Perihal Uang Kita Semua Agamanya Sama

Giyanda Vernoval
22 min readJan 26, 2020

Don’t think money does everything or you are going to end up doing everything for money — Voltaire

Beberapa bulan yang lalu, saya dan beberapa teman saya mendaki Gunung prau. Salah satu gunung indah yang terletak di kawasan Dieng Wonosobo Jawa Tengah. Kami beranggotakan sepuluh orang. Enam laki-laki dan empat perempuan. Tidak semua dari rombongan tersebut sudah saya kenal sebelumnya. Ada tiga orang yang baru saya kenal dari rombongan tersebut dan hingga sekarang saya masih berteman baik dengan mereka . Malah sekarang saya masih suka ngumpul dan bertukar buku dengan mereka. Kalau tidak salah, kami tiba di puncak sekitar pukul satu atau dua pagi. Dan kami turun sekitar pukul dua atau tiga sore. Mungkin di lain waktu saya akan menceritakan bagaimana perjalanan kami selama mendaiki gunung dan apa yang bisa saya ambil dan saya nikmati dari mendaki gunung.

Dengan paru-paru yang dipenuhi udara dingin gunung prau, sekitar pukul tiga sore kami turun sambil menyanyikan banyak sekali lagu yang ikut tumbuh bersama kami di masa kecil ,remaja hingga masa sekarang.

Beberapa diantara banyak lagu tersebut, ada dua buah lagu yang kami nyanyikan dari film Joshua Oh Joshua. Selain film Petualangan Sherina, saya rasa film Joshua Oh Joshua juga merupakan film yang ikut mengisi masa kecil orang-orang yang sebaya dengan saya.

Lagu pertama yang kami nyanyikan adalah lagu yang berjudul “Nasib Diriku”. Lirik nya seperti ini:

“inikah nasib diriku, jadi si miskin sejak kecil
Bapak miskin, ibu miskin, teman2 juga miskin”

Dan setelah itu, kamipun melanjutkan nanyian kami ke lagu selanjutnya, dengan menyanyikan lagu yang masih dari film yang sama. Liriknya seperti ini:

Andai aku jadi kaya
Punya uang sejuta-juta
Kan ku beli banyak gitar (untuk apa?)
Kan ku sewakan pada pengamen-pengamen

Andai aku jadi kaya
Punya uang sejuta-juta
Kan ku ajak ayah dan Bunda (Kemana?)
Kemana aja, namanya juga orang kaya…
Duh.. enaknya jadi orang kaya
Beli apa juga bisa
Pergi kemana saja bisa
(Bisa kaya gak kita ya?)
Bisa….. Pasti bisa
Asal kita rajin bekerja
Bisa….. Pasti bisa
Asal rajin menggapai cita

Dengan pakaian lusuhnya, serta gedung-gedung tinggi Jakarta yang menghiasi persis di belakangnya, di film itu Jojo dan Jejen menyanyikan lagu-lagu tersebut di atas jembatan kayu dengan keluguannya sambil mungkin juga merenungkan kemiskinannya.

Ketika saya kecil, ntah mengapa hampir semua cerita di televisi — sinetron misalnya — kebanyakan ceritanya selalu tentang si miskin yang hidupnya kebanyakan dihabiskan dengan menangis dan si kaya yang hidupnya kebanyakan dihabiskan dengan tertawa bahagia. Ketika ada sinteron barupun ceritanya tidak jauh-jauh dari perbedaan kehidupan antara si miskin dan si kaya.

Di negara yang masih berkembang ini, masih banyak kita temukan cita-cita masyarakatnya adalah menjadi ‘orang sukses’,dan kebanyakan definisi sukses di sini lebih tepatnya adalah ‘menjadi kaya’. Para orang tua yang bernasib sama dengan Jojo, mungkin menitip pesan kepada anaknya “sekolah yang rajin ya nak, biar bisa kerja ,cari uang banyak, terus jadi orang kaya”. Dan mungkin ada juga beberapa dari orang tua yang sudah kaya — untuk mempertahankan harga dirinya sebagai orang tua yang berhasil mendidik anak — mereka menginginkan dan kadang menuntut anaknya setidaknya juga bernasib sama dengan orang tuanya atau mungkin harus lebih dari mereka. Sehingga ketika kita masuk ke sekolah atau universitas, ujung dari tujuan kita menuntut ilmu adalah persiapan diri untuk menjadi mesin-mesin pencari uang. Sekolah dan universitas tidak lagi menjadi wadah untuk belajar menjadi manusia, melainkan sekolah dan universitas hanyalah sebagai pabrik untuk menciptakan mesin-mesin pencari uang.

Ketika tamat sekolah, saat memilih ingin melanjutkan kuliah dimana— mungkin tidak semua orang — masih banyak saya temukan orang memilih jurusan yang akan dia geluti berdasarkan prospek pekerjaan dan profesi mana yang memiliki ladang subur untuk meraup uang yang besar ketika lulus nanti.

Ntah mengapa dari kecil kita sudah diajarkan untuk menjadi kaya. Seolah-olah satu-satunya cara untuk menjadi bahagia adalah menjadi kaya.

Pola pikir menjadi kaya ini tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Apalagi hidup di negara dengan keadaan ekonomi yang masih timpang dan belum sepenuhnya rata ini, sangat tidak salah mengapa masih banyak orang yang memiliki pola pikir seperti itu. Keadaan ekonomi seseorang memang bisa mempengaruhi kesadaran,relasi sosial dan pola pikir manusianya.

Contoh kecilnya untuk bisa menulis tulisan inipun saya butuh Wifi, untuk bisa menggunakan wifi saya juga harus mengeluarkan uang. Maka dari itu, selalu ada peran ekonomi yang berperan di dalamnya. Uang memang sangat penting. Lantas, mengapa saya masih tetap melanjutkan tulisan ini ?

Karna dalam hal ini masih ada pertanyaan saya yang sampai sekarang masih belum terjawab. Dan saya berharap, melalui tulisan ini saya akan menemukan jawabannya.

Yang menjadi alasan saya untuk menulis tulisan ini adalah sebuah pertanyaan yang sudah lama bersembunyi di kepala saya. Yaitu, kalau menjadi kaya adalah sebuah tujuan, lantas mengapa yang paling banyak mencuri uang negara malah orang-orang yang sudah kaya?

Maka dari itu saya rasa ada yang keliru dengan pola pikir menjadi kaya ini.

Basic Necessities

Sebagaimana kita tahu, kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan yang harus dipenuhi pertama kali daripada kebutuhan-kebutuhan lainnya. Dan di antara kebutuhan dasar itu terdapat kebutuhan yang paling dasar lagi. Contohnya, anggap kita sedang berada di dalam situasi dimana kita sedang berada di tempat yang memiliki oksigen sangat tipis dengan keadaan sedang sangat kehausan dan sangat kelaparan. Akan saya lipat gandakan lagi kesengsaraannya dengan menambahkan“tidak ada wifi” he.

Dalam situasi seperti itu, seberapa besarpun keinginan kita untuk mencari wifi agar bisa main instagram, tubuh kita tidak akan melakukan itu. Dan saya bisa jamin di situasi seperti itu kita tidak akan lagi memikirkan dimana letak wifi berada, tidak akan lagi memikirkan akan jadi apa ketika besar nanti, tidak akan lagi memikirkan siapa jodoh kita nanti, apalagi sampai kepikiran ingin bikin tiktok parara hinga Instastory menggunakan filter “kapan menikah”.

Lalu apa yang akan kita cari dan kita penuhi terlebih dahulu?

Tubuh kita akan otomatis mencari udara untuk bernafas terlebih dahulu. Karna kita lebih tidak bisa tahan untuk tidak bernafas daripada tidak minum dan tidak makan. Maka dari itu bernapas lebih penting dari pada makan ,minum apalagi wifi.

Setelah itu apa yang selanjutnya kita pilih? makan atau minum? jawaban dari pertanyaan itu saya temukan ketika saya berpuasa di bulan puasa. Puasa mengajari saya banyak hal. Mulai dari mengetahui kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, menundukkan nafsu-nafsu hewani, mengajari hidup asketis, mengajari practicing poverty seperti yang di ajarkan filsafat stoicism dan masih banyak lagi. Mungkin kapan-kapan saya akan menulis satu tulisan membahas apa itu puasa bagi saya.

Kita kembali ke “Setelah itu apa yang selanjutnya kita pilih? makan atau minum?”. Ketika saya berpuasa Haus lebih menjepit daripada Lapar. Dan ketika berbuka puasa, sayapun lebih mendahulukan minum daripada makan. Dari situ saya mengetahui kalau saya lebih tidak bisa tahan akan kehausan daripada tidak bisa tahan akan kelaparan. Maka minum lebih penting daripada makan.

Dan setelah saya mencari tahu berapa lama tubuh manusia mampu menahan lapar dan haus? Saya menemukan secara fisik manusia bisa hidup tanpa air alias menahan haus hingga maksimal 3–5 hari. Sementara untuk menahan lapar manusia bisa bertahan tidak makan hingga 8 minggu dengan catatan masih mengonsumsi air. Tapi jika kondisi fisik orang tersebut baik, maka bisa membuat seseorang bertahan lebih lama lagi.

Tetapi, untuk memenuhi kebutuhan dasar kita seperti mendapatkan makanan dan minuman, kita membutuhkan uang. Maka dari itu saya menempatkan uang juga sebagai kebutuhan dasar manusia. Pasti selalu ada peran uang dibaliknya, hingga kebutuhan dasar kita.

Kecuali kebutuhan untuk bernafas. Setelah saya pilah-pilah tadi, bernafas adalah kebutuhan manusia yang paling dasar. Dan mungkin itu mengapa bernafas adalah satu-satunya kebutuhan dasar manusia yang masih bisa kita dapatkan dengan cuma-cuma saat ini? Dan saya tidak bisa membayangkan kalau kita hidup di mana kita juga harus mengeluarkan uang untuk bernafas. Sebagaimana kita mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia lainnya seperti makan dan minum.

Setelah semua kebutuhan dasar ini terpenuhi, kita bisa melangkah naik ke anak tangga kebutuhan selanjutnya dan selanjutnya dan selanjutnya dan selanjutnya.

*Saya telah menulis tulisan ini dari bulan oktober tahun lalu. Tertunda selama berbulan-bulan hingga baru saya lanjutkan di tahun ini*

Beberapa hari yang lalu ntah mengapa saya selalu menemukan video-video hewan yang mulai berperilaku seperti manusia. Pertama video anjing yang menarik anak perempuan kecil yang hampir tercebur ke laut. Melihat video itu, saya jadi teringat dengan film Hachiko. Anjing yang sangat setia menunggu majikannya yang sudah tiada dan tidak akan kembali lagi. Saya sangat menyukai anjing, karna dia bisa jadi teman yang sangat setia dan mau melindungi teman manusianya. Jika ada orang yang mengatakan kau dengan sebutan “Anjing” barangkali seharusnya kau bersyukur. Mungkin itu adalah sebuah pujian, bukan makian He. Karna mungkin sekarang sangat sulit menemukan manusia yang bisa sesetia dan sebaik anjing juga mau melindungi teman manusianya. Kadang saya melihat Anjing lebih manusia daripada manusia itu sendiri.

Kedua, video bebek yang memberi makan ikan-ikan yang bahkan bukan dari jenisnya sendiri. Tidak seperti manusia yang kadang terlihat rakus terhadap sesamanya, bahkan bebekpun mau berbagi kepada ikan yang berbeda jenis dengannya.

Dan pagi ini, saya menemukan video seekor angsa putih yang membersihkan sampah-sampah dengan paruhnya sendiri. Tidak hanya anjing, ternyata banyak binatang-binatang lain yang terlihat lebih manusia daripada manusia itu sendiri. Dan manusia juga malah bisa sebaliknya. Manusia bisa lebih binatang dari pada binatang itu sendiri.

Oh ya. Saya sempat merasa menjadi manusia tercupu apabila saya hidup di dunia Harry potter. Sebab selain harus menerima kenyataan bahwa saya ternyata berada di house Hufflepuff setelah melakukan tes di situs pottermore.com, ternyata saya juga memiliki patronus berwujud Angsa Putih. Angsa putih? Itu sangat terdengar cupu dan tidak keren sama sekali. Tapi kesan itu telah berubah menjadi sebuah kebanggan ketika saya menemukan video Angsa Putih yang membersihkan sampah itu tadi pagi. Ternyata selain Hufflepuff yang memiliki patronus angsa putih, saya juga berbakat memungut sampah. he

“Man is nothing else but what he makes of himself.” begitu kata Jean Paul Sarte. Selain memiliki kesadaran dan akal. Menurutnya yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah eksistensi manusia mendahului esensinya. Manusia terlahir seperti kertas kosong. Setelah manusia lahir, mau jadi seperti apa manusia itu, manusia itu sendirilah yang harus mewujudkan esensi dirinya sendiri. Manusia memiliki kebebasan untuk memberi esensi dan makna hidupnya sendiri. Mau jadi penjahat atau orang baik, manusia itu sendiri yang memilih dan mewujudkannya. Kehidupuan tidak memiliki makna dan esensi, manusia itu sendirilah yan harus memberikan makna dan esensi atas hidupnya. Begitu kira-kira ucapan Sartre.

Jean Paul Sartre

Berbeda dengan hewan. Hewan sudah terlahir sepaket dengan esensinya. Hewan sudah ditentukan kodratnya dan tidak akan bisa dirubah. Seperti pisau yang tidak bakalan bisa merubah dirinya menjadi palu.

Tidak seperti manusia yang sadar bahwa dirinya ada dan sadar, hewan tidak memiliki kesadaran bahwa ia sadar. Ia hanya menjalankan hidupnya sesuai desain yang sudah diberikan kepadanya.

Saya tidak bisa membayangkan jika tiba-tiba ayam diberi akal dan kesadaran. Jika saja terlahir satu ekor filsuf ayam yang memiliki pemikiran-pemikiran revolusioner , mungkin mereka sudah berbaris didepan KFC-KFC yang ada di seluruh penjuru dunia dan berencana akan melakukan pemberontakan terhadap restoran makan cepat saji itu. Mungkin KFC adalah Nazi bagi mereka. Jargon “Jagonya Ayam” terdengar seperti gaungan “Hail Hitler” bagi mereka. Dan Colonel Sanders — pendiri KFC — adalah Adolf Hitler bagi mereka. Sebab ia sudah melakukan genosida dan pembantaian besar-besaran terhadap umat Ayam. Seperti Hitler yang sudah melakukan kejahatan besar terhadap nilai-nilai Kemanusiaan, Sanders telah melakukan kejahatan terbesar yang pernah ada terhadap nilai-nilai Keayaman. Dan kebetulan ketika menulis bagian ini, saya sedang berada di KFC sambil melahap kenyang burger yang berasal dari daging-daging mereka. “Hail zuper krunch!”

Pernyataan Sartre itu diperkuat ketika ada sebuah eksperimen simpanse yang dibesarkan bersama balita dan diperlakukan sama sebagaimana merawat manusia. Eksperimien tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah simpanse bila dirawat oleh manusia, ia bisa bertindak selayaknya manusia?

Alhasil bukannya simpanse yang meniru perilaku manusia, malah balita tersebutlah yang mulai meniru perilaku dari simpanse itu.

Benar adanya bahwa manusia adalah makhluk yang mulia. Tetapi manusia itu harus mewujudkan sendiri kemuliaan itu. Dan Jean Paul Sartre menguatkan pepatah yang ntah dari mana saya pernah dengar yang berbunyi “manusia bisa lebih rendah derajatnya daripada hewan dan bisa lebih tinggi daripada malaikat”.

Oh ya. Saya minta maaf apabila barangkali saya ada keliru dalam mengutip pemikiran-pemikiran dari tokoh-tokoh yang pernah saya kutip. Barangkali itu tidak lagi sepenuhnya murni pemikiran mereka. Mungkin sama seperti bibit-bibit kopi afrika yang ditanam di tanah Indonesia. Biji kopi yag tumbuh tidak akan lagi sepenuhnya murni seperti biji asalnya yaitu Afrika. Melainkan ada ciri-ciri dari bawaan Indonesia yang telah bercampur dengan Afrika di dalam biji kopi yang tumbuh. Sehingga menciptakan rasa kopi yang baru. Begitu juga dengan tulisan ini. Tulisan ini adalah biji kopi yang baru itu. Ditanam dengan bibit-bibit Plato, Socrates dan teman-temannya.

Dibulan November tahun 2019 saya baru lulus dari kuliah. Saya mengambil jurusan Teknik Perkapalan. Dan sebulan setelahnya saya mendapat pekerjaan di suatu perusahaan yang bergerak di bidang bangunan dan perbaikan kapal yang berada di kota kelahiran saya. Dari sana saya mendapatkan pikiran kalau Masyarakat itu sama seperti sebuah bangunan kapal besar. Untuk menggerakkan kapal tersebut agar bisa berjalan maju dan selamat, ada banyak sekali pretelan-pretelan atau komponen-komponen yang menyusun — dari yang paling besar hingga yang paling kecil — dan saling membantu untuk membangun juga menggerakkan kapal besar tersebut.

Ada plat baja yang menjadi kulit dan kerangka tulang-tulang kapal, ada mesin dan baling-baling sebagai alat penggerak kapal, ada cat yang berfungsi untuk melindungi badan kapal tersebut, ada pipa untuk mengalirkan air dan masih banyak lagi.

Hingga baut-baut kecilpun memeiliki peran yang sangat penting disana. Tidak ada satu barangpun yang berada di kapal yang tidak berguna dan tidak memiliki fungsi sama sekali. Semuanya memiliki fungsi dan peran penting dibidangnya masing-masing. Hanya untuk satu tujuan. Yaitu menggerakkan kapal agar dapat berjalan dengan selamat sampai tujuan.

Begitu juga masyarakat, di dalamnya terdapat berbagai macam fasilitas dan pelayanan yang menopang kehidupan kita sehari-hari. Dan di dalamnya akan kita temukan berbagai macam jenis pekerjaan yang terlibat di sana. Ada polisi, dokter, musisi, arsitek, koki dan masih banyak lagi. Sebagaimana ada plat baja, mesin, cat, baling-baling, baut-baut, kabel-kabel lisrtik,pipa-pipa yang tersebar di dalam sebuah kapal besar. Kita adalah komponen-komponen yang saling bahu-membahu dalam membangun suatu kapal besar yang bernama “Masyarakat” agar terus berjalan maju.

Dan kita sebagai manusia melalui pekerjaan dan profesi, memainkan perannya masing-masing untuk membangun dan menggerakkan kapal besar yang kita namakan Masyarakat itu agar dapat terus berjalan maju dengan selamat.

Dan kita semua, termasuk saya telah memainkan peran-peran tersebut melalui yang namanya sebuah “Pekerjaan” atau “profesi.

Profesi adalah sebuah elemen masyarakat yang memiliki fungsi untuk saling berbagi, tolong-menolong memberikan manfaat bagi satu sama lain untuk keberlangsungan hidup. Dan pekerjaan adalah alat untuk mencapai tujuan itu. Melalui pekerjaan kita bisa mewujudkan “untuk apa kita ada” di dalam dunia ini. Melalui pekerjaan kita dapat meraih konsep yang pernah Plato katakan sebagai Arete( Keutamaan Hidup). Menurut Plato, Arete tidak hanya dimiliki manusia, melainkan Arete bisa kita temukan dimana-mana. Di seekor kuda, di dalam sebuah karya seni, hinga di sebilah pisau dapur.

Sayangnya di jaman sekarang pekerjaan atau profesi telah dikerdilkan fungsi dan esensinya menjadi hanya sekadar alat mata pencaharian. Dikuruskan dan diperas maknanya hingga menjadi alat untuk menggali keping-kepingan rupiah.

Plato (kiri), Aristoteles (kanan)

Di tulisan pertama saya di medium ini — yang berjudul “Manusia adalah hewan yang berpikir” — saya menulis sedikit tentang Aritoteles. Ia mengatakan Manusia adalah hewan. Sebab manusia juga memiliki nafsu-nafsu yang sama seperti hewan. Manusia hidup dan bernafas, hewan juga. Manusia makan, hewan juga. Manusia minum, hewan juga. manusia melakukan seks, begitu juga hewan. Dan satu-satunya yang membedakan manusia dengan hewan adalah manusia memiliki akal. Maka dari itu ia mengatakan kalau manusia adalah hewan yang berpikir.

Aritoteles juga memiliki pemikiran bahwa segala sesuatu yang diciptakan di dunia ini memiliki tujuan dan fungsinya masing-masing sesuai desain atau keunikan yang telah diciptakan dan diberikan kepadanya. Keunikan dan desain yang akan hanya ditemukan di suatu benda tersebut dan tidak dimiliki benda lain. Contoh sebuah pisau dapur. Ia diciptakan dengan bentuk pipih dan tajam. Ia diciptakan dengan bentuk dan desain seperti itu karna fungsi dan tujuannya diciptakan adalah untuk membantu memudahkan manusia ketika membelah atau memotong sesuatu menjadi dua bagian. Dan itulah Arete(keutamaann hidup) sebuah pisau. Begitu juga dengan manusia, satu-satunya keunikan manusia yang tidak dimiliki makhluk lain adalah akal. Maka manusia harus menggunakan dan melatih akalnya untuk mencapai keutamaan hidupnya.

Seperti kata Jean Paul Sartre tentang eksistensi manusia mendahului esensinya yang sudah saya tulis di atas, Manusia tidak terlahir langsung sepaket dengan esensinya. Berbeda dengan makhluk-makhluk lain yang sudah terlahir dengan identik yang melekat didalam dirinya dan tidak bisa diubah lagi. Manusia harus mewujudkan dan meraih esensi hidupnya sendiri. Manusia harus meraih Aretenya sendiri.

Ketika manusia dilahirkan di muka bumi, disanalah dimulai pertualangan hidupnya. Sebagaimana Naruto memulai perjalanan hidupnya untuk menjadi seorang Hokage. Sebagaimana Kratos di dalam sebuah game berjudul God Of War memulai perjalanan hidupnya untuk menjadi Dewa Perang.

Kita kembali kepada pepatah “manusia bisa lebih rendah derajatnya daripada hewan dan bisa lebih tinggi daripada malaikat”. Kita dilahirkan belum sepenuhnya utuh menjadi manusia. Dan kita harus menaikkan kelas kita dari kelas hewan menjadi manusia sepenuhnya.

Plato menggambarkan perjalanan manusia dalam menggapai Arete(keutamaan hidupnya) Seperti sebuah kereta kuda atau dikenal sebagai The allegory of the chariot— saya juga sudah sering menulis tentang ini di tulisan tulisan sebelumnya. Tapi akan saya tulis lagi dengan bahasan yang berbeda.

Kereta kuda Plato

Perjalanan manusia dalam mencapai keutamaan hidupnya sama seperti sebuah kereta yang ditarik oleh dua kuda dan di kendalikan oleh seorang supir. Mereka terbang naik keatas, yaitu untuk meraih Arete tadi. Sebagai mana manusia menaikan kelas hidupnya.

Masing-masing dari mereka mewakili maknanya masing-masing.

  1. Epithumia (kuda hitam)
    Kuda bewarna hitam adalah kuda yang sulit ditundukkan. Kuda itupun menghadap kebawah karna ia selalu menarik kereta menuju kebawah. Kuda hitam adalah kuda yang mewakili nafsu-nafsu mulai dari perut ke bawah. Nafsu-nafsu rendah atau nafsu yang sama seperti hewan miliki. Nafsu-nafsu seperti makan, minum, seks, uang. Seperti yang sudah saya tulis di atas, nafsu-nafsu hewani ini kebanyakan sama seperti kebutuhan yang paling mendasar dan tidak bisa dihilangkan dari manusia. Karna kita sudah dilahirkan sepaket dengan itu. Dan menurut saya kebanyakan penyebab kejahatan terjadi berasal dari kuda hitam ini.
  2. Thumos (kuda putih)
    Kuda bewarna putih berada di wilayah perut sampai leher. Melambangkan nafsu-nafsu seperti jabatan, kehormatan, pengakuan, gengsi dan harga diri.
  3. logistikon (supir)
    Seorang supir. wilayahnya ada dikepala. mewakilkan nilai nilai yang sangat tinggi seperti pengetahuan,akal, kebaikan, kebijaksanaan, kebenaran, keindahan dll.

Dan mereka memiliki sayap yang dinamakan eros. Berfungsi sebagai drive atau dorongan yang menghidupkan ketiga bagian jiwa tersebut. Membawa kereta kuda tersebut terbang.

Bagaimana kereta kuda tersebut akan selamat? kuncinya ada di seorang supir tadi. Seorang supir tadi harus mengendalikan dan menyelaraskan kedua kuda tersebut. Supir itu harus adil memberi makan kuda-kudanya. Tidak kurang tidak lebih. Maka dari itu, supir tadi harus dilatih dan diberi bekal agar mampu membawa kereta kuda tersebut sampai ke tujuan dengan selamat.

Supir yang lemah, akan diperbudak oleh kuda-kudanya. Apabila supir tadi tidak memberi makan kuda hitam, kereta kuda tersebut akan terhambat jalannya dan akan jatuh. Begitu juga dengan kuda putih. Tetapi, apabila supir tadi hanya mengikuti maunya kuda hitam dan selalu memberi makan kuda itu, maka supir tadi akan diperbudak oleh kuda hitam tadi. Begitu juga dengan kuda putih. Mereka pun juga akan jatuh dan tidak akan sampai di tempat tujuan.

Apabila kita melihat dan menemukan orang yang gila akan kehormatan, pengakuan, jabatan, maka itu berarti supir miliknya sedang diperbudak dan dikendalikan oleh kuda putih. Begitu juga orang yang hidupnya dihabiskan untuk nafsu-nafsu rendah atau nafsu hewan yang berada di wilayah kuda hitam tadi. Supir tadi sedang dikendalikan dan diperbudak oleh kuda hitam. Maka dari itu supir tadilah yang harus diperkuat untuk bisa menjinakkan dan menundukkan kedua kudanya.

Kita kembali ke secarik kertas bertuliskan angka yang mampu mengatur hidup kita. Yaitu “Uang”. Uang termasuk di dalam wilayah kuda hitam. Barangkali, itulah yang menghambat jalan kereta kuda orang-orang miskin untuk mencapai Arete (keutamaan hidup) nya, seperti Joshua juga teman-temannya yang bernasib sama dengannya .Yang disetiap doa mereka selalu terselip kata “Ya Tuhan, Ampunilah kemiskinan kami”.

Kuda hitam mereka sedang sekarat dan sakit. Maka dari itu tidak salah jika ia memiliki cita-cita ingin jadi kaya punya uang sejuta-juta seperti yang ia nyanyikan bersama Jejen di atas jembatan itu.

Mereka seperti seekor kuda yang telah tumbang dan merindukan kembali kehidupannya dulu yang indah ketika ia mampu berlari sangat kencang sambil meringkik dengan gagah.

Karna itu juga, banyak orang — termasuk saya yang memilih jurusan perkapalan— ketika ingin memilih jurusan untuk melanjutkan kuliah, yang dipertimbangkan bukan lagi jurusan itu adalah jurusan yang sesuai dengan dirinya, melainkan jurusan tersebut dipilih karena prospek kerja dengan penghasilan yang menjanjikan. Kuda hitamlah yang mendasari pemilihan jurusan itu. Jika di bidang perminyakan adalah bidang yang menjanjikan untuk menjamin kuda hitammu sehat dan bugar, Maka beribu-ribu orang akan berbondong bondong untuk masuk kesana — yang kemungkinan mereka hanya membutuhkan 50 orang saja. Sisanya yang terbuang akan tersebar ke bidang-bidang yang lain yang bukan tempat dimana seharusnya mereka berada.

Kita bebas menentukan dan mewujudkan makna dan esensi hidup kita sendiri seperti yang Sartre katakan. Tetapi kita tidak bisa memilih untuk terlahir di negara apa, agama apa, suku apa, anaknya siapa, seberapa kaya dan misikan kita, dan juga fakta-fakta lainnya. Kita terlempar begitu saja di dalam kehidupan ini.

“Perihal uang kita semua agamanya sama” kata-kata yang menjadi judul dari tulisan ini adalah kata-kata dari Voltaire. Agama, suku, ras,dan identitas apapun sering menjadi permasalahan. Dengan alasan agama,suku, ras tadi, masih banyak orang-orang yang membangun tembok tinggi kepada orang yang tidak satu identitas dengannya. Ntah itu membatasi komunikasi, menilai perilaku, tindakan dll.. Tetapi, ntah mengapa semua tembok itu mampu runtuh kalau ada selembar kertas yang bernama “Uang” tadi di baliknya. Itu yang saya rasakan di tempat dimana saya bekerja. Di sanalah berbagai macam orang dari negara, agama, suku apapun berkumpul dan berkomunikasi dengan lancar. Seolah olah tembok tadi runtuh begitu saja. Dan yang mengumpulkan mereka ke dalam satu tempat tadi adalah selembar kertas yang bernama “Uang” tadi.

Kita kembali ke profesi, uang dan kuda hitam tadi. Karna hal itu, Kapal besar yang bernama Masyarakat yang kita bangun tadi, tidak akan selesai dibangun. Barangkali bisa selesai, tetapi hasilnya akan jelek dan cacat. Sistemnya telah rusak. Sebab yang seharusnya menjadi baling-baling, terpaksa menjadi kerangka. Yang seharus nya menjadi pipa, terpaksa menjadi kabel. Semua menjadi salah letak dan tidak sesuai dengan tempat dan fungsinya masing-masing. Yang ada, kapal itu tidak akan bisa jalan. Kalau dipaksakan jalanpun kapal itu akan tenggelam dan karam. Serupa mainan lego yang gagal dibangun atau rubuh hanya karna ada satu kepingan yang diletakkan tidak sesuai pada tempatnya.

Saya ambil contoh. Ada dua orang yang sama-sama ingin menjadi dokter. Yang satu menjadi dokter karna ia memang ingin membantu orang-orang yang sedang sakit. Dari sana ia mendapatkan kebahagiaan, dan tidak lagi memikirkan penghasilan yang ia dapatkan. Fungsi utama dan nilai-nilai baik yang terdapat di dalam Logostikon (Supir)lah yang telah melatarbelakanginya menjadi seorang dokter. Satu lagi menjadi dokter karna ia tahu kalau uang yang dihasilkan dari seorang dokter sangat besar sekali. Ketika ada seseorang dengan tanpa identitas yang jelas dan tidak memiliki uang tiba-tiba terluka parah dan membutuhkan operasi, apa yang akan dilakukan dokter pertama? Dan bagaimana dengan dokter yang kedua?

Contoh kedua kita ambil dari profesi seorang polisi. Nilai-nilai baik dari seorang Polisi adalah melayani dan melindungi warga negaranya agar tetap aman dan nyaman. Juga yang paling utama adalah memberantas kejahatan. Tapi mengapa masih banyak pungli yang terjadi?. Dan kejahatan bisa begitu saja lewat asal dilicinkan dengan lembaran kertas bernama uang tadi. Itu karena yang melatarbelakangi ia menjadi polisi masih sampai pada tahap adalah kuda hitam tadi. Atau mungkin ia menemukan kebanggaan tersendiri apabila memakai seragam. Dan di dalam hal itu kuda putih tadilah yang berperan. Sehingga dia tidak menjalankan fungsinya sebagaimana polisi berfungsi.

Don’t think money does everything or you are going to end up doing everything for money. Begitu kata Voltaire. Orang yang bekerja karna uang dan berpikir uang adalah segalanya, hanya akan mampu digerakkan oleh uang. Mungkin yang menjadi Dokter karna uang tadi tidak akan bergerak dan menolong seseorang kalau tidak ada duitnya. Tetapi,bisa jadi ketika dia melakukan hal lain seperti masak misalnya, Ia melakukannya dengan senang hati tanpa menggerutu apabila ia tidak dibayar ketika melakukan itu. Bisa jadi ia adalah seorang koki yang disalahletakkan menjadi seorang dokter.

Saya teringat dengan kutipan Albert Einstein “Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.” Ini adalah salah satu kata-kata dari Albert Einstein yang saya sepakati. Dan sudah ada berapa banyak ikan yang dinilai dari kemampuannya dalam memanjat pohon?

Di film terakhir dari salah satu serial favorit saya — yang terlihat seperti ingin diselesaikan dengan tergesa-gesa di season terakhirnya — yaitu Game Of Thrones, kekuasaan tirani dari sistem kerajaan yang diduduki oleh Cersei Lannister telah runtuh. Dan tirani yang akan dilanjutkan oleh Daenerys Targaryen pun berhasil digagalkan oleh Jon Snow. Di adegan itu, para pemimpin yang mewakili berbagai daerah yang tersebar di Westeros berkumpul untuk memilih raja yang baru. Ketika itu, si kutu buku yang bernama Samwell Tarly menawarkan sistem pemerintahan yang terbilang sangat baru di jaman itu.

Ia bertanya “mengapa hanya kita, yang terbilang hanya segelintir orang ini yang berhak memilih siapa raja westeros?” ia berkata “Pemimpin westeros nanti tidak akan hanya memimpin segelintir orang yang hadir di sini sekarang, melainkan ia akan memimpin setiap orang yang ada di tanah westeros ini”. Lalu ia menawarkan agar setiap orang yang ada di westeros ini diberikan hak suara untuk memilih.

Setelah mendengar ucapan Samwell Tarly yang terbilang asing itu, mereka semua terdiam hening beberapa saat. Beberapa orang terlihat sedang memikirkan baik-baik perkataan Samwell dan beberapa orang terlihat bingung. Lalu tiba-tiba keheningan pecah oleh gelak tawa orang-orang yang hadir. Lalu seseorang melemparkan sebuah perkataan yang terdengar seperti sebuah olokan kepadanya “ Sekalian saja kau berikan hak suara untuk anjing dan burung” . Dan satu orang lagi juga menambahkan “Sekalian juga kuda saya diberikan”. Dan dilanjutkan lagi dengan gelak tawa terbahak-bahak.

Samwell Tarly saat itu di tertawakan. Dan beribu-ribu tahun kemudian ide yang terdengar konyol darinya itu kita kenal sekarang sebagai “Demokrasi”. Barangkali ia ketika itu sedang mengalami apa yang pernah di alami oleh Anaxogoras yang diusir dan dituduh Atheis sebab ia mengatakan matahari bukanlah dewa, melainkan sebuah batu merah panas yang lebih besar daripada seluruh jazirah Peloponesia.

Samwell Tarly tidak pernah salah. Pikirannya saja yang sangat terlalu maju sama seperti Anaxogoras di jaman itu.

Tetapi, sangat disayangkan saya juga tidak setuju dengan ide Samwell apabila ketika itu saya juga berada di sana. Selagi rakyat yang masih hidup di tahap masih memikirkan perut kebawah, serta belum berpendidikan dan berpengetahuan, memberikan nya kekuasaan untuk memilih adalah sebuah percobaan bunuh diri. Tinggal tunggu ada yang mampu membayar dan memenuhi kebutuhan perut kebawahnya, mereka akan jinak dan setia sebagaimana hewan peliharaan. Dan disitu proses pemilihan sudah ternodai.

Socrates. Bapak filsafat besar Yunani ini malah tidak menyukai Demokrasi — sistem pemerintahan yang kita tahu lahir dari tempat dimana Socrates berasal. Ia menunjukkan kelemahan dari Demokrasi dengan membandingkan masyarakat yang diibaratkan dengan sebuah kapal. Ia bertanya kepada Adeimantus “Kalau kau sedang berpergian dengan kapal, menurutmu siapa yang paling ideal untuk memimpin kapal ini?” semua orang boleh, atau orang-orang yang berpendidikan dan paham dalam aturan dan kerumitan perjalanan laut? “ tentu saja yang kedua”, jawab Adeimantus.

Socrates

Kemudian Socrates menjawab “ lalu mengapa kita terus berpikir bahwa semua orang, siapa saja boleh menilai siapa yang akan menjadi pemimpin sebuah negara? Ia bermaksud memilih dalam sebuah pemilu juga merupakan suatu keterampilan dan bukan asal-asalan.

Dan seperti keterampilan lain, keterampilan memilih pun juga harus diajarkan secara sistematis kepada masyarakat. Membiarkan orang-orang memilih tanpa pendidikan , sama tidak bertanggung jawabnya dengan membiarkan mereka mengomando sebuah kapal yang sedang menghadapi badai di lautan lepas. Sama juga seperti bunuh diri.

Dan melalui hak suara orang-orang yang belum berpendidikan itu, Yunani kehilangan Filsuf besarnya lewat hukuman mati meminum racun dengan tuduhan membuat sesat dan merusak moral masyarakat Athena. Tuduhan yang muncul sebab ulahnya yang membantu orang-orang agar dapat berpikir dan menggunakan akal sehatnya. Ya, Socrates mati ditangan mereka.

Saya juga teringat dengan cerita tembok cina yang panjang kokoh dan megah itu dibangun dengan tujuan melindungi Cina dari musuh-musuhnya. Tetapi tembok tersebut tetap bisa ditembus dengan cara menyuap para penjaga gerbangnya.

Tembok cina yang dibangun dengan gagah,kokoh,dan megah itupun bisa runtuh juga sebab lupanya mengatasi masalah sesederhana dan serumit “membangun manusia” ketika itu.

Kembali ke pertanyaan saya pertama kali di dalam tulisan ini. Yaitu, kalau menjadi kaya adalah sebuah tujuan, lantas mengapa yang paling banyak mencuri uang negara malah orang-orang yang sudah kaya dan memiliki jabatan yang cukup tinggi? Padahal kuda-kuda mereka sudah diberi makan dan mampu terbang kembali.

Di dalam filsafat Kierkegaard. Ia membagi level eksistensi menusia sebagai individu dari yang terendah hingga yang paling tinggi. Yaitu dari level estetik-etis-religius. Tahap estetik ini adalah tahap yang paling rendah. Dimana manusia hidup layaknya seperti Don Juan yang hanya memuaskan hasrat dan kesenangan sementara. Bisa kita bilang ia hidup hanya untuk memberi makan kuda hitamnya saja. Dan akalnya telah diperbudak oleh nafsu-nafsu yang diwakilkan oleh kuda hitam tadi. Nafsu-nafsu hewani. Kalau ia hanya menghabiskan hidupnya hanya untuk makan, minum, harta dan seks. Apa yang membedakannya dengan hewan?

Kierkegaard

Dan karena kuda hitam ini banyak orang melakukan kejahatan kejam yang binatangpun tidak pernah melakukannya. Disini letak manusia bisa lebih rendah derajatnya daripada binatang. Tidak hanya kuda hitam, kuda putihpun juga begitu.

Barangkali seperti itulah orang-orang yang sudah kaya tapi masih ingin lebih kaya lagi hingga mencuri uang negara. Ia telah diperbudak oleh kuda hitamnya. Barangkali “menjadi kaya” adalah memang tujuan akhir hidupnya. Menjadi kaya adalah destinasi terakhir yang akan dituju oleh kereta kudanya.

Nafsu-nafsu yang diwakilkan oleh kuda hitam ini sama seperti ember bocor. Ketika kita mengisinya, ember tersebut akan kosong kembali. Begitu juga seterusnya. Saya baru teringat bagaimana Soe Hok Gie menggambarkan seks di salah satu tulisannya. Ia menggambarkan seks itu seperti orang yang sedang kebelet kencing. Ketika kebelet kita akan terdesak untuk mengeluarkannya. Setelah dikeluarkan kita akan lega sementara, setelah itu akan kebelet lagi dan mengeluarkannya lagi. Begitu seterusnya dan tidak akan ada habisnya.

Bagi saya, menjadi kaya bukan lah sebuah tujuan hidup. Melainkan menjadi kaya adalah sebuah alat, atau jembatan yang membantu kita untuk mencapai tujuan hidup sebenarnya. Membantu kita untuk meraih tujuan untuk apa sebenarnya kita diciptakan. Untuk menyelesaikan perjalanan kereta kuda kita. Untuk menjadi manusia sepenuhnya. Yaitu mencapai Arete(keutamaan) sebagaimana yang dikatakan Plato tadi.

Sebab ketika kita meletakkan “menjadi kaya” sebagai tujuan hidup. Kita akan berakhir dengan jatuh tenggelam kedalam palung dalam yang tidak memiliki dasar sepanjang hidup kita. Hidup kita akan dihabiskan dengan jatuh dan tenggelam terus-menerus tanpa ada habisnya.

Di tulisan saya sebelumnya saya pernah menulis seperti ini “ Menurut saya manusia tidak bakal bisa mencapai kata “kaya” kalau masih belum bisa merasa cukup. Orang yang miskin yang merasa cukup lebih kaya dari pada orang kaya yang tidak pernah bisa merasa cukup. Orang yang merasa cukup, walaupun seberapa sedikit harta yang dimilikinya, sudah merasa punya segalanya. Orang yang tidak pernah merasa cukup, seberapa banyak harta yang dimilikinya, selalu merasa tidak punya segalanya. Betapa kaya ia dengan ketidakkayaannya. Betapa tidak kaya ia dengan kekayaannya” .

Alih-alih menjadi kaya, kita malah terus dikejar-kejar oleh kemiskinan. Hidup untuk uang itu sama saja seperti hidup untuk minum, hidup untuk makan dan hidup untuk bernafas.

Begini, ketika kita kekurangan udara, kita akan bernapas seperti seekor anjing yang sedang ngos-ngosan. Kita akan menghirup hembuskan udara dengan cepat agar udara tersebut masuk memenuhi paru-paru kita. Dan kita akan bisa kembali bernafas dengan normal dan pelan saat kita mendapatkan udara yang cukup untuk dihirup. Tetapi, saat kita sedang berada di udara terbuka dengan oksigen yang cukup, cobalah menghirup hembuskan nafas dengan cepat sebagaimana ketika kita kekurangan oksigen untuk bernafas. Saya telah mencobanya. Apa yang saya rasakan? saya kelelahan. Seperti itulah orang yang menghabiskan hidupnya untuk uang. Sama seperti bernafas terburu-buru di udara terbuka dengan oksigen yang cukup. Oh iya, saya baru inget. Kenapa uang di dalam bahasa inggris dikategorikan sebagai kata uncountable sama seperti gula, pasir dan teman-temannya?

Sepertinya saya sudah harus mengenakan kacamata. Sebab penglihatan saya sudah mulai kabur ketika saya melihat kedalam prinsip hidup manusia di jaman sekarang. Saya selalu keliru dan selalu salah membaca ‘uang untuk hidup’ sebagai ‘hidup untuk uang’.

--

--

Giyanda Vernoval

A mind without books is like a room without windows—your brain wont be able to breathe at all