Dari Hati Bukan Makan Hati

B
5 min readAug 22, 2023

--

Kantor sudah gelap gulita kecuali lampu yang masih menyala di ruangan Alaska Yanuar Putra. Dipisahkan dengan meja kerja mereka duduk berseberangan, hanya bedanya Jann Irgi terlihat gugup sedangkan Alaska kelihatan lelah. Sangat. Lelah. Mata Alaska merah karena waktu menatap layar yang intens, kancing kemeja paling atas sudah dilepas, dan sinar mata yang redup makin samar di balik bingkai kacamatanya. Waktu masuk ke ruangan, Jann Irgi sempat melihat sepiring nasi goreng kambing yang baru berkurang satu sendok. Kenapa dia bisa tahu? Dia yang membelikannya untuk Alaska tadi sore. Iya, tadi jam empat sore Alaska baru merasa bagian kiri perutnya sakit. Namun tidak lama setelah pesanannya sampai malah ada permintaan pertemuan daring mendadak dengan petani di Sota. Keluhan mereka adalah kemungkinan gagal panen. Jann Irgi kira Alaska akan makan di sela-sela atau setelah rapat, tapi ternyata tidak.

Jauh sebelum dia mempekerjakan, Alaska Yanuar Putra adalah sosok panutan untuk Jann Irgi. Waktu itu Alaska datang ke acara yang diselenggarakan Bank Sampah DKI Jakarta di kantor kelurahan tempat Jann Irgi tinggal. Ternyata program pengelolaan limbah domestik yang diusung oleh pemerintah provinsi adalah rancangan ide Alaska. Dari obrolan dengan kumpulan Ketua RT yang diundang, Jann Irgi jadi tahu nama dan rekam jejas Alaska.

Jann Irgi bisa ikut diundang ke acara sosialisasi karena dirinya adalah sekretaris Karang Taruna di kelurahannya. Harusnya yang datang adalah ketua mereka, tapi dia bilang sedang sakit. Di perjalanan ke kantor kelurahan Jann Irgi melihat si ketua sedang makan dengan seorang perempuan di kafe. Ya sudah, setidaknya dapat prasmanan nanti di kelurahan, pikir Jann Irgi. Dari harapan yang sangat rendah itu dia malah dapat kesempatan mendengar Alaska menjelaskan prosedur pengumpulan limbah domestik ke Bank Sampah dan keuntungan-keuntungan yang warga akan dapatkan. Alaska mendemonstrasikan pemilahan sampah dan dengan sabar menjawab satu-persatu pertanyaan ibu-ibu yang menurut Jann Irgi cuma mau cari perhatian dari Alaska. Tidak sedikitpun cara menjawab Alaska mengindikasikan ia direpotkan apalagi muak. Acara tanya jawab yang harusnya cuma lima belas jadi dua kali lebih lama.

Dari semua jawaban Alaska ada satu yang terngiang di kepala Jann Irgi sampai seminggu setelahnya. “Bapak dan Ibu sekalian jangan pernah gubris omongan semacam ‘cuma sampah rumah tangga gak akan ada efeknya’. Karena ada 11.696 KK di Rawamangun, dengan akumulasi sampah domestik 1.1 ton kurang lebih setiap bulan. Perbuatan baik, sekecil apapun, selalu punya dampak.” Ibarat dihadiahi sebuah jendela untuk melihat dunia baru kala itu.

Sosok yang dikagumi oleh Jann Irgi sekarang sedang menelaah daftar laporan kerja yang dia buat.

“Gimana, Mas?” Jann Irgi memecah hening dengan pertanyaan.

Alaska tidak langsung menjawab. iPad dia letakkan ke pangkuan lalu tangannya sibuk melonggarkan dasi dan melepaskan kancing kedua lengan kemeja.

“Bagus, rapi sekali karena kamu bikin dalam bentuk tabel. Good job, Yan.” Alaska mengangkat wajahnya lalu mata mereka bertemu. “Oh, ngomong-ngomong, karena kamu belum ikut ke business trip ini, please stand by for important work updates. I will be sending you the latest information regarding the Banjarbaru’s project. So, you can help me make a press release if that’s needed. And I need you to oversee the AMTECH project. Karena ini project di luar PRIDE, saya ngandelin kamu. I need you to monitor the budget and expenses. Also to ensure deadlines are met.” Kepala Jann Irgi mengangguk sementara tangannya mengetik catatan di gawainya. “And I need you to apply for a Schengen Visa. You’re coming with me to Stockholm next year.”

Jari Jann Irgi berhenti. Dia menatap Alaska dengan pandangan yang seperti meminta entah penjelasan atau pertolongan. Barangkali keduanya.

“You’re not writing that down?”

Mulutnya terbuka, lalu tertutup lagi. Jann Irgi merasa perlu waktu lebih lama untuk menemukan formulasi pertanyaan yang tepat.

“Baik, Mas.”

Salah satu bagian tersulit bekerja dengan dan untuk Alaska adalah menyembunyikan sesuatu dari lelaki itu. Dia selalu sensitif dengan perubahan emosi seseorang sekecil, seremeh apapun.

Alis Alaska yang terangkat cukup untuk membuat Jann Irgi terpojok. “Bahasa Inggris saya kalau verbal kurang banget, Mas.” Ujaran itu menghabiskan semua sisa tenaga Jann Irgi malam ini.

“Yan,” nada Alaska berubah. Jann Irgi sampai mengunci layar gawai di genggaman karena merasa apa yang akan dikatakan butuh perhatian penuh. Dan benar saja prediksinya. “Saya nggak bisa kerja sama orang yang nggak percaya sama dirinya.”

Duduk Jann Irgi langsung tegak. “Maaf, Ma–”

“Saya nggak perlu permintaan maaf, Yan.” Kalau kelangsungan dunia bergantung pada detak jantungnya, sudah pasti kiamat terjadi. Jakun Jann Irgi bergerak naik dan turun.

“Hebat atau tidak seseorang bukan masalah kuliah dimana, latar belakang keluarganya, atau apalagi hal-hal yang di luar kendali. Tapi masalah isi kepala. Kamu hebat, Yan. Nggak semua anak umur 19 tahun memproses informasi data jadi peluang bisnis kayak kamu.” Jann Irgi paham yang dibicarakan Alaska adalah budidaya ikan cupang yang dia kelola. “Saya butuh kamu menjadi seperti diri kamu saat melihat adanya potensi ternak cupang pada biaya operasional yang serba murah dan mudah. That’s the Jann Irgi I hired.”

Setiap tempat kerja juga adalah tempat belajar. Bersama Alaska semua tugas adalah kesempatan belajar yang berharga. Hanya saja datang bersama dengan tanggung jawab yang besar. Sama sekali tidak berlebihan jika mengatakan bahwa hari-harinya kini berdampingan dengan kelangsungan hidup Alaska.

“Kerja sama saya susah, Yan. Kamu jangan sampai sakit. Karena kalau saya sudah pasti tumbang. Tunggu saja paling enggak dua minggu lagi, kamu bakal liat saya terkapar di UGD RSPI. Pilihannya paling dehidrasi atau infeksi lambung karena alkohol.” Jann Irgi ragu apa yang dikatakan Alaska adalah lelucon guna mencairkan suasana atau peringatan. Saking serius mendengarkan lelaki yang lebih muda sampai tidak sadar kapan sosok di depannya melepas kacamatanya. “Tapi kamu tidak boleh sakit. Kamu harus lebih tahan banting daripada saya. Untuk itu kamu pun harus yakin kamu sanggup ngejalanin. Apapun yang sekiranya memudahkan tugas kamu, kasih tahu ke saya. Jangan sampai kamu sudah capek ternyata makan hati juga. Paham, Yan?”

Jann Irgi mengangguk sebelum mulutnya menjawab. “Paham, Mas.”

“Oke, kalau gitu. Kamu boleh pulang.” Alaska mematikan layar iPad lalu beranjak dari kursi untuk mengambil ransel Tumi miliknya di pojok ruangan. Lalu dia mematikan lampu dan pendingin ruangan.

Jann Irgi membiarkan Alaska berjalan mendahului, dia mengekor di belakang. Perjalanan mereka ke lobi diisi dengan hening karena Alaska sibuk dengan ponselnya. Ketika pintu lift terbuka mereka mendapati SUV yang menjemput Alaska terparkir di luar lobi.

“Yan,” panggilan itu menghentikan langkah kaki Jann Irgi. “Satu lagi.”

“Iya, Mas?”

“Make a TikTok account for me.” Jann Irgi menajamkan inderanya karena takut kalau dia salah dengar. Tetapi Alaska melanjutkan, “dan setiap hari tolong kirim satu video yang trending. Keeping me on the trend loop is your job too.”

--

--