Mengapa diam?

Giza Gasica
2 min readJun 13, 2023
Bangun dini hari gara-gara Audre

Jika memandang potret Audre Lorde dengan kelantangannya mengatakan, “Diam mu tidak akan melindungi mu!”, aku seperti diantarkan pada suatu arti bahwa diam adalah simbol lemah dan kekalahan. Kerap aku Mempertanyakan 'mengapa diam?’, tanpa memahami nyatanya tidak setiap orang bernyali dan dapat melawan ketakutannya. Atau ada sebab lain dari 'diam' yang seseorang pilih.

Terlebih jika mereka adalah perempuan dengan segala pengalaman yang dialaminya.

Aku tidak akan membicarakan soal patriarki, atau dunia yang super jantan ini. Aku hanya berbicara tentang diriku, diri si perempuan — mesikpun refleksi ini tidak akan lepas dari gentayangan patriarki.

Hanya saja aku sedikit menemukan benang merah, mengapa perempuan terjebak pada “kesunyian” sedalam itu, sampai merenggut seluruh rasa percaya dirinya?

Akhirnya aku coba membuka kembali halaman demi halaman tulisan Kalis Mardiasih yang akhir-akhir ini menjadi 'pil penenang' saat aku dirundung overthinking berkepanjangan, meski sudah dibaca beberapa kali.

Di dalam bukunya Muslimah yang Diperdebatkan, bersumber dari publikasi Ferris State University berjudul The Fives Stages of Knowing, Kalis menjelaskan bahwa untuk menginternalisasikan kesadaran, perempuan harus melalui lima tahapan yang cukup panjang, yakni:

  • Silence, adalah perempuan yang sepenuhnya bergantung pada pengaruh di luar dirinya dalam mengambil keputusan.
  • Received knowledge, adalah perempuan yang menerima pengetahuan, tetapi tidak meyakini hal itu sebagai kebenaran karena berlawanan dengan pendapat umum mayoritas
  • Subjective knowledge adalah perempuan yang telah bisa bersikap dan memiliki pendapat, tapi hanya untuk dirinya sendiri
  • Procedural knowledge adalah perempuan yang tau cara mengakses pengetahuan secara mandiri dan mengomunikasikannya
  • Dan constructed knowledge adalah perempuan yang memahami pengetahuan secara kontekstual, menjadikan nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan berani membuat dampak secara sosial

Kebanyakan dari perempuan terjebak dalam ranah silence hingga subjective, saat kekerasan atau pelecehan yang menimpa perempuan secara fisik atau psikologis, bahkan ekonomi, butuh waktu sangat lama untuk sampai pada kesadaran bahwa perempuan sedang berada di posisi terancam, atau sekedar mengetahui bahwa perempuan berhak menuntut apapun saat didiskriminasi dan merasa tidak diberlakukan adil.

Begitulah sialnya, saat perempuan mengalaminya dan dihadapkan dengan realita seperti ini, akhirnya hanya menyisakan kemarahan, ketidakberdayaan dan kekalahan. Segala kepercayaan akan nilai diri mulai meredup, sampai merasa tidak layak dan ingin melarikan diri. Tentu kondisi ini tidak muncul begitu saja pada akhirnya, di tengah proses mengumpulkan keutuhan diri, banyak sekali pemicu dan distraksi yang menyebabkan siapa saja yang ada diposisi sebagai korban harus memulihkannya kembali dari awal. Belum lagi penyangkalan dalam dirinya, yang dilematis dan tidak stabil. hufth.

Seperti beberapa waktu terakhir, di tengah semua orang berselebrasi, bangga akan “si pelaku" yang memperoleh citra baru sebagai seorang terpandang dan berkedudukan di masyarakat, setelah apa yang dilakukannya. Korban tidak dapat berkutik, hanya terkerangkeng pada amarah dan hanya bisa menyerapahi keadaan yang tidak berpihak padanya.

sekian.

😔😔😔

--

--