaan? kalau memang benar, mengapa kita masih saja berharap kepadanya?

The myth of the other half.

— The universal language isn’t love or music. it’s loneliness.

Mengapa kita sebagai manusia membutuhkan Cinta? Manusia adalah makhluk sosial. Sosial berasal dari akar kata Latin bernama Socius yang berarti “Teman”. Berarti, untuk dapat hidup, manusia membutuhkan makhluk lain selain dirinya sendiri. Manusia membutuhkan teman. Saya sangat setuju dengan pernyataan ini. Manusia tidak bisa ada dan hidup tanpa peran makhluk-makhluk lain. Individualitas penuh atau pandangan kalau kita bisa hidup sendiri dan tidak memerlukan bantuan orang dan makhluk lain adalah salah satu penipuan terbesar yang dibentuk oleh masyarakat modern saat ini. Sikap egois tersebut melawan hukum alam dan mengakibatkan penderitaan tumbuh bahagia di dalam diri kita.

Sebagai contoh. Ketika menulis tulisan ini, saya sedang sendirian sambil menikmati segelas kopi gula aren. Kita kerap berpikir kalau kita bisa menikmati segelas kopi ini murni karna kerja keras dari diri kita sendiri dalam memperoleh uang, dan menggunakan uang dari hasil jerih payah kita itu untuk membeli segelas kopi tersebut. Untuk menikmati segelas kopi, kita hanya membutuhkan diri kita sendiri. Tidak ada peran orang dan makhluk lain di dalamnya. Kita hanya melihat di dalam sudut pandang yang dangkal dan melupakan hal yang lebih besar. Kita melupakan hal yang lebih dalam lagi dibalik peristiwa “menikmati segelas kopi” tersebut. Mari kita coba untuk menyelam lebih dalam lagi.

Sebelum segelas kopi yang berada di hadapan saya ini tiba di meja, ada seorang Pelayan yang mengantarnya. Sebelum segelas kopi tersebut diantarkan oleh Pelayan ke hadapan saya, kopi tersebut dibuat dan diracik terlebih dahulu oleh seorang Barista. Untuk meracik dan membuat segelas kopi, barista tersebut memerlukan berbagai macam bahan. Salah satu bahan utamanya adalah biji kopi. Biji kopi yang disediakan oleh kafe tersebut, diperoleh dari Supplier yang membelinya dari Petani-petani kopi. Sebelum biji kopi dapat diperoleh dan dipanen oleh Petani-Petani kopi itu, para Petani tersebut harus terlebih dahulu berhasil menumbuhkan tanaman-tanaman kopi. Untuk dapat hidup dan tumbuh secara sehat agar dapat menghasilkan biji-biji kopi terbaik, tumbuhan tersebut membutuhkan panas matahari dan air hujan. Untuk menghasilkan hujan yang membantu tanaman kopi agar dapat tumbuh dengan baik, kita membutuhkan awan-awan yang membawa air segar di dalamnya (yang nantinya berubah menjadi hujan). Sebelum terbentuk menjadi awan yang mengandung berton-ton air segar dan terbawa oleh angin sehingga dapat membasahi berbagai macam tumbuhan yang ada di muka bumi, Awan tersebut terbentuk dari air laut, sungai, danau, waduk, dan sumber air lainnya yang menguap ke langit akibat panas dari sinar matahari. Dan terkondensasi atau mengembun kembali menjadi segumpal awan-awan besar yang mengandung berton-ton air segar tadi. Sebelum awan yang mengandung air yang sangat banyak itu terbentuk, ada peran bantuan dari tumbuhan laut yang berukuran sangat kecil bernama Fitoplankton. Tumbuhan yang bisa kita temui melayang di sekitar permukaan air laut yang tersentuh dan terjangkau oleh sinar matahari ini, membantu proses kondensasi dalam pembentukan awan. Seperti tumbuhan pada umumnya, untuk dapat hidup, ia juga memerlukan sinar matahari. Saya juga baru tahu kalau Fitoplankton ini juga penghasil setengah oksigen di udara yang sekarang lagi kita hirup dan nikmati. Mereka adalah penghasil oksigen paling besar. Hampir mencapai (50–80%). Empat kali lebih besar dari Hutan hujan. Sedangkan pohon-pohon atau tanaman-tanaman hanya menghasilkan 20% nya saja. Dan untuk dapat hidup, Fitoplankton mendapatkan nutrisi dari kandungan yang terdapat dalam kotoran-kotoran Paus & Lumba-lumba yang mengambang di sekitar permukaan air laut. Jadi, di setiap hirupan nafas kita, kita bisa berterimakasih kepada Paus dan Lumba-lumba yang sekarang sedang berak di laut . He.

Segelas kopi yang kita nikmati dan habisi dengan waktu tidak lebih dari 15 menit tersebut, tercipta dari proses yang sangat panjang dan melibatkan berbagai macam profesi dan makhluk lain selain diri kita. Tanpa Pelayan, Barista, Supplier Biji kopi, Petani kopi, Tanaman kopi, sinar Matahari, Hujan, Awan, Lautan, Fitoplankton, Tahi Paus dan Lumba-lumba, tidak akan ada segelas kopi. Jika kita menyelam lebih dalam lagi, di dalam segelas kopi, akan kita temukan “Pelayan, Barista, Supplier biji kopi, Petani kopi, Tanaman kopi, sinar Matahari, Hujan, Awan, Lautan, Fitoplankton, Tahi Paus dan Lumba-lumba.” Di setiap tegukan demi tegukan dari gelas kecil kopi kita, kita bisa merasakan kehadiran seluruh semesta dan kehidupan. Kita tidak sendiri, kita bersama semesta.

Begitu juga “Diri” atau “Individualitas” kita. Jika kita menyelam lebih dalam lagi, kita bisa “Ada” karna peran dari berbagai macam makhluk dan semua element yang ada di luar diri kita; seperti orang tua, nenek moyang pendahulu, Tumbuh-tumbuhan atau hewan yang kita makan, sinar Matahari yang menumbuhkan tumbuhan-tumbuhan yang nantinya akan menjadi makanan kita dan makanan hewan-hewan , Pendidikan, Guru dan sebagainya. Untuk dapat “Ada” (exist), kita membutuhkan makhluk atau element-element lain di luar diri kita. Ada “Mereka” di dalam “Diri kita”. Dan “Diri kita” juga berada di dalam “Mereka”. Kita semua saling terhubung. Pada dasarnya, untuk dapat hidup, kita membutuhkan orang dan makhluk lain selain diri kita.

Sebutan dan istilah belahan jiwa tidak lagi asing di telinga kita. Tetapi, seiring berjalannya waktu, terutama di masa sekarang, istilah tersebut mulai kehilangan maknanya. Dan menjadi seauatu hal yang basi.

Kisah tersebutpun kerap diceritakan di berbagai macam kisah. Salah satunya adalah kisah tulang rusuk Adam dan Hawa. Ataupun seperti yang diceritakan melalui ayat Ar-Rum 21. Ayat yang kerap kita gunakan sebagai ayat andalan untuk undangan online pernikahan diiringi Banda Neira menyanyikan lagu “Sampai Jadi Debu” di belakangnya. Kisah tersebut juga digambarkan di dalam kisah The Myth of other half yang diceritakan oleh Plato. Salah satu filsuf besar yang pernah Yunani miliki.

The Myth of the other half

Sebelum kita terlempar begitu saja seperti dadu sebagai manusia (laki-laki & perempuan) yang terpisah ke dunia, Plato menceritakan pada awalnya manusia laki-laki dan manusia perempuan adalah “Satu”. Mereka menyatu dalam satu tubuh dengan memiliki dua kepala, empat kaki, empat tangan dan hanya memiliki satu hati yang utuh di tengah-tengahnya. Saat dilahirkan di dunia , kita dibelah menjadi 2 bagian. Kita terlahir sebagai laki-laki atau perempuan. Dan masing-masing memiliki satu belah keping bagian hati. Dan kepingan bagian hati kita yang lainnya dimiliki oleh orang lain yang lahir sebagai jenis yang berlawanan di tempat yang lain. Yang kita tidak tahu berada di mana. Dan di sepanjang hidup, kita saling menghabiskan waktu untuk menemukan kembali kepingan hati kita yang terpisah itu. Kita berusaha untuk saling menemukan. Untuk kembali mengutuh. Mungkin itu mengapa kata Merindukandalam bahasa inggris berarti “Missing (kehilangan)”. Saat terpisah dari orang yang kita cintai, kerinduan yang menyakitkan itu muncul sebagai akibat keterpisahaan dari kepingan kita yang satunya lagi. Dan rasa yang menyakitkan itu menjadi bahan bakar kita untuk menuntaskan rindu tersebut. Untuk bertemu dan menyatu utuh kembali.

Kita terlahir begitu saja dengan keterpisahan. Rasa keterpisahan atau kesendirian manusia — seperti rayap yang perlahan-lahan melahap dan menggigiti habis tungkai tubuh dan ruh kita. Dan Cinta (yang diberikan kepada setiap manusia) menjadi bensin atau bahan bakar kita untuk membunuh rayap-rayap keterpisahan dan kesendirian itu.

Tetapi, makna Cinta yang terlihat terlampau sempurna itu sekarang seperti kehilangan kekuatan dan maknanya. Itu digambarkan oleh pengalaman-pengalaman pahit yang kita alami dalam Cinta, seperti yang digambarkan lewat lagu-lagu Cinta yang membunuh Rian D’masiv di masa kecil saya tersebut. “Cinta tak selamanya indah dekku” Begitu kata anak gaul jaman sekarang. Entah memang karna kita yang salah mempercayai dan memahami Cinta, atau cara kita mencintai & dicintai yang salah? atau memang Cinta itu sendiri yang salah? Kita belum pernah benar-benar mengetahui sepenuhnya.

Bucin (Budak Cinta)

Pada tahun 60-an, ada sebuah gerakan massa yang menentang perang Vietnam dan menggunakan “Bunga” sebagai salah satu simbol mereka atas “Cinta dan Kedamaian”. Mereka menamai diri mereka “Hippies”. Saat para aparat memukul mundur mereka dengan pentungan-pentungan ketika melakukan sebuah demonstrasi, mereka membalasnya dengan melemparkan Bunga-bunga. Mereka membalas kekerasan yang mereka dapatkan dari aparat dengan melemparkan Cinta. Begitu maksud mereka. Seperti yang juga kita tahu, bunga sudah dijadikan sebagai lambang Cinta oleh manusia sejak ribuan tahun lalu. Ia juga kerap digunakan sebagai hadiah untuk mengekspresikan rasa Cinta dan Kasih kepada orang-orang yang kita sayangi.

November 2019 pagi. 6 hari setelah saya wisuda. Saya terbangun dari tidur dan melihat seikat bunga mawar yang saya dapatkan sebagai hadiah wisuda telah mati dan layu. Dari sana saya menemukan makna yang berbeda terhadap bunga-bunga hadiah wisuda. Saya melihat tujuan hidup mereka tidak lebih dari “Hanya untuk sekadar menyenangkan orang lain, ia rela mati dan kehilangan dirinya”. Dari seikat bunga yang telah mati layu itu, saya seperti melihat kesedihan-kesedihan yang sedang tertawa bahagia di sepasang mata orang-orang yang terluka, dan terbunuh oleh Cinta.

Sama seperti lagu-lagu Cinta yang dinyanyikan D’masiv dan teman-temannya. Dalam Cinta, kita kerap menjadi bunga-bunga yang layu dan mati itu. Dan kita selalu menggunakan perban “Cinta butuh pengorbanan” untuk membalut luka-luka kita yang belum kering akibat Cinta yang membunuh itu.

Sepanjang abad, manusia selalu berjuang untuk terbebas dari perbudakan dan penindasan. Menjadi budak berarti tidak memiliki kekuasaan penuh terhadap tubuh dan diri sendiri. Diri kita sepenuhnya milik orang lain yang kita sebut “Tuan” kita. Sepanjang sejarah manusia, sudah banyak yang dikorbankan manusia-manusia dalam memperjuangkan pembebasan atas perbudakan dan penindasan jenis apapun. Perjuangan dalam memutus rantai perbudakan yang membelenggu leher kita, agar kita memiliki kebebasan dan kuasa penuh atas tubuh dan diri kita sendiri. Tetapi di dalam Cinta, kerap kita rela kembali ke dalam lubang perbudakan. Kita rela kembali menjadi budak di dalam Cinta. Bucin, begitu anak gaul jaman sekarang menyebutnya. Cinta model budak ini adalah salah satu jenis cinta yang belum dewasa dan membunuh.

“Aku sepenuhnya milikmu” atau “Kamu sepenuhnya milikku”. Dalam Cinta model ini, kita kerap memberikan diri kita sepenuhnya kepada pasangan kita. Seperti budak, kita merelakan tubuh dan diri kita dimiliki dan dikuasai sepenuhnya oleh oleh orang lain. Dan secara tidak langsung kita menjadikan pasangan kita sebagai Tuan kita. Begitu juga sebaliknya bagi kita yang berada di posisi Tuan atas pasangan kita. Kita menjadi seorang Penindas.

Saat kita “memiliki” sesuatu, kita merasa berhak untuk melakukan, mengatur dan mendapatkan keuntungan terhadap apa yang kita miliki tersebut. Kartu bernama “Kepemilikkan” menjadi lampu hijau untuk melakukan segala macam bentuk kekerasan tersebut. Tuan membutuhkan budak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Budak yang selama hidupnya tidak pernah memiliki kemampuan untuk berpikir dan memenuhi kebutuhannya secara mandiri, untuk tetap dapat hidup dan mendapatkan makan minum, juga membutuhkan Tuannya. Itu terkadang yang membuat budak masih takut untuk bebas dan bertahan dalam kebudakannya. “Aku tidak bisa hidup tanpamu” atau “Aku mencintaimu karna ada yang aku butuhi dari dirimu” menandakan kita masih menjadi Budak atau Penindas dalam Cinta.

Dalam kebucinan, karna takut akan kehilangan atau ditinggal oleh orang yang kita cintai, kerap kita melakukan apa saja yang pasangan kita minta. Permintaan-permintaan yang terkadang menyebabkan kita kehilangan diri kita sendiri. Dan seperti Budak, kelemahan-kelemahan kita terhadap hal ini dimanfaatkan oleh pasangan kita yang berperan sebagai Tuan/Penindas untuk mengontrol dan menguasai kita.

“Hell is other people”. Begitu kata Jean Paul Sartre yang merupakan salah satu filsuf terkenal asal prancis itu. Mengapa ia bisa mengatakan orang lain adalah neraka? Filosofi Sartre berfokus kepada autentisitas (keaslian) manusia. Membahas tentang bagaimana cara manusia untuk bebas menjadi dirinya sendiri, dan mencapai versi terbaik dirinya sesuai keunikannya masing-masing. Manusia dilihat dalam kacamata “individu yang unik dan hidup versi dirinya sendiri, atau menjadi Tuan atas dirinya sendiri”, bukan sebagai “Kawanan/Kerumunan— seperti budak yang bergantung pada Tuannya”. Dan menurutnya, kehadiran manusia lain kerap menjadi penganggu atau penghalang kita untuk memenuhi ke autentikan atau keorisinilan kita ini. Menghalangi kita untuk tumbuh menjadi versi terbaik diri kita. Sebagai contoh sederhana. Ada seseorang Bernama Brodie. Ia ingin masuk ke salah satu Circle atau tongkrongan yang salah satu rutinitasnya adalah “mabuk-mabukan” misalnya. Untuk bisa masuk dan dianggap sebagai salah satu anggota tongkrongan tersebut, ia berusaha untuk mengikuti rutinitas tersebut. Padahal, setelah mencoba rutinitas tersebut, ia merasa sangat tidak cocok dengan alkohol. Dan hal tersebut membuatnya menderita. Tetapi, karna takut ditinggalkan, diabaikan, tidak dianggap atau tidak diakui oleh teman-temannya, ia tetap melanjutinya dan rela menderita. Dalam hal ini, ia hidup bukan sebagai dirinya sendiri. Melainkan hidup sebagai versi orang lain. Yaitu versi teman-teman tongkrongannya. Ia menjadi tidak Autentik. Sama seperti bunga-bunga wisuda yang hanya karena menyenangkan orang lain ia rela mati layu itu. Hanya untuk dapat dianggap dan diterima oleh tongkrongannya, Brodie rela mati layu dan kehilangan dirinya. Sama seperti Budak, makna hidupnya ditentukan oleh-teman-temannya (yang berada di posisi sebagai Tuannya). Makna hidupnya bukan ditentukan atas dirinya sendiri. Melainkan teman-temannya. Ernest Hemingway dalam salah satu kutipannya yang berbunyi “The most painful thing is losing yourself in the process of loving someone too much, and forgetting that you are special too.” Cukup mewakili kita yang masih menjadi Budak dalam Cinta.

Banyak hal lain yang bisa dijadikan sebagi contoh. Bagaimana kita tampil dalam sosial media misalnya. Yang membuat kata-kata “Care about what other people think, and you will always be their prisoner” milik Lao Tzu ini masih relevan hingga sekarang. Sebab di jaman sekarang, kita masih kerap menjadi tahanan-tahanan orang lain.

Tetapi bagi saya selain menjadi Neraka bagi kita, orang lain juga bisa menjadi Surga bagi kita. Orang lain juga bisa membantu kita untuk tumbuh menjadi versi terbaik diri kita. Sebagai contoh sederhana. Brodie sebelum mempunyai pacar, dia sangat jarang sekali mandi, sehingga membuat badannya bau dan gatal-gatal. Tetapi ia masa bodoh akan hal itu dan tidak merasa hal itu sebagai suatu masalah baginya. Padahal badannya yang jorok dan bau tersebut sangat menganggu orang lain di sektitarnya. Dan tanpa sadar juga merugikan dirinya karna badannya yang gatal-gatal tersebut akan tumbuh menjadi penyakit yang akan menganggunya dan membuat dirinya menderita. Hal tersebut merugikan dirinya dan juga orang lain. Sampailah ia ketemu dengan salah satu perempuan yang membuatnya jatuh cinta (kita sebut saja namanya Jeje). Jeje meyakini dirinya dan membuatnya sadar akan bau badannya yang mengganggu dan merugikan tersebut. Untuk mendapatkan Cinta Jeje, ia mulai merawat dirinya. Bau badannya telah hilang dan tidak lagi mengganggu orang lain, dan gatal-gatalnya juga tidak lagi mengganggu tubuhnya. Tidak sama seperti tongkrongan Brodie yang menjadi Neraka baginya, Jeje menjadi Surga bagi Brodie. Jeje menjadi salah satu yang membantu Brodie tumbuh menjadi versi terbaik dirinya.

Bagi kita yang berada di posisi Penindas, ini sama sakit dan sama tidak sehatnya dengan kita yang berada di posisi Budak. Kita mencintai pasangan kita hanya karna hal-hal menguntungkan yang kita dapati dari pasangan kita. Bukan karna dirinya sebagaimana adanya. Sebagai Penindas, kita yang tidak mampu mengatasi masalah-masalah dan memenuhi keinginan-keinginan diri kita sendiri, kita yang belum selesai dengan diri kita sendiri, kerap mencari orang lain untuk memenuhi dan membuatnya bertanggung jawab akan hal tersebut.

Kita yang berada diposisi Tuan, tidak melihat pasangan kita sebagai individu yang terpisah dari kita — yang memiliki kebutuhan dan keunikan tersendiri. Kita menjadi pusat dunia, dan pasangan kita hanya sekadar salah satu bagian dari tubuh kita. Kita melihat dan menganggapnya hanya seperti salah satu anggota tubuh kita yang selalu berhasil mengikuti perintah-perintah kita. Kita mencintainya karna ada keuntungan yang bisa kita ambil darinya, kita mencintainya karna ia menyediakan hal-hal yang kita butuhkan. Saat ia tidak lagi memenuhi keuntungan-keuntungan tersebut, Cinta kita hilang. Sebab tidak ada lagi alasan untuk mencintainya. Dan hal tersebut akan menyakiti Penindas. Dan ia menganggap hal tersebut merupakan suatu pengkhianatan. Kalau boleh saya ibaratkan, hal itu serupa seperti salah satu tangan kita yang tiba-tiba menampar sakit pipi kita begitu saja tanpa adanya perintah dari otak kita.

Dalam Cinta model “kepemilikan penuh” ini, perlahan-lahan, keping demi keping diri yang menjadikan kita sebagai Manusia hilang satu persatu. Makna kita sebagai “Manusia yang hidup dan bertumbuh” perlahan-lahan luntur dan terkuras kering menjadi seonggok “benda mati”. Sama seperti Rian D’masiv, kita juga masih membunuh dan dibunuh oleh Cinta.

“Mau makan apa pake Cinta?”

Seiring bertambah tua umur kita, dengan alasan “ya kita hidup yang realistis aja sekarang”, bagi kita Cinta tidak lagi mampu memberi kehidupan untuk kita. Cinta bagi kita seperti tubuh mati yang telah lama ditinggal oleh ruhnya. Cinta menjelma makhluk bernama Dementor seperti yang ada di dunia Harry Potter. Dementor adalah makhluk penjaga penjara Azkaban yang mampu menghisap segala kenangan, kegembiraan dan kebahagiaan manusia. Sehingga yang tertinggal di dalam tubuh kita hanyalah kesedihan, ketakutan dan penderitaan. Yang pada akhirnya kerap membuat para tahanannya ingin mengakhiri hidup segera.

“Mau makan apa pake cinta?”. Kata-kata ini kerap keluar dari mulut kita, ataupun dari mulut para orang tua yang sedang memberi nasihat kepada anak-anaknya. Kata-kata tersebut kerap tumbuh subur di dalam percakapan -percakapan keluarga yang setiap harinya tidak mampu memikirkan apa-apa selain hanya berpikir bagaimana cara mengenyangkan kelaparan berikutnya.

Marx pernah berkata ”Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tetapi, sebaliknya, keberadaan sosial mereka yang menentukan kesadaran mereka.” Sederhananya, ia ingin menyampaikan kalau proses pembentukan pola pikir dan kesadaraan kita terhadap dunia tidak terlepas dari pengaruh keberadaan dan keadaan kita di dalam relasi sosial. Bukan sebaliknya. Dan keadaan, keberadaan sosial, pola pikir dan kesadaran kita terhadap dunia ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor kita dalam memproduksi kebutuhan dasar hidup (Ekonomi). Setidaknya begitu maksud beliau yang dapat saya tangkap. Ia juga mengungkapkan kalau struktur masyarakat dibagi menjadi dua bagian besar. Yaitu “Bangunan atas” dan “Bangunan bawah”.

Bangunan bawahlah yang menciptakan bangunan atas. Bangunan atas sangat dipengaruhi oleh bangunan bawahnya. Seperti halnya sebuah bangunan, bagunan atas tidak dapat ada dan berdiri kalau tidak ada bangunan bawah sebagai fondasi yang menopangnya. Segala kegiatan kita yang berada di bangunan atas (seperti pendidikan, pola pikir, budaya, strata sosial, sistem pemerintahan dll) kalau kita coba gali sampai ke akar-akarnya, pasti akan kita temui selalu ada faktor Ekonomi bersembunyi di dasarnya. Contoh sederhananya; untuk menulis tulisan ini, saya membutuh kan laptop. Laptop yang bisa saya dapatkan dengan cara membelinya dengan uang (Ekonomi). Dan untuk mempublish tulisan ini, saya juga membutuhkan koneksi internet yang bisa saya peroleh juga dengan cara membayarnya dengan uang (Ekonomi). Kalau bisa saya beri contoh yang lebih luas lagi adalah contoh lingkaran pertemanan kita, yang mirisnya, tidak bisa kita pungkiri juga terbentuk karna ada faktor Ekonomi yang bersembunyi di balik dasarnya. Contohnya seperti beberapa teman yang sudah menjadi sahabat baik kita. Tidak seperti teman-teman biasanya, sahabat adalah teman kita yang paling dekat daripada teman-teman yang lainnya. Persahabatan terbentuk karna kita sudah saling mengenal lebih dalam satu sama lain. Dan juga karna hubungan tulus tanpa ada kepentingan apapun dibalik persahabatan itu. Persahabatan adalah salah satu tingkat tertinggi di dalam level hubungan antar manusia. Dan di dalam dua bangunan Marx, persahabatan masuk ke dalam bagian Banguan Atas.

Tapi coba kita pikir-pikir dan coba gali lebih dalam lagi bagaimana proses terbentuknya persahabatan itu. Contoh, ada seorang mahasiswa bernama John yang tinggal satu kontrakan dengan sembilan teman satu angkatan kuliahnya. Dari sembilan teman kontrakannya, ia lebih dekat dengan Paul. John bersahabatan dengan Paul. Mereka bersepuluh berasal dari daerah asal yang berbeda-beda. Mereka bisa bertemu dan saling kenal karna berkuliah di univerisitas yang sama. Kita sebut saja namanya Hogwarts University. Dari semua Universitas yang ada di dunia, (mungkin) dari segala macam faktor dan pertimbangan lainnya, Hogwarts adalah universitas yang mampu dibiayai oleh orang tua mereka (ada faktor Ekonomi yang berada di Bangunan Dasar). Untuk menghemat biaya selama kuliah, John mencari teman-teman — yang juga mungkin memiliki pemikiran dan permasalahan yang sama dengan John — untuk diajak ngontrak. Sepuluh orang berkumpul dan berteman dalam satu rumah karna memiliki dasar masalah yang sama. Yaitu menghemat biaya kuliah (Ekonomi). Secara tidak sadar, Ekonomilah yang mengikat mereka. Lalu, John dan Paul tidak seperti delapan orang teman lainnya. Teman-temannya yang lain kerap melakukan refreshing ke luar kota. Yang dimana John dan Paul kerap tidak ikut serta dalam acara itu. Sebab dari sepuluh orang itu, mereka berdua memiliki keadaan Ekonomi yang lebih kurang dan lebih menjepit daripada kedelapan teman lainnya. Karna hal itu, John dan Paul dalam jangka waktu yang panjang selama di dunia perkuliahan, lebih sering menghabiskan waktu bersama ketimbang delapan teman lainnya. Sehinga membuat hubungan mereka lebih mengikat erat dan menjadi sahabat. Dan delapan teman lainnyapun juga sering menghabiskan waktu bersama ketimbang dengan John & Paul. Sehinga membuat hubungan kedelapan teman lainnnya lebih mengikat erat ketimbang dengan John & Paul. Selalu ada bangunan dasar yang menopang sekaligus menghalang di dalam setiap hal yang dilalui oleh John dan teman-temannya di dalam hidup mereka.

Hal-hal tersebut juga yang kerap berkontribusi dalam pembentukan pemikiran kita dalam memaknai segala hal. Termasuk Cinta. Yang dengan mirisnya, membuat kita sampai kepada kalimat “Mau makan apa pake cinta?”. Kalau kita bedah makna kalimat tersebut, itu berarti untuk dapat hidup kita membutuhkan makan. Dan dari kalimat premis pertama itu, berarti, dengan Cinta, kita tidak dapat makan dan hidup. Dengan Cinta kita mati. Lagi-lagi seperti yang dinyanyikan Rian D’masiv, Cinta kembali membunuh kita?

Salah satu teman saya pernah menulis sebuah Cuitan di Twitter yang berbunyi ”Simple. Cowo cari yang cakep. Cewe cari yang Tajir”. Sehingga dalam memperoleh Cinta untuk mengatasai permasalahan manusia atas keterpisahan, manusia selama hidupnya tidak mau mencoba memahami dan belajar apa itu Cinta dan Mencintai. Sehingga kerap kita temukan Laki-laki fokus hanya untuk memperkaya diri. Dan perempuan selama hidupnya fokus hanya untuk mempercantik diri. Oleh karna itu, sering kita temukan kalimat-kalimat seperti “Cari duit yang banyak, ntar cewe bakalan datang dengan sendirinya”. Atau “Aku olahraga, perawatan dan dandan gini biar cantik. Aku cantik buat kamu juga”. Sebuah cuitan yang cukup menyedihkan. Tetapi itu cukup kerap terjadi. Ada beberapa contoh orang yang saya temui sudah menjalani hubungan Cinta hampir bertahun-tahun, hingga ada yang lebih dari 10 tahun, dengan menyedihkan harus berakhir begitu saja karna perempuannya sudah mendapatkan pasangan yang mempunyai profesi dengan gaji yang lebih menjanjikan. Begitu juga laki-laki yang mengakhiri Cintanya karna telah menemukan perempuan yang lebih cantik daripada pasangan sebelumnya.

Dimana melalui cuitan tersebut kita bisa melihat makna Cinta ideal yang berarti hubungan tulus antar sesama manusia telah diperas habis hanya menjadi hubungan antara “ pertukaran antar benda mati”. Melalui cuitan tersebut, Makna Cinta dikerdilkan hingga hanya sebatas pertukaran kekayaan dan kecantikan diantara manusia tersebut. Seperti yang dikatakan Marx, Keadaan masyarakat atau keadaan sosial yang ada di sekitar dunianya yang membentuk pemikiran dan kesadarannya. Dan saya rasa itulah yang terjadi kepada teman saya itu. Yang menjadi dasar atas cuitan teman saya itu. Yang menarik di dalam hal cuitan tersebut, ia dengan jelas menyebut dan membagi peran “Laki-laki” sebagai mencari yang cantik dan “Perempuan” sebagai mencari yang kaya. Bukan sebaliknya. Mengapa bisa seperti itu? Tidak bisa dipungkiri, masih ada pengaruh besar akibat sistem dimana kita hidup sekarang yang cenderung Patriarki, dan sistem ekonomi yang Kapitalis. Dan menurut saya ke dua sistem tersebut menjadi salah satu Dementor yang menyerap habis makna ideal dari Cinta itu sendiri.

Seperti yang sudah pernah saya tulis di tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Perihal Uang Kita Semua Agamanya Sama”, Untuk dapat hidup dan memenuhi segala kebutuhan kita, termasuk kebutuhan-kebutuhan paling dasar kita, semuanya membutuhkan uang. Dan mungkin sekarang kita masih bisa bersyukur sebab kita belum harus sampai membayar untuk udara yang kita hirup agar bisa bernapas.

Makan adalah salah satu kebutuhan dasar yang harus kita penuhi terlebih dahulu. Sebab kita sudah terlahir sepaket dengan “harus makan”. Kita tidak bisa terlahir dengan tidak memiliki kebutuhan akan makan. Hal itu sudah menjadi pengaturan yang tidak bisa kita ubah. Itu sudah setelan pabriknya, sebab apabila tidak kita penuhi kebutuhan itu, tubuh kita akan mengeluarkan rasa sakit yang tidak menyenangkan dan membuat kita menderita. Dan tubuh kita akan berusaha dan memerintahkan kita untuk keluar dari penderitaan tersebut dengan cara memberi makan tubuh kita. Dan untuk memperoleh makanan, kita membutuhkan uang. Dan uang bisa kita peroleh dengan bekerja. Dan di dunia yang sistemnya cenderung patriarki , laki-laki memiliki peluang yang lebih besar daripada perempuan untuk mendapati jenjang pendidikan dan menempati posisi-posisi pekerjaan tertentu yang menghasilkan pundi-pundi rupiah dalam jumlah yang banyak . Sehingga laki-laki memiliki kuasa lebih untuk memenuhi kebutuhan dasar. Karna ia yang memperoleh nafkah. Dan perempuan yang belum memiliki kuasa untuk memperoleh nafkah tersebut, mencari laki-laki tajir itu untuk berlindung dan mengamankan diri dengan menukarkan kecantikannya untuk memenuhi kebutuhan sensual / sexual laki-laki tadi. Yang dimana kebutuhan sexual adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang berada di atas kebutuhan akan makan. Sebab kebutuhan makan sudah bisa dipenuhi oleh laki-laki itu sendiri mengingat ialah yang mencari nafkah. Tetapi kabar baiknya, sekarang perlahan-lahan perempuan sudah mulai naik ke permukaan dan dapat menolong dirinya sendiri.

Commodity Fetishism

Di bawah payung sistem dunia yang kapitalistik, hubungan yang tulus atau hubungan yang didasari Cinta antar sesama manusia dikeringkan hingga hanya sebatas hubungan antara “pertukaran benda-benda mati.” Sistem ini yang mengubah kacamata kita dalam melihat manusia lain bukan lagi dari nilai-nilai baik yang hidup di dalam dirinya, melainkan melihat manusia berdasarkan benda-benda mati (materi) yang ada di luar dirinya. Sistem tersebut secara tidak langsung yang menggerakkan dan memaksa pemikiran kita untuk selalu mementingkan kebutuhan Ekonomi diatas segala hal. Salah satu contohnya di dalam hubungan pernikahan. Banyak manusia yang harus rela meninggali orang-orang yang dicintainya dengan berpaling kepada orang yang memiliki harta benda yang lebih. Atau orang tua yang melakukan perjodohan kepada anaknya untuk kepentingan memperpanjang bisnis dan kekuasaan seperti yang terjadi di dalam series House of The Dragon. Atau juga kepada salah satu karakter bernama Nyai Ontosoroh yang dijual oleh bapaknya kepada laki-laki belanda karena dijanjikan sebuah Jabatan di dalam novel Bumi Manusia milik Pramoedya Ananta Toer.

Marx menyebut fenomena tersebut sebagai “Commodity Fetishm”. Fetish pada dasarnya berarti objek/ benda-benda mati yang diciptakan oleh manusia dan dipercayai memiliki kekuatan yang lebih besar. Padahal sebenarnya yang memberikan kekuatan kepada benda mati tersebut adalah manusia yang menciptakan benda mati itu sendiri. Contoh paling tepat untuk menggambarkan makna dasar dari kata dasar Fetish tersebut adalah “Berhala”. Berhala terbuat dari benda-benda mati seperti patung, ukiran batu dan sebagainya. Berhala diciptakan oleh manusia. Dan manusia yang menciptakan berhala tersebut menyembahnya karna dipercayai memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari pada manusia, yang lucunya, adalah pencipta berhala itu sendiri. Contoh yang lebih tepat di dalam dunia modern yang kita hidupi sekarang ini adalah benda bernama Uang. Uang pada dasarnya hanyalah selembar kertas yang diciptakan oleh manusia. Tetapi, dengan kesepakatan bersama, manusia memberikan nilai dan kekuatan kepada selembar kertas tersebut sebagai nilai tukar yang awalnya bertujuan untuk memudahkan kita dalam pertukaran. Dan yang paling menyedihkan, benda mati itu sekarang memilki kekuatan dan kekuasaan atas manusia. Sama seperti Berhala yang dipercayai sebagai Tuhan yang melindungi, menolong, membantu, hingga yang paling menyedihkan; menghukum manusia.

Seperti Tuhan yang menjadi alasan kita untuk selalu bersikap dan berbuat baik kepada sesama manusia, mirisnya dan menyedihkannya, sekarang yang terjadi adalah Uang lebih mampu bekerja lebih baik dari pada Tuhan. Contohnya dalam bekerja di dalam suatu perusahaan, kita dari berbagai jenis ras, negara atau agama yang berbeda mampu menyatu dan bekerja sama dengan baik. Sedangkan dalam beragama, kerap kita membangun tembok-tembok tinggi kepada manusia yang berbeda dari kita. Kita bisa lebih ramah kepada Bos yang memiliki agama, ras, dan kewarganegaraan yang berbeda dari kita. Kita bisa lebih ramah kepada manusia yang menyimpan uang lebih banyak di balik sakunya daripada manusia yang memiliki nilai-nilai Tuhan di dalam dirinya. Peran tersebut sudah terbalik.

Salah satu contoh kecil lainnya juga saya sadari dan temukan saat saya berkunjung ke dalam Mall. Di dalam Mall, kadang kita dilihat dan dinilai tidak lagi berdasarkan nilai-nilai baik yang ada dalam diri kita sebagai manusia. Melainkan kita dinilai berdasarkan apa yang ada di balik kantong dan dompet kita. Untuk itulah para pegawai-pegawai kios menarik lebar senyumnya dan melembutkan suaranya untuk kita. Sambil berharap agar kita mau menukarkan benda mati yang berada dibalik kantong dan dompet kita kepada produk-produk yang ia tawarkan kepada kita.

Kapitalisme menjadi salah satu faktor yang mendangkalkan kedalaman hubungan antar sesama manusia. Contoh nyatanya persis seperti cuitan twitter milik teman saya yang menggambarkan hubungan Cinta diantara kedua manusia hanyalah sekadar pertukaran Uang dan Kecantikan. Pernikahan yang sakral atas dasar cinta yang tulus dikerdilkan menjadi tidak lebih dari suatu proses pertukaran dagang yang terjadi pada umumnya di dalam dunia bisnis. Dan ikatan antara hubungan tersebut tidaklah kuat. Laki-laki yang menikahi perempuan hanya karna kecantikannya, hanyalah mencintai kecantikannya, bukan manusianya. Dan perempuan yang menikahi laki-laki hanya karna hartanya, hanyalah mencintai hartanya, bukan manusianya. Saat kecantikan dan harta tersebut di dalam pernikahan mereka hilang, tidak ada lagi alasan mereka untuk mencintai dan melanjuti hubungan untuk hidup bersama lagi. Dan mereka akan mencari kecantikan dan kekayaan yang lebih lagi melalui orang-orang baru. Mungkin mereka masih bisa memilih untuk hidup bersama dan tidak memilih untuk berpisah dengan alasan “apa nanti kata orang?” atau malu dan gengsi kepada keluarga dan orang di sekitar. Tapi didalamnya mereka bisa jadi tidak lagi bahagia sebab ketiadaan Cinta atas dasar kecantikan dan kekayaan yang menjadi dasar hubungan mereka tadi. Mungkin ini lah yang menjadi salah satu penyebab laki-laki yang berselingkuh atau main cewe lain, sebab apa yang ia cari dalam suatu hubungan (kecantikan/nafsu sexual) telah tiada, tetapi ia tidak bisa mengakhiri hubungan pernikahannya?

Alasan kecantikan dan kekayaan yang mendasari dan juga menjadi fondasi mereka untuk sepakat menjalani hidup bersama sudah tiada lagi. Dan hubungan pernikahan berubah menjadi penjara yang mengurung mereka di dalamnya, sepanjang hidupnya. Sama seperti rumah yang rubuh karna kehilangan fondasinya, hubungan mereka juga akan rubuh begitu saja.

Dan ada juga salah satu contoh lagi dari salah satu teman saya dulu yang pernah memiliki syarat mutlak yang paling utama untuk mencari pacar adalah “harus cantik”, agar tidak malu kalau dibawa kemana-mana. Dulu ia sempat tidak terlalu memikirkan syarat-syarat lain seperti kecocokan, kepribadian, kenyamanan dll. Asal syarat utama tadi sudah terpenuhi, ia akan jadikan perempuan itu sebagai pacar. Kalau boleh saya gambarkan, cara kebanyakan manusia memilih pasangan di jaman sekarang terkadang sama seperti “kegiatan membeli baju baru”. Ketika kita ingin membeli baju baru, kita akan berkunjung ke sebuah toko baju (mencari pacar) . Dan apa yang pertama kali kita lakukan saat tiba di sana? kita akan melihat-lihat dan mencari mana baju yang modelnya bagus dan menarik perhatian kita (tampak fisik). Saat kita sudah menemukan satu baju, kita akan melihat harganya apakah sesuai dengan budget kita atau tidak (sesuai dengan kelas sosial kita atau tidak) . Setelah itu, akan kita bawa baju tersebut ke kamar ganti untuk mencobanya (Proses pendekatan dan pacaran). Untuk mengetahui apakah baju tersebut sesuai, cocok dan nyaman untuk kita atau tidak. Setelah melakukan percobaan di kamar ganti, kita akan menentukan apakah baju tersebut akan kita beli atau tidak (menemukan orang yang tepat dan memutuskan untuk menghabiskan hidup bersama atau tidak) . Dan terkadang, kita hanya peduli dengan model dan kemewahannya saja. Sama seperti teman saya yang menjadikan “harus cantik” sebagai syarat utama untuk mencari pasangan agar tidak malu untuk dibawa kemana-mana itu. Itu sama dengan ketika kita menemukan dan membeli baju yang ditanamkan gengsi dengan cara hanya diproduksi dengan jumlah terbatas di dunia (limited edition), sedang tren di jaman itu, bahannya terbuat dari berlian misalnya, dan memiliki merk yang terkenal dan sangat mahal. Saat kita bawa baju tersebut ke kamar ganti, ternyata baju itu tidak cocok di tubuh kita. Bahannya membuat badan kita gatal-gatal dan tidak nyaman. Tetapi karena gengsi dan kemewahan yang tertanam di baju tersebut, yang akan membuat kita dipandang oleh orang lain dan menaikkan status sosial kita, kita tetap membelinya. Dan rela untuk menahan ketidaknyamanan dan gatal-gatal ketika memakai baju tersebut. Saat tren dari baju tersebut telah berlalu, kita tidak akan mengenakan baju itu lagi walaupun baju tersebut masih sangat bagus dan masih sangat layak pakai. Sebab nilai yang membuat kita ingin mengenakan baju tersebut dan rela menahan derita ketika memakainya telah hilang. Beda ketika kita memiliki baju yang sangat cocok dan nyaman di tubuh kita. Selusuh apapun baju tersebut di massa yang akan mendatang, kita akan masih tetap memakainya.

Kecantikan dan kekayaan adalah benda rapuh yang suatu saat akan hilang. Karna ia adalah benda-benda mati yang berada di luar diri kita. Tidak menubuh dan hidup bertumbuh di dalam diri kita. Kecantikan seiring bertambah tuanya kita akan hilang begitu saja. Kekayaan juga suatu saat bisa hilang. Seperti kata-kata Thich Nhat Hanh; “It is not impermanence that makes us suffer. What makes us suffer is wanting things to be permanent when they are not.” Di dalam hubungan pernikahan yang dangkal, akan tumbuh penderitaan akibat kehilangan kedua benda mati yang tidak permanen tersebut.

Mengingat kata-kata Nhat Hanh itu, saya jadi teringat dengan lagu Agnez Monica yang berjudul Tak ada logika. Kita kerap mengatakan bahwa Cinta itu buta. Atau tidak ada logika di dalam Cinta. Tetapi menurut saya, dalam kata-kata itu, kita dan Agnez telah memaknai Cinta sekaligus meniadakan makna Cinta tersebut. Agar dapat tumbuh dan hidup yang panjang, perasaan Cinta harus dilindungi dan diselimuti oleh logika. Serupa plat-plat baja di kulit kapal yang harus dilapisi oleh cat anti fouling atau cat pelindung untuk melindungi dirinya dari kerusakan atas makhluk-makhluk laut. Begitu juga perasaan Cinta. Agar tidak merusak dan membunuh, harus juga dilindungi oleh logika. Ketiadaan logika sama sekali di dalam Cinta sama saja dengan bunuh diri.

Salah satu contoh pernyataan yang kerap kita sampaikan di dalam Cinta dan sangat melawan logika adalah ;“Aku sampai kapanpun akan berjanji tidak akan meninggalkan kamu”. Ini sangat melawan logika. Karna suatu saat di dalam hubungan percintaan ataupun di dalam kehidupan, di salah satu antara kita, pasti ada yang lebih dahulu meninggalkan. Entah dipisahkan oleh perceraiaan ataupun kematian. Maka dari itu, kata-kata “tidak akan meninggalkan” tersebut telah kehilangan makna dan daya kekuatannya. Kita tidak akan selamanya berdua bersama. Bahkan setelah kita terlelap berdua di ranjang milik kita nanti, kita kembali sendiri-sendiri memasuki tidur dan mimpi masing-masing. Ucapan “selamat tidur” kepada pasangan kita adalah pengingat kecil bahwa kita tidak selamanya bersama. Walaupun tidur — tidak seperti kematian — adalah perpisahan sementara.

Kesadaraan akan hal tersebut bisa dilihat dengan kacamata logika. Dan pengetahuan akan hal itu justru membantu dan memperkuat kita dalam Cinta. Seperti contoh yang bisa saya gambarkan, saya teringat — kalau tidak salah — pertanyaan Marshall kepada salah satu temannya di sebuah series sitcom berjudul “How I Met your Mother”. Ia bertanya; “Kalau kamu tahu di hari esok kamu bakalan kehilangan kedua kakimu, apa yang akan kamu lakukan di hari ini?” Temannya menjawab “Aku bakalan menggunakan kakiku sepuas-puasnya. Berlari sepuas-puasnya, bermain bola sepuas-puasnya. Untuk yang terakhir kalinya. Akan kugunakan kakiku untuk berjalan-jalan sampai kakiku lelah untuk yang terakhir kalinya”. Dan untuk kita yang belum dan tidak akan tahu kalau keesokan hari kita akan kehilangan kedua kaki, kita sangat jarang sekali tersadar seberapa berharga dan pentingnya kedua kaki yang kita gunakan saat berjalan itu. Tidak seperti wajah yang kerap kita beri perhatiaan setiap hari untuk menyenangkan orang lain, kita jarang memperhatikan, menganggap dan menghargai keberadaan kaki yang sudah kita miliki dari lahir. Terkadang hal-hal yang sudah kita miliki kerap tidak kita sadari sebagai hal yang sangat penting dalam hidup kita, sampai kita kehilangannya. Mungkin ketika kita bertanya kepada orang yang seumur hidupnya tidak pernah merasakan memiliki kaki yang utuh, kalau ia diberi satu permintaan yang pasti dikabulkan, apa yang paling ia ingini di dunia ini? Mungkin saja jawabannya adalah cuma ingin merasakan punya dua kaki lengkap. “Do not spoil what you have by desiring what you have not; remember that what you now have was once among the things you only hoped for.” Begitu kata Epicurus.

Barangkali, dengan pengetahuan itu kita bisa melihat pasangan kita sama seperti sepasang kedua kaki yang keesokan hari akan hilang seperti yang ditanyakan oleh Marshall kepada temannya. Kita sebagai manusia pasti akan mati dan kembali ke ketiadaan. Kita akan saling berpisah pada waktunya. Berjanji tidak akan meninggalkan dan mengkhawatiri kehilangan hanyalah sebuah kesia-siaan. Oleh karna itu, setiap harinya kita bisa menghargai dan menghabisi waktu sebaik-baiknya bersama orang yang kita Cintai. Kita bisa mencintai selelah-lelahnya sebelum salah satu di antara kita ada yang meninggalkan lebih dahulu. Serupa teman Marshall yang ingin berjalan-jalan dengan kedua kakinya hingga lelah untuk yang terakhir kalinya karna tahu besok ia akan kehilangan ke dua kakinya itu.

Love is a verb. But now we reduce it to be a noun.

Barangkali, pengalaman-pengalaman buruk kita di dalam Cinta membuat kita mendukung Rian D’masiv, dan memandang Cinta tidak lebih dari seorang pembunuh yang membuat kita menderita. Dan kita menjadi seorang pessimist yang selalu berusaha untuk memadamkan segala cahaya dalam Cinta yang mencoba untuk kembali menyala sekecil apapun dia. Tetapi, dari kegelapan dan ketiadaan cahaya di dalam Cinta tersebut, saya dapat melihat ada cahaya kecil yang menyala melalui Papa saya. Darinyalah pertama kali saya mendapatkan apa itu arti sebuah Cinta.

Selain anak-anaknya yang tumbuh dengan baik, saya bisa melihat bentuk Cinta papa saya melalui tanaman-tanaman yang ia rawat sehingga tumbuh dengan sehat, indah, segar, dan baik. Tanaman-tanaman itu memenuhi dan mewarnai setiap jejeran sudut halaman depan rumah saya. Papa saya senang merawat tanaman. Ia bangun dan menyiraminya tiap pagi tanpa disuruh ataupun diwajibi oleh siapapun. Tanpa dipaksa oleh siapapun. Ia tidak terlalu suka membaca buku, tetapi karena ingin memahami bagaimana cara merawat tanaman-tanaman yang memiliki karakteristik dan membutuhkan perawatan yang berbeda-beda, ia rela membeli dan membaca buku tentang bagaimana cara merawat tanaman tertentu . Ia juga mencari berbagai informasi tentang tanaman itu melalui internet. Dan hal itu ia lakukan dengan suka rela, tanpa disuruh atau dipaksa oleh siapapun. Ia tidak pernah berharap sama sekali agar suatu saat tanaman yang ia rawat ini harus membalas budi kepadanya, atau berharap dan meminta tanaman-tanaman itu harus memberikan uang sebagai tanda terimakasih telah dirawat baik olehnya. Tetapi, ia mendapatkan kebahagiaan dengan hanya sekadar melihat tanamannya dapat tumbuh dengan baik.

Hubungan papa dengan tanaman-tanamannyalah yang membuat saya melihat bahwa kita sebagai manusia persis seperti tanaman yang memiliki banyak sekali jenis. Kita terdiri dari berbagai individu yang memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Orang yang kita cintai serupa sebuah tanaman yang sedang kita rawat. Di dalam Cinta, kita menjadi “orang yang merawat tanaman” sekaligus menjadi “tanaman yang dirawat “. Dan untuk mencapai itu, kita harus belajar dan memahami bagaimana karakteristik tanaman kita agar kita bisa merawatnya hingga dapat tumbuh dengan baik. Hingga ia dapat tumbuh menjadi versi terbaik dirinya.

Saya akan memberikan sebuah contoh kasusnya. Ketika kita pergi ke sebuah tempat penjualan tanaman, kita jatuh cinta pada satu tanaman Kaktus. Kita membelinya dan ingin merawatnya. Sebelumnya, kita tidak memiliki pengetahuaan apapun tentang Kaktus. Yang kita tahu setiap tanaman pada umumnya membutuhkan air untuk dapat tumbuh. Lalu setiap hari kita menyiraminya dengan banyak sekali air. Dan ternyata itu menyebabkan batang Kaktus tersebut tidak sehat dan mulai melayu. Hal itu membuat kita sedih karna tanaman yang kita sayangi hampir menemui maut. Dan dari sana kita mulai mencari tau apa penyebabnya. Kita bertanya-tanya apa yang salah dari cara kita merawatnya? Apakah itu karena posisi peletakkannya yang tidak cukup mendapatkan cahaya matahari? atau karena kurang diberi pupuk? atau ada yang salah dengan tanahnya? atau ada yang salah dengan penyiraman airnya? dan sebagainya. Ketidak-inginan kita akan matinya tumbuhan kita, membuat kita merefleksi diri atau menilai ulang kembali diri kita dan pengetahuan kita. Setelah merefleksi diri dari berbagai macam pertanyaan yang kita tujukan pada diri kita, kita mencoba mencari tahu. Lalu kita coba untuk melakukan perlakuan baru kepada tanaman kita. Yaitu memberi air hanya sedikit pada Kaktus kita, karena setelah mempelajari dan mengamati karakter Kaktus dari beberapa sumber, kita baru mengetahui bahwa Kaktus hanya membutuhkan sedikit air. Di situ kita sadar dimana letak kesalahan kita. Ternyata kita selama ini memberikan banyak hal yang ternyata tidak dibutuhkan oleh Kaktus tersebut, yaitu memberikannya banyak sekali air. Setelah kita mengubah cara menyirami airnya dengan hanya memberinya sedikit air, Kaktus kita akhirnya dapat tumbuh dengan baik dan sehat. Dan kita mendapatkan kebahagiaan melalui itu. Kadang kita — tanpa memahami dan mempelajari terlebih dahulu — sudah merasa memberikan banyak dan memberikan segalanya. Padahal itu bukanlah yang mereka butuhkan. Seperti kita memberikan banyak air yang padahal tidak dibutuhkan oleh Kaktus. Malah itu tidak membuatnya tumbuh. Melainkan membuatnya mati. Dan lucunya, kadang kita tidak merefleksi dan menilai ulang apa yang salah dari cara kita merawat. Lalu menganggap hal itu murni salah tanaman kita yang tidak dapat merasakan Cinta kita yang keliru itu. Alih-alih refleksi diri, kita menyalahkan tanaman kita.

Kehadiran Cinta di dalam merawat kaktuslah yang menjadi bahan bakar kita untuk “memahami dan mempelajari” bagaimana cara merawat Kaktus tersebut agar dapat hidup dan tidak mati. Dan melalui contoh itu, tumbuhan yang “dirawat” oleh kita sebagai “perawat”, dapat bertumbuh dengan baik. Begitu pula kita sebagai “perawat” atau “yang merawat”, juga bertumbuh dan naik level. Sebab kita dari yang dulunya tidak tahu cara merawat Kaktus, sekarang menjadi tahu dan paham. Di dalam Cinta, Kita sebagai perawat dan sebagai yang dirawat sama-sama saling bertumbuh. Dan di dalam Cinta kita saling membantu untuk menemukan diri kita masing-masing. Saling membantu untuk menjadi versi terbaik dari setiap diri kita.

Cinta serupa Air dan cahaya Matahari yang menumbuhkan pohon-pohon, kebun-kebun ataupun sawah-sawah yang nantinya akan memberikan manfaat untuk kehidupan semua makhluk bumi. Dan Matahari ataupun Air tersebut tidak pernah meminta kembali untuk disirami dan diairi oleh pohon-pohon, kebun-kebun ataupun sawah-sawah itu. Cinta berarti memberikan apa yang “hidup” di dalam diri kita kepada yang kita cintai. Sehingga yang “hidup” di dalam diri kita tersebut memperkaya hidup semua hal atau semua orang yang kita cintai itu. Sehingga orang yang kita cintai tersebut dapat membagi kembali kekayaan yang hidup di dalam dirinya akibat Cinta kita yang tulus itu kepada hal-hal dan semua makhluk yang ia cintai tanpa merasa ada yang hilang dari dirinya — seperti sebatang lilin yang tidak padam atau kehilangan cahayanya ketika membagi apinya kepada lilin-lilin lain agar dapat menyala. Seperti yang akan saya jadikan contoh lagi adalah “sebuah Pisau”. Pisau pada awalnya diciptakan untuk membantu dan memudahkan manusia agar dapat membelah dan memotong sesuatu yang sulit dibelah menjadi dua bagian. Sehingga dia dibentuk dan didesain memiliki bentuk yang pipih dan tajam. Yang “hidup” di dalam Pisau adalah kemampuan dia untuk memotong benda-benda yang menjadi suatu masalah bagi manusia. Ia diciptakan untuk menolong dan memudahkan manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut, yang menjadi makna mengapa Pisau tersebut ada, Pisau harus mempertajam dirinya. Begitulah bagaimana sebuah pisau “mencintai”. Ia memberikan apa yang hidup di dalam dirinya kepada manusia agar manusia tersebut tertolong. Cara pisau mencintai adalah dengan cara meraih penuh potensi terbaik yang ada di dalam dirinya. Ia mencintai dengan menjadi setajam mungkin.

Dalam mencintai kita menjadi kaya. Sebab di dalam Cinta kita selalu memberi. Dan tidak sama sekali merasa ada yang berkurang di dalam diri kita akibat kegiatan memberi tersebut. Sebab kata “Kaya” berarti selalu “tidak pernah merasa kekurangan” dengan “sekecil apapun” harta yang kita miliki secara jiwa atau materi. Dan kata “Miskin” berarti “selalu merasa kekurangan” dengan “seberlimpah apapun” harta yang kita miliki secara jiwa atau materi.

Melalui Papa saya dengan tanaman-tanamannya itu, saya menyadari bahwa selama ini saya salah memaknai bunga hadiah wisuda yang sudah saya ceritakan sebelumnya. Penyebab bunga tersebut mati dan layu karena saya hanya sekadar “memiliki” bunga itu, tetapi tidak “mencintai”nya. Ketiadaan Cinta saya terhadap bunga itulah yang membuatnya mati layu.

“Mau makan apa pake cinta?” Justru dengan adanya Cinta kita akan selalu berusaha untuk bertahan hidup dan menghidupkan orang yang kita cintai. Memberi makan orang yang kita cintai. Dengan adanya Cinta, Kita rela bangun pagi, tidur larut malam, bekerja untuk mencari makan agar orang yang kita cintai tidak kelaparan dan mati. Cinta serupa Bensin. Bahan bakar yang membuat kita bergerak untuk melakukan segala hal di dunia ini. Melakukan segala usaha agar orang yang kita cintai tidak menderita, tidak mati dan dapat tumbuh dengan baik. Cintalah yang membuat kita dapat bergerak, melakukan segala hal, dan bertahan hidup di dalam dunia yang penuh dengan penderitaan ini.

Ketika di dalam Cinta ternyata kita tidak bergerak untuk melakukan hal-hal tersebut, berarti itu bukanlah Cinta. Melainkan kita membiarkan ke-egoisan kita tumbuh di dalamnya dan membunuh diri kita. Egois tidak sama dengan “mencintai diri sendiri”. Karena menjadi egois berarti membunuh potensi yang dapat tumbuh di dalam diri kita dan di dalam diri orang yang kita cintai. Merugikan diri kita dan orang yang kita cintai. Sedangkan mencintai adalah “saling menumbuhkan” bukan “saling mematikan”.

Cinta adalah fondasi paling dasar di setiap hubungan antar manusia. Ketika segala benda-benda mati (yang teman saya katakan lewat Twitter) seperti; “kecantikan, harta benda dll” yang rapuh, tidak permanen dan ada di luar diri kita itu telah hilang dan tiada, kehadiran Cinta yang satu-satunya tertinggal itulah yang membuat kita masih mau bertahan untuk menghabisi hidup bersama dan tumbuh kembali. Membangun kembali rumah yang telah rubuh itu dari semula.

Kata “Membunuh” dan “Menumbuh” terdiri dari huruf-huruf yang sama. Barangkali, selama ini kita semua, termasuk Rian D’,massiv keliru dalam membaca Cinta. Mungkin kita harus mengusap dan membersihkan lensa kacamata kita dari debu yang mengaburkan pandangan kita dalam memaknai Cinta. Dan menyusun ulang kembali huruf-huruf Cinta dari “Membunuh” menjadi “Menumbuh”.

--

--

Giyanda Vernoval

A mind without books is like a room without windows—your brain wont be able to breathe at all