Punk: Fashion atau Passion?
Ditulis oleh Puja Nurkholifah
Rambutnya mohawk tuh, pasti anak punk.
Pake jaket kulit dan celana kayak kesempitan gitu pasti anak punk.
Mungkin perkataan tersebut pernah terdengar atau terlontarkan kala melihat pria maupun wanita dengan pakaian hitam-hitam, rambut tak jelas bentuknya, peniti dan tindikan di mana-mana, dan pernak-pernik aneh lainnya yang disematkan di pakaian mereka. Kontan, masyarakat awam mengaitkan pemikiran orang-orang berpenampilan seram dengan punk. Tapi, apakah kedua hal tersebut sebenarnya berkaitan? Punk fashion dengan musik punk itu sendiri? Apa sebenarnya punk fashion itu? Apakah semua orang yang berpenampilan seperti itu pasti penganut punk, baik dalam artian passion atau sekedar fashion semata?
Punk fashion sebenarnya lahir dan berkembang pertama kali di New York sekitar tahun 70-an, di tempat kelahiran scene musik punk di Amerika sendiri, klub CBGB di daerah Manhattan. Pergerakan fashion di scene musik punk merupakan perlawanan terhadap gaya busana di era 60-an yang dipenuhi pakaian-pakaian indah berpotongan lebar dipenuhi warna-warna yang menyimbolkan perdamaian dan cinta. Gaya berbusana punk yang turut merepresentasikan jenis musik itu sendiri datang dengan pakaian serba hitam, kaos sobek sana-sini, celana jeans sempit, dan tentunya jaket kulit yang dipopulerkan oleh band asal Amerika Serikat, The Ramones. Punk fashion tidak hanya berkembang di Amerika Serikat saja, tetapi berlayar jauh hingga ke tanah Eropa, khususnya London. Di era yang sama, yaitu 70-an, punk fashion di London dipopulerkan oleh Malcolm McLaren yang kemudian menjadi manager dari Sex Pistols. McLaren yang kala itu memadu kasih dengan Vivienne Westwood yang kini dikenal sebagai ‘mother of punk’ membuat sebuah butik bernama ‘Sex’, dimana di dalamnya terdapat berbagai jenis pakaian dan dihias oleh berbagai interior yang mendefinisikan pergerakan punk masa itu.
Pada tahun 1976, butik milik pasangan pioneer punk fashion di UK tersebut berganti nama menjadi ‘Seditionaries’. Pelanggan setia dari butik tersebut tentunya nama-nama yang tidak asing bagi scene musik punk, sebut saja Sex Pistols, Adam Ant, dan Siouxsie Sioux. Bahkan, personel dari Sex Pistols, Glen Matlock dan Sid Vicious pernah bekerja menjadi pramuniaga di butik ini. Bukan punk namanya jika tidak melakukan hal yang kontroversial. McLaren dan Vivienne Westwood semakin dikenal dengan desain-desain sensasional mereka, seperti kaos-kaos dengan slogan ‘Cambridge Rapists’, ‘Paedophilia’, dan gambar kaus ‘God Save the Queen’ milik Sex Pistols yang dikenal oleh semua orang. Tidak hanya kaus-kaus yang memiliki desain kontroversial, para penggiat musik punk yang kerap memakai pakaian dengan simbol swastika milik Nazi juga menimbulkan berbagai perdebatan. Keberanian mereka dalam memakai berbagai desain sensasional bahkan simbol Nazi, khususnya di London yang notabene memiliki sejarah yang buruk dengan Jerman, juga dapat dikatakan sebuah perlawanan. Perlawanan terhadap para tetua mereka yang masih memendam kebencian terhadap Hitler dan antek-anteknya, pemakaian simbol tersebut menunjukkan bahwa kini semua itu sudah berakhir dan mereka tidak takut.
Meski tumbuh dan berkembang di era yang sama, punk fashion di New York dan London sungguh berbeda. Penganut punk di New York pada umumnya memakai pakaian serba hitam dengan berbagai pernak perniknya, sedangkan di kawasan London lebih didominasi oleh warna-warna yang berani dan memicu perhatian. Hal itu merefleksikan perbedaan ideologi dari scene punk di kedua ibukota tersebut. Di London, punk merupakan perlawanan terbuka terhadap sistem klasifikasi masyarakat yang memiliki perbedaan kelas, semakin berani dan mengganggu pakaian yang dikenakan mereka, maka semakin baik. Sedangkan, di New York punk lebih merujuk ke pergerakan seni, dan tetap setia kepada warna hitam sebagai simbol perlawanan. Meski terdapat perbedaan ideologi tentang bagaimana punk disimbolkan melalui gaya busana, pemikiran punk itu sendiri masih dapat terlihat dengan persamaan pernak-pernik yang digunakan seperti peniti, perusakan terhadap pakaian yang layak, dan elemen-elemen yang dibuat sendiri (do-it-yourself).
Di Indonesia sendiri, punk berkembang di era 90-an di berbagai kota besar di Indonesia dalam segi musik, gaya hidup, dan tentunya gaya berbusana. Punk fashion di Amerika dan Inggris sedikit banyak mempengaruhi penggemar punk di Indonesia dalam berbusana, contohnya jaket kulit a la The Ramones dan baju compang-camping seperti Sex Pistols. Bagi masyarakat awam di Indonesia, punk mungkin berkaitan dengan pengamen berpakaian menyeramkan yang hidup di jalanan, tetapi nyatanya semangat punk sebagai suatu medium perlawanan juga menjadi awal terbentuknya komunitas punk di Indonesia. Kita mungkin mengenal Marjinal.
Satu dekade kemudian, punk fashion bukan hanya dinikmati oleh penganut punk, tetapi juga berkembang menjadi sebuah subkultur yang menarik perhatian beberapa designer fashion kelas atas. Dimulai dari seorang designer bernama Zandra Rhodes yang membawa subkultur punk ke dunia high fashion. Diikuti oleh designer ternama asal Prancis, Jean Paul Gaultier, yang terinspirasi dari keberanian para punk jalanan dalam berbusana dengan memecah stereotip terhadap gender, dimana lelaki juga dapat mengenakan rok dan tidak perlu merasa malu. Tidak mau ketinggalan, Malcolm McLaren dan Vivienne Westwood juga memamerkan koleksi mereka di catwalk pada awal 80-an dengan tema ‘Pirate’ sebagai bukti keinginan mereka untuk keluar dari persembunyian mereka di ranah underground.
Era post-punk fashion dimulai dari situ, masih dengan semangat dari era 70-an tetapi dengan busana yang lebih bergaya dan pantas disebut couture bukan sekedar street-fashion pada umumnya. Hingga kini, gaya berbusana dan semangat punk masih menjadi inspirasi di dunia mode berbagai belahan dunia. Mulai dari para pendengar setia musik punk, anak-anak jalanan yang ‘anti-kemapanan’, hingga berbagai rumah mode kelas atas. Tidak hanya Malcolm McLaren, Vivienne Westwood, dan Jean Paul Gaultier yang mempopulerkan semangat punk di dunia high fashion, belakangan ini banyak rumah mode yang mengakui koleksi pakaian mereka terinspirasi dari semangat punk itu sendiri. Sebut saja Versace asal Italia, Saint Laurent, Lanvin, Dior Homme, hingga Fendi dari Milan, dan masih banyak lainnya. Punk kini tidak hanya dinikmati oleh orang-orang yang memiliki passion di scene musik punk itu sendiri, tetapi juga dapat menjadi sebuah seni dalam dunia fashion.
Punk kini tidak hanya menjadi sebuah eksklusivitas yang hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang bergerak di dalamnya, tetapi menjadi sebuah kultur yang dapat terus diaplikasikan di berbagai era. Beberapa tahun lalu, tepatnya pada tahun 2013, digelar sebuah pameran di New York bertajuk ‘Punk: Chaos to Couture’ yang menunjukkan pengaruh punk terhadap dunia fashion dari awal kelahirannya hingga sekarang. Malcom McLaren, yang menjadi ikon serta tokoh pergerakan punk, pernah menyatakan bahwa fashion dalam musik punk lebih penting daripada musiknya karena punk adalah suara dari fashion atau gaya berbusana itu sendiri. Hubungan antara pergerakan musik punk dan pergerakannya di ranah fashion memang berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan. Punk yang pada hakikatnya menumbangkan persepsi tentang normalitas memang dapat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, baik idealisme individu maupun dalam dunia seni. Kedua aspek dalam punk tersebut tidak akan hadir tanpa bantuan dari salah satunya, musik dan fashion dalam punk sama-sama merupakan aksi perlawanan terhadap sistem sosial, peraturan, politik, dan keindahan bagi masyarakat awam, punk is a movement.