Please, don’t go.

biscoff13
5 min readAug 12, 2023

--

Jeonovan memasukan ponselnya ke saku sambil berlari sekuat tenaga menerobos beberapa kerumunan di sana.

“Maaf, Bu.”

“Maaf, Pak.”

“KALAU JALAN LIHAT KIRI KANAN DONG!”

“Iya, maaf..”

Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, menahan rasa yang sepertinya akan meledak sekarang. Ia berusaha mengejar keberadaan perempuannya walau terhalang beberapa orang.

“Permisi ya.”

“Aduh! Ngantri mas!”

“Mau ketemu pacar saya. Sebentar aja.”

“Permisi ya”

“Permi — “

Jantungnya berdegup semakin tak karuan di sana kala perempuan dengan rambut panjang dan betubuh mungil itu semakin dekat dengan pengelihatannya.

Langkahnya mulai melambat. Nafas yang tersengal itu mulai ia kendalikan sambil sesekali merapikan surainya yang berantakan karena berbenturan dengan angin. Ia mencoba menelan salivanya sebelum ia memberanikan diri mendekat ke arah Olivia. Tapi entah mengapa terasa susah.

“KTPnya mbak?”

“O-Oliv!”

Belum sempat kartu identitas itu Oliv serahkan, suara teriakan Jeo membuatnya berbalik dengan cepat. Tanpa sadar reflek tubuhnya menyukai suara tersebut. Di dalam hatinya, suara itu sangat ia sambut.

“O-Oliv, please don’t go!” Teriaknya sambil berlari menghampiri Olivia.

Tangan Jeo sedikit gemetar saat jarak mereka semakin dekat. Tatapan matanya seakan memohon perempuan di hadapannya mau mengikuti permintaan konyolnya. Tentu konyol, sudah hampir satu bulan semua di siapkan dan akan gagal begitu saja kalau Oliv menuruti permintaan Jeonovan — laki-laki yang membuatnya begini?

“Kamu mau ngapain ke sana Liv?” tanyanya dengan suara yang begitu lembut.

Jeonovan dan tatapannya membuat Olivia membeku di tempat. Ia sangat merindukan wajah tampan pria ini. Ia tidak menjawabnya langsung. Ia hanya berdiri dengan sedikit mendongak memindai seluruh bagian wajah pria di depannya.

Rambutnya yang mulai panjang, piercing di alisnya yang sekarang hilang, kantung mata yang terlihat lebih hitam dari biasanya, membuat Oliv sadar kalau sudah begitu lama mereka terpisah. Biasanya ia bisa mengetahui setiap detil perubahan dari seorang Jeonovan dengan cepat, tapi sekarang,

“Oliv, can you answer my question?

“Apa gue harus kasih tau lu buat apa gue pergi?”

Bagai tertampar begitu kuat, ia tak menyangka Olivia akan memberikan jawaban sedingin itu. Ia menarik nafasnya cepat, ia berusaha menelan salivanya walau terasa sangat payah.

“Pak, ini KTP say-“

“Tunggu!” Jeo menarik tangan Olivia yang baru saja ia ulurkan itu. “Tunggu Liv. Jangan pergi.” ucapnya dengan tubuh sedikit membungkuk seakan memohon.

“Mau apa lagi sih, Je?“ Oliv menarik tangannya dari genggaman Jeonovan di sana.

Entah kenapa rasa sakit di hati Jeo perlahan menyesekkannya. Ia memijat pelipisnya sekilas, ia kepalkan tangannya, ia mengulum bibirnya, sampai akhirnya ia bertolak pinggang dan menghela nafasnya sekali lagi menghadap Olivia.

“Aku, mau kamu tetap di sini. Aku mohon.” Sekali lagi Jeo berusaha meraih tangan perempuan di hadapannya itu. Namun Olivia langsung menarik tangannya ke belakang. Tangan kanannya langsung ia kepalkan begitu kuat di sana. “Jangan sentuh gue!” ketusnya.

“Kenapa kamu jadi gini sih?”

“Mbak, Mas, maaf ya ini antrean jadi panjang karena kalian ngobrol di sini.” ucap petugas itu.

Dengan cepat Olivia langsug menyodorkan kartu identitasnya. “Ini, Pak. Langsung periksa aja.” desaknya.

“Oke baik, silahkan masuk.”

Olivia langsung memalingkan tubuhnya dari lelaki yang dari tadi dengan gelisah melihat dirinya. Hati Olivia sangat ingin membalas semua ucapan Jeo dengan manis seperti biasa. Tapi, semua sudah tidak bisa kembali seperti dulu. Ia lebih baik berjalan secepat mungkin ke pintu masuk bandara itu.

“Liv!” teriak Jeo yang berlari kecil mengekori perempuannya. “Oliv sebentar! Please, please dengerin dulu!”

“Lepas!” Oliv memekik dengan begitu kencang kala tangan Jeo menarik tangannya untuk berhenti. “Gue udah bilang, jangan sentuh gue!”

Jeo sadar kalau sekarang dirinya sudah jadi tontonan beberapa orang di sana. Ia melirik ke kiri dan ke kanan. Mereka semua berhenti di tempat menyaksikan dirinya dan Olivia.

Persetan lah dengan mereka yang jadiin gue tontonan! benaknya.

“Makanya kamu dengerin aku dulu dong.” mohonnya dengan begitu memelas. “Please?”

“10 detik.” jawab Oliv. “Sepuluh, sembilan, delap-“

“Jangan pergi, Liv. Aku bisa perbaikin hubungan kita.”

“Lima, empat-,”

“Pasti ada jalan, ke-keluar biar kita bisa bareng lagi.”

“Dua, satu.” Oliv langsung berbalik begitu saja tanpa mengindahkan ucapan Jeonovan.

“L-liv! Oliv!” Jeo masih berlari mengekori perempuan itu. “Aku belom selesai ngomong, Olivia! 10 detik terlalu sebentar.”

“Pak tolong pria ini ganggu saya terus!”

Jeonovan gelagapan di tempat. Ia menggeleng ke arah petugas yang hendak menghampirinya dengan raut menakutkan itu.

“Gak. Saya gak ganggu dia. Di-dia pacar saya!”

Ucapan tersebut tidak dipedulikan oleh petugas bandara itu. Mereka tetap berjalan menghampiri Jeo di sana.

Dari posisinya, ia mulai kehilangan keberadaan Olivia. Ia menatap punggung Olivia yang mulai menjauh darinya. Ia tidak peduli dengan dua pria besar yang sedang melingkarkan tangannya pada dirinya.

Dadanya terasa sesak. Matanya mulai memanas. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat berusaha menahan emosinya yang akan meledak karena diperlakukan begitu saja oleh pujaannya.

Engga, Je. Gak boleh marah. Lu yang sakitin dia. Benaknya

“Ayo mas, ikut sa-“

“Misi pak, bisa lepaskan teman saya?” Ski muncul di sana, bersamaan dengan tiga temannya yang lain.

“Mas-mas ini siapa ya?” tanya petugas itu heran.

“Bapak tahu keluarga Arkatama?”

“Ta-tahu.” balasnya seraya melemaskan genggamannya pada Jeo.

“Nah, ini anak sulungnya. Kan dia udah bilang, dia mau ngejar pacarnya. Bapak bisa kena masalah loh karena udah ganggu misi anak konglomerat.”

Seketika kedua pria itu melepaksan genggamannya pada Jeo. Para pengunjung yang ada di sana, sudah dari tadi merekam kejadian tersebut dengan ponsel mereka. Ternyata banyak juga yang mengenal mereka.

“Bisa turunin hp-nya? Jangan di rekam ya.” pinta Jona dengan lembut.

Di tengah keriuhan sekitarnya, Jeo hanya diam di tempatnya. Ia mematung dengan tatapan kosong di sana. Walau di hadapannya begitu banyak orang, begitu ramai, tapi yang ia rasa hanya kekosongan karena Olivia benar-benar pergi menjauh darinya.

“Ma-maaf ya, soalnya saya gak begitu ngenalin. Hehe.” ucap petugas itu seraya membersihkan bagian bahu dan lengan Jeo.

Akhirnya, keadaan mulai kembali kondusif. Mereka juga mulai menurunkan ponsel mereka sesuai perintah Jona. Mereka kembali sibuk dengan aktivitas mereka di sana. Mereka,

“Bangsat!!!” Tiba-tiba Jeo mengumpat begitu kencang dan berjalan balik dari lobby terminal itu. “Anjing! Bangsat!” teriaknya sambil mengacak rambutnya kasar.

“Sa-saya permisi.” pamit Gavin.

Ski, Senja, Gavin dan Jona langsung berlari mengekori Jeo di sana.

Jeo terus mengumpat dengan dada yang naik turun terus menerus. Ia memukul dadanya begitu kuat beberapa kali. Ia terus berjalan menunduk tidak peduli apapun yang ada di sekitarnya.

“Je, awas!” Senja menarik sahabatnya itu. Hampir saja taksi putih tersebut menabrak Jeo.

“Bawa balik ke rumah dah.” perintah Ski.

Jona memakaikan kupluk di belakang jaket Jeo untuk menutupinya. Mereka berjalan di samping Jeo menuntunnya kembali ke mobil.

Teriakan itu kembali membuat mereka jadi pusat perhatian. Mereka hanya bisa menunduk dan berjalan cepat menghindari sorotan sekitar.

“Vin, update terus ada berita tentang Jeo gak.” perintah Ski sekali lagi sebelum mereka melajukan mobil keluar dari sana.

--

--