five o’clock shadow.

B
3 min readApr 15, 2022

--

NADA

Stuck in the elevator with River allowed me to learn something about him: he is one of those people who fall asleep easily.

Aku dan River memutuskan untuk menunggu tim evakuasi sambil duduk di lantai elevator. Awalnya kami mengobrol tentang berbagai hal random yang kami rasa cukup menarik untuk diperbincangkan dalam keadaan gelap gulita seperti sekarang. Still with our hands intertwined, we talked about our favorite songs, our favorite movies, his love for sport motorcycles and how I hate riding bikes since I was a kid, and things we’d do to survive a zombie apocalypse.

“I’d surround my house with treadmills.” Binar semangat meluap dari wajahnya, “have you ever played Plants vs. Zombies, Nad?”

Aku menjawab pertanyaan yang dia hantarkan penuh antusias dengan satu gelengan. Itu satu-satunya respon yang sanggup aku berikan, sebab aku sedang dikuasai rasa kaget yang merasuki karena menyaksikan River yang berapi-api menceritakan his zombie apocalypse survive plan.

“At some point in the game, when you’ve reached a certain level, there’ll be a treadmill you can put around the house in order to keep the zombie stuck on the spot and away from the house.” Senyum miring River muncul entah untuk yang ke berapa kalinya hari ini, “I think that’s extremely clever.”

Aku membalas senyuman River dengan senang hati. “I think so too.”

“How about you?”

Tadinya aku berniat menjawab River dengan jawaban yang serius tapi melihat dwinetra miliknya berpendar menunggu jawaban dengan tangan yang masih diam di tempat yang sama: pada genggaman satu sama lain, aku jadi ingin menjahilinya.

“I’m not going to tell you my genius plan, River. We’ll be enemies during the survival.”

River tertawa hingga suaranya menjadi gaung di ruang metal dimana kami pasrah terjebak. And he told me that I’m smart.

Aku ingat itu percakapan terakhir kami sebelum sunyi kembali menyusup dan menjadi hening berkepanjangan. Diamnya kami bukan yang membuat tidak nyaman, lebih kepada waktu dimana kami sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. And yes, we’re busy wandering inside of our heads with our hands still intertwined.

River menguap beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar tertidur. Aku sedikit iri karena dia sepertinya bukan tipe yang punya kesulitan untuk tidur sepertiku.

Awalnya tidak ada niatan untuk menilik garis wajah pria yang ketiduran dengan kepala yang jatuh bersandar di bahuku itu. But what else can I do? Besides, his five o’clock shadow caught my whole attention.

There’s a slight darkness, especially around his chin, from the visible beard growth on his face. Bayangan itu mempertegas rahang maskulin River.

Tidak lama mataku kemudian bergerak turun ke bibirnya. Pertama lekat-lekat menatap perpaduan warna merah muda dan sedikit merah yang lebih gelap di pinggiran bibirnya, mencoba memaknai apa itu artinya dia merokok? I’m not sure. Sejauh ini River tidak pernah merokok ketika bersamaku.

Aku berusaha untuk tidak bergerak agar River tidak terbangun. Namun suara pukulan sebuah benda keras ke permukaan pintu lift yang tiba-tiba membuatku terperanjat dan membangunkan River.

Kami berdua lalu beralih menatap satu sama lain. Bergantian, aku ke mata coklat River, kami ke pintu lift yang masih tertutup rapat, dan begitu seterusnya sampai beberapa waktu.

Di wajah River, dapat aku baca apa yang dia juga baca di wajahku; heran yang begitu kuat.

“I think it’s the technician.”

River mengangguk setuju.

Aku lalu mencoba berdiri tapi ternyata kakiku yang sudah cukup lama terlipat kehilangan kuasa untuk menopang rangka tubuhku. River stretched out his hands and helped me get off the floor.

“Thank you, River.”

“It’s nothing, Nada.”

Rambut di tengkukku sempat meremang saat River membisikkan namaku dengan suara bangun tidurnya yang setengah parau.

Aku melangkah mundur untuk menjaga jarak demi menenangkan debar subtil yang River sebabkan ketika laki-laki itu ikut maju ke arahku.

River mengangkat tangan kanannya yang sebelumnya jadi topanganku untuk berdiri, dan aku baru sadar bahwa ujung kain lengan blusku tersangkut di kancing lengan jaket yang dia kenakan.

“Wait… Let me take this off your sleeve.” He leaned closer and so did I.

Di pertengahan usaha untuk melepaskan pertautan lengan baju kami, pintu lift tiba-tiba terbuka lebar, menampilkan dua mekanik yang berlutut di depan pintu dan lima sosok laki-laki dengan air muka terkejut memandang lurus ke arahku dan River.

Tiga detik dilewati tanpa satu pun buka suara sampai salah seorang dari lima lelaki yang air mukanya terkejut itu menyunggingkan serengit. A coy smile danced on his face as he said, “well, this is interesting.”

--

--