Malam Terang Benderang

Haediqal Pawennei
17 min readFeb 21, 2023

--

ilustrasi oleh Ayie Shazrie

Sudah berapa lama tidak pulang?

Pertanyaan itu selalu kutanyakan pada diri sendiri selama ini.

Rasanya sudah lama sekali aku meninggalkan bapak di kampung. Barangkali sudah dua belas tahun dan kala itu terakhir kali pula aku melihat wajahnya.

Atau tepatnya, punggung bapak.

Saat itu bapak tidak memperlihatkan wajahnya — yang kalau aku bisa menebak, hanya ada perasaan kecewa karena aku memilih ke kota alih-alih melanjutkan spiritnya sebagai pembuat kapal.

Sepertinya takdir bermain-main denganku. Pekerjaan di kota tidaklah mudah. Untuk makan saja susah, apalagi untuk tinggal. Aku harus mampu mengerjakan apa saja. Mau pulang juga gengsi.

Mana mungkin bapak masih mau menerimaku?

Beberapa bulan lalu aku dikabari oleh Abe, tetangga sekaligus teman kecilku di kampung. Katanya bapak meninggal karena serangan jantung.

Waktu itu aku sedang berada di Kalimantan. Pekerjaanku sebagai buruh kapal memaksaku harus pergi ke mana saja sesuai perintah. Jadilah aku tidak pernah menengok bapak sama sekali.

Ingatanku tentang bapak berhenti di dua belas tahun lalu itu, dan sekarang aku sedang dalam perjalanan ke kampung.

Sekitar lima hari lalu aku mendapat kabar dari Puang Sanneng, juragan kapal di kampung kalau bapak ternyata tengah mengerjakan kapal dan belum rampung ketika dia meninggal. Puang Sanneng memang tidak bilang secara langsung agar aku bertanggung jawab, tapi dari nada bicaranya yang berputar-putar aku tahu dia ingin aku menyelesaikan kapal itu.

Tahu apa aku tentang pembuatan kapal? Usiaku masih sangat muda saat bapak mengajari tentang bagian-bagian kapal dan berbagai macam jenis pohon yang bagus.

Tentu saja sekarang aku sudah lupa. Aku sudah bangun dari mimpi bapak agar aku menjadi pembuat kapal andal sepertinya.

Mobil panther hitam yang aku tumpangi berhenti di sekitar pantai Mandala Ria, tempat bapak membuat kapalnya bersama pekerja lain. Tempat ini tidak berubah, kecuali hanya ada satu kapal di sana.

Belum selesai pula.

Pasti inilah kapal yang Puang Sanneng maksud.

Aku menghela nafas melihat kapal tersebut. Baru lambung kapal dan deknya yang selesai. Ajaibnya, aku merasa seperti tidak pernah pergi ke manapun.

Kapal ini kondisinya persis seperti kapal terakhir yang aku lihat sewaktu bertengkar dengan bapak dan memicu kepergianku dari kampung.

Puang Sanneng datang tidak berapa lama ketika aku masih mencoba memahami kapal di depanku. Puang Sanneng datang dengan mobil sedan yang kupikir biasa saja, tidak seperti juragan kapal lain yang kukenal. Beliau juga membawa sesisir pisang kepok dan sebungkus kopi giling dari pasar.

“Terima kasih, puang.”

Kami mengobrol di bale-bale seberang kapal. Setelah berbasa-basi sebentar, puang Sanneng langsung menjelaskan mengapa kapal itu harus selesai.

“Ada orang dari pemerintah yang mau pakai. Kudengar-dengar, mau dia pake buat acara apa begitu. Acara-acara kebudayaan kalau tidak salah. Dia sudah DP tawwa sejak tahun lalu, sebelum Indonesia resmi jadi tuan rumah. Baru saya ada kontraknya, nak. Bagaimana itu di’?”

Aku diam.

“Karena sejauh ini memang cuma bapakmu yang pegang semuanya, nak. Nda adapi juga yang bisa ganti…”

Daeng Sanneng melanjutkan ucapannya.

“Bapakmu juga sudah tatkala dia ambil uang DPnya…”

Aku sangat yakin daritadi sebenarnya beliau ingin memberitahu tentang itu. Nyawaku seperti melayang mendengarnya.

“Kira-kira… berapa DPnya itu, puang?” Aku memberanikan diri bertanya.

Puang Sanneng menghela nafas. “Bukan masalah uangnya ini, nak. Tapi pekerjaannya. Bisajikah selesai kalau kembali DP?”

Aku diam lagi. Sebenarnya aku berpikir aku juga tidak akan bisa mengerjakan kapal itu.

“Tapi kalau mau kita ganti, jumlahnya itu sekitar 150.”

Aku mengernyit. “Ribu?”

“Juta.”

Oh.

Begitulah.

Puang Sanneng beranjak setelah perdebatan yang alot — di mana tentu saja aku kalah, aku memasuki lambung kapal yang belum selesai.

Di dalam sana sudah ada lampu pijar lima watt yang belum menyala — kutebak warnanya oranye. Di beberapa bagian juga terlihat bekas coretan spidol berupa angka-angka. Aku lupa fungsinya apa, tapi kurasa cukup penting untuk membuatnya menjadi sekarang ini. Di salah satu sisi, ada gantungan baju.

Masih ada jaket parasut milik bapak yang selalu bapak kenakan dulu.

Lucu. Seingatku dia tidak sekusam ini. Aku mengambil jaket itu, kemudian aku kenakan. Di sebelah gantungan, ada cermin kecil. Aku menatap diriku sendiri. Janggut tipis dan kumis yang sama tipisnya. Rambutku yang ikal kubiarkan tumbuh berantakan. Di frame cermin itu, ada secarik kertas bertuliskan alamat kontrakan yang kutinggali di kota. Tidak ada gunanya aku tanya untuk apa, toh aku tidak akan pernah benar-benar mendengar jawabannya.

Aku kemudian merogoh kantong jaket bapak dan menemukan kunci motor. Ada pula gantungan kunci yang dulu adalah paku beton untuk mengunci kamarku. Entahlah maksudnya apa.

Kalau memang bapak rindu, kenapa dia tidak pernah mengirim surat, setidaknya?

Aku membuang asumsi-asumsi dari dalam kepalaku kemudian pergi mencari motor bapak. Tentu saja untuk mencari bala bantuan. Bagaimanapun kapal ini harus selesai dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Atau aku juga akan kena pecat dari pekerjaan utamaku.

*****

“Deh-deh-deh-deh. Berubahnu mo!”

Tentu saja yang pertama kali kudengar adalah ‘perubahan’ fisikku. Maksudku, sepuluh tahun tentu saja mengubah fisik dan bahkan kepribadianmu seutuhnya.

Orang yang pertama kali berkomentar adalah Daud. Teman semasa sekolah dulu. Aku memutuskan untuk mengumpulkan teman-teman yang kuingat rumahnya, sambil berdoa rumah mereka tetap di sana dan setidaknya dari sepuluh, ada tujuh orang yang masih tinggal di tempat yang sama. Kami memutuskan berkumpul di basecamp kami yang dulunya adalah tanah kosong dan sekarang sudah menjadi kafe kekinian yang dikelola oleh Daud.

Daud dulu bukanlah orang yang gemuk dan berkacamata seperti sekarang ini. Dulu dia lebih berotot dan mata bulatnya bisa membuat orang-orang berlari ketakutan hanya dengan melihatnya.

Aku menghela nafas ketika teman-teman lain tertawa. Bahkan Abe, berkata dia cuma pernah mendengar suaraku dan rasanya aneh sekarang aku berada bersama mereka.

Daud meletakkan delapan gelas es kopi susu gula aren di meja kami.

“Tapi seperti tadi yang Abe bilang,” Daud duduk di sofa. Berat badannya membuat sofa itu seperti hampir menenggelamkan dirinya. “Kita-kita ini sudah tidak ada yang tau caranya bikin kapal.”

Enam lainnya mengangguk.

“Ada yang tau,” Abe menanggapi setelah menenggak es kopinya. “Tapi jauh sekali. Di Tana Beru. Kecuali kau mau ke sana. Bisa juga, nanti saya temani.”

Abe dulu adalah ketua kelas yang entah kenapa selalu merasa bertanggung jawab atas segalanya. Makanya kupikir, selama ini dia menghubungiku untuk memberitahu kabar bapak adalah gestur yang sangat baik. Atau hanya naif, barangkali.

“Ah di Tana Beru sangi orang mau masuk berita, saja.” Mansur menyela. “Skillnya nda ada beres.”

Mansur ini calon dokter spesialis. Cuma belum ikut spesialis saja, katanya. Dulu dia selalu peringkat dua, tepat di bawah Hairul yang sekarang entah di mana. Konon tujuh tahun lalu dia membunuh orang lalu menghilang dari desa.

“Kalian ingat kejadian tahun lalu, toh? Kapal rusak sebelum berlayar karena kualitasnya jelek,” Mansur masih bercerocos. DIa menyalakan rokok filter yang cukup mahal. “Kapal Tana Beru itu.”

Mansur menatapku dengan mata yang menyipit, seolah mencari hal lain dari dalam diriku. “Kau tau, Bangi?” Dia bertanya.

Aku menunggu.

“Sampai sekarang kapal bikinan bapakmu masih dipakai di Lombok.” Mansur menatap teman-teman lain satu persatu. “Waktu saya liburan ke sana, saya dipesankan itu kapal sama tour guide-nya. Bau kayunya masih sama seperti waktu kita kecil.”

Aku seperti menghirup kayu yang sama seperti yang dia bilang. Aku masih ingat baunya. Kalian pernah mencium wangi kayu yang baru saja dipotong? Sulit untuk mendeskripsikannya, tapi aku tahu betul wangi kayu itu.

Dan sekarang aku tengah menciumnya.

“Lihat kualitas kapal buatan orang kita,” Mansur menyodorkan ponsel high end-nya pada kami. Alih-alih foto kapal, kami hanya bisa melihat wajahnya dan seorang perempuan muda yang menutupi hampir separuh layar. Kapal hanya bisa kami saksikan jika gambarnya diperbesar. Itupun tidak fokus.

Mansur menarik ponselnya. “Intinya, seharusnya orang-orang itu beli kapal di kita!”

“Iya, terus siapa yang bikin, Sur?”

Pertanyaan Rijal, si tukang palak yang kini seorang pegawai perpajakan yang hanya pulang kampung setahun sekali, menyudahi pembicaraan kami mengenai kegundahan dan kegelisahanku tapi tidak menjawab dan menyelesaikan apapun.

Tak sampai dua jam kemudian, aku mengantar Abe pulang. Abe dan ibunya yang bahkan untuk berdiripun sulit, memintaku untuk masuk dan makan malam bersama mereka. Aku menolak dengan sopan. Toh kami juga sudah makan di kafe Daud tadi. Sebelum pulang, ibu Abe memberitahu satu hal yang bisa menyelesaikan masalahku.

Mungkin.

“Kau sudah ketemu Daeng Gassing? Dia cari-cari kau itu waktu meninggalnya bapakmu.”

*****

Motor tuaku berhenti tepat di depan rumah Daeng Gassing. Semasa kecil, aku ingat sering dititipkan di rumah ini.

Rumah panggung sederhana yang cuma diisi dua kamar. Biasanya aku tidur di ruang tamu bersama keponakan Daeng Gassing yang usianya lebih tua beberapa tahun dariku. Namanya Daeng Rama.

Daeng Rama yang kukenal, badannya cukup berisi meskipun tingkah dan gesturnya gemulai. Kadang kami bercanda memanggilnya Daeng Rahmi. Dulu, yang kuingat dia memiliki codet di pipi kirinya.

Hari ini ketika aku mengetuk pintu dan pintu terbuka, Daeng Rama sudah benar-benar berubah menjadi Daeng Rahmi. Codet di pipi kirinya sudah samar dan aku yakin bukan karena efek make up. Daeng Rama melakukan operasi plastik, membuat wajahnya tampak lebih simetris, meskipun rahangnya masih tampak seperti rahang seorang laki-laki. Jakunnya saja masih kentara. Selain itu dada Daeng Rama juga berubah, sedikit lebih berisi dibanding dada pria pada umumnya.

“Bagian bawahji yang nda saya ubah.” Dia berkata tanpa kutanya setelah mengizinkanku masuk. Daeng Rama menyiapkan segelas teh hangat dengan pisang goreng. “Nanti takut saya mati saya nda dikubur layak.”

Baiklah.

Aku hanya merespons dengan anggukan. Daeng Rama duduk di hadapanku setelah meletakkan nampannya. Dia tersenyum sembari menatapku lamat-lamat, seperti mencari diriku yang sudah lama meninggalkannya.

“Tambah gagahko kurasa, dek.” Daeng Rama memberitahu. Aku hanya ikut tersenyum.

Daeng Rama memangku dagunya dengan kedua tangan sambil menatap mataku lekat-lekat.

“Berubah sekali mukamu,” dia melanjutkan pujiannya. “Dulu tidak ada kumismu. Tidak tegas juga rahangmu.” Daeng Rama tertawa. Tatapannya menerawang. “Nda kudapatko tumbuh.”

Ucapan terakhirnya sebelum kami menghabiskan teh membuatku terhenyak.

Sore itu untuk pertama kalinya, aku memikirkan waktu yang telah kulewatkan di desa ini. Kedatanganku ke rumah Daeng Gassing dan bertemu dengan Daeng Rama, bukannya mengantarkanku bertemu dengan tangan kanan sang pembuat kapal, tapi malah membuka memoriku akan waktu-waktu yang telah dilewati desa ini tanpa aku.

Begitu teh kami habis, Daeng Rama memberitahu bahwa Daeng Gassing tengah berada di kota. Kota mana aku tidak tahu, dia tidak memberitahu secara spesifik. Katanya Daeng Gassing selalu pergi menghabiskan waktu di kota sejak kepergian bapak. Dia juga tidak bisa menghubungi Daeng Gassing. Nomor ponselnya tidak aktif.

Daeng Rama menawarkanku untuk menginap di rumahnya, sekalian menunggu Daeng Gassing, katanya. Aku menolak lantaran memang sudah meniatkan diri untuk menginap di kapal saja. Sekalian mengecek dan berharap bisa menemukan sesuatu untuk mengerjakan kapal itu. Entahlah, sejujurnya akupun tidak tahu apa yang akan kulakukan begitu tiba di kapal.

Daeng Rama memberiku nomor ponsel Daeng Gassing.

“Kalau itu kapal sudah selesai, bagaimana? Kau di siniji toh?

Pertanyaan Daeng Rama hanya kujawab dengan gelengan kepala.

*****

Aku kembali ke kapal dengan perasaan campur aduk.

Malam telah tiba dan aku baru sadar kalau sedang bulan purnama. Cahayanya seperti terlalu menyilaukan malam ini.

Malam…

Orang tuaku memberiku nama Bangi yang berarti malam. Diambil dari bahasa konjo dan Makassar. Alasan utama tentu karena aku lahir di malam hari, tepat sebelum adzan isya. Jadi bapak mengadzaniku bersama suara adzan isya yang berkumandang di seluruh kampung. Ibuku meninggal tepat setelah aku selesai menyusu untuk pertama kalinya. Kata bapak, waktu itu dia sangat terpukul tetapi keberadaankulah yang membuatnya tetap bertahan hidup.

Untuk bapak, akulah yang membuat malam-malamnya tidak lagi sepi.

Bapak menikah lagi ketika aku berusia dua atau tiga tahun. Aku lupa tepatnya. Orang yang bapak nikahi adalah orang baik, namanya Atta Anong, aku memanggil beliau dengan sebutan Atta. Atta menyayangiku seperti aku juga menyayanginya. Sayang, beliau meninggal begitu aku berusia sepuluh tahun tanpa seorang anak kecuali aku, anak sambungnya. Setelah kepergian Atta, bapak memilih untuk tidak menikah lagi. Beliau juga untuk pertama kalinya mengajakku ke tempatnya membuat kapal. Biasanya aku bermain hingga maghrib tiba. Kalau sampai malam pekerjaan belum selesai, barulah bapak mengantarku ke rumah Daeng Gassing dan dia kembali melanjutkan kapalnya.

Beberapa tahun lalu, bapak menjual rumah kami. Aku tahu dari Abe, tentu saja. Abe memberitahu kalau keuangan bapak sedang sulit dan dia kadang tinggal di kapal yang belum selesai. Seandainya kalian mau menghakimi bahwa aku jahat, aku juga sedang tidak punya uang waktu itu.

Bahkan sekarang. Kali ini.

Ah.

Aku menarik nafas dalam-dalam.

Hidup itu ternyata susah sekali.

Di depan kapal yang sangat besar ini, aku terdiam. Tidak ada suara apapun selain deburan ombak yang pelan-pelan. Kulihat langit dan kudapati bulan purnama sudah ditutupi awan-awan tebal.

Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun.

Aku menghela nafas, kemudian melangkahkan kaki memasuki kapal.

Yang tidak pernah kusangka-sangka, di dalam kapal itu rupanya aku tidak sendirian.

Hal pertama yang kuperhatikan begitu memasuki kapal adalah suara-suara berisik. Seperti orang tengah memalu kayu. Mungkinkah Daeng Gassing? Atau Abe?

Pelan-pelan aku berjalan mengendap menuju sumber suara. Jangan sampai orang asing itu adalah pencuri kayu. Tidak boleh menimbulkan bunyi sama sekali.

Langkah kakiku melangkah begitu pelan memasuki lambung kapal semakin dalam, semakin dekat dengan suara palu, tetapi entah bagaimana aku tidak bisa menemukan seseorang di dalam sana. Suara palu itu samar, tetapi bisa memecahkan keheningan malam ini.

Saking sunyinya, yang bisa kudengar selain suara itu hanya suara debaran jantungku yang semakin cepat.

Suara palu semakin jelas.

Suara jantung semakin tidak karuan.

Tiba-tiba aku bisa mendengar suara ombak yang samar.

Aku berhenti. Aku merogoh kantong dan mengambil kunci motor, menggenggamnya dengan erat berharap dia bisa menjadi senjata kalau-kalau orang asing itu benar pencuri.

Aku menghela nafas dan kembali melangkah. Kali ini berjinjit.

Suara palu itu berhenti. Hanya suara jantungku yang terdengar jelas.

Suara ombak terdengar samar.

KRIET!

Detak jantungku seperti berhenti ketika aku mendengar dengan jelas suara kayu berdecit di belakangku yang disusul oleh suara langkah kaki.

TAP! TAP! TAP!

Langkah kaki itu berlari semakin cepat. Refleks aku menoleh dan tercengang.

Seorang anak laki-laki berusia sekitar lima belas tahun, berlari dari pintu ke arahku. Dia melewatiku begitu saja, seolah aku tidak ada di sana.

Hal yang paling membuatku tercengang bukanlah keberadaan anak laki-laki itu, tetapi sosoknya. Anak laki-laki itu sangat persis denganku dua belas tahun lalu.

Tidak. Tunggu. Bukan.

Bukan. Bukan sangat persis.

Anak laki-laki itu jelas-jelas adalah AKU DUA BELAS TAHUN LALU.

Dia mulai menjauhiku dan begitu ekor mataku bisa menangkap punggungnya yang tengah mengenakan kaos band “Rolling Stone” KW, aku melihat bapak.

Bapak yang terakhir kali kutemui.

Bapak yang sewaktu aku pergi, hanya memunggungiku tanpa berkata apa-apa. Bapak yang rambutnya belum rata dengan uban. Bapak yang punggungnya tegap meskipun tengah memalu lunas kapal.

Kedua mataku terbelalak.

*****

Aku mengikuti diriku yang lain. Aneh.

Aku mengikuti Bangi. Oh. Ini lumayan cocok.

Aku mengikuti Bangi berjalan mendekati bapak. Entah bagaimana sepertinya mereka berdua tidak menyadari kehadiranku.

Tunggu.

Ini salah.

Seharusnya yang tidak ada itu mereka! Belum selesai kebingunganku pada semua ini, tiba-tiba saja bapak seperti sedang melihatku. Matanya benar-benar seperti tengah menatapku. Tetapi aku tidak menemukan diriku di pantulan sinar matanya.

“Kenapa, pak?” Bangi bertanya.

Bapak segera mengalihkan pandangannya padaku yang masih terkejut. Dia lantas menyodorkan kunci motor pada Bangi.

“Kencang angin di luar,” Bapak menjawab. “Habis ini kau pulang saja.”

Bangi tampak kecewa.

Aku ingat kejadian ini, sekitar seminggu sebelum bertengkar dengan bapak hingga akhirnya pergi dari kampung. Aku ingat perasaanku hari itu. Aku cuma tidak tahu ternyata aku terlihat seperti itu. Wajahku yang tampak kecewa benar-benar tidak bisa dibohongi.

Kala itu aku benar-benar pulang meninggalkan bapak. Aku tidak mengikuti Bangi. Aku hanya duduk di dekat bapak, tetapi begitu aku menoleh ke arah bapak, aku mendapati Bangi, kali ini mengenakan seragam SMA, membawa kotak bekal. Bapak tiba-tiba sudah berada di belakangku.

Ruangan yang dari tadi temaram, pelan-pelan menjadi sedikit lebih terang. Bapak menghampiri Bangi, lagi-lagi melewatiku begitu saja.

“Kau sudah makan?”

“Sudah tadi sama Daeng Rama.”

Bangi melepaskan seragam SMA kemudian menggantungnya di sisi lambung kapal. “Yang mana dulu, pak?”

Bapak menjawab, tetapi entah kenapa aku tidak bisa mendengar apa yang dia katakan. Aku ingat kejadiannya tapi lupa persisnya. Berdasarkan apa yang sedang kualami, aku pikir ini adalah manifestasi memoriku secara visual.

Aku ingat Bangi mengambil sebuah benda yang secara pandanganku, tampak blurry. Kemudian Bangi menghilang dari pandanganku, begitupun bapak. Aku tidak tahu bapak makan apa. Aku tidak tahu aku membawakan bapak makanan apa. Sebagaimanapun aku mencoba mengingatnya, tidak pernah berhasil.

Lalu aku mendapati Bangi berjalan bersama bapak, mereka membawa sepotong kayu yang besar. Aku mengikuti Bangi dan bapak hingga mereka berhenti sembari memasang kayu. Mereka melakukan semua itu tanpa bantuan paku besi sama sekali.

*****

Keringat bapak bercucuran, terlihat sangat lelah. Aku pikir ini sudah kayu kesekian yang mereka pasang. Setidaknya itu yang kulihat sejak tadi.

Sejujurnya melihat hal ini cukup membuatku merasa lega. Setidaknya aku bisa melihat kembali bapak. Apalagi mereka tengah membuat kapal. Cukuplah untuk mengingatkan satu-dua hal. Sebenarnya ada hal yang ganjil saat melihat mereka berdua. Aku tidak ingat aku sedekat itu dengan bapak. Mungkin sebenarnya aku tidak pernah menyadari hubunganku dengan bapak sedekat ini…

Atau jangan-jangan yang kulihat ini sebenarnya adalah harapanku semata?

Entahlah.

“Kalau sudah dipasang, kita istirahat dulu,” bapak berkata sambil memberi kaos pada Bangi. Bangi mengenakan kaos itu setelah mengelap wajahnya.

Bangi memasang, kemudian mereka duduk bersama.

“Pak,” Bangi memanggil. Bapak yang baru saja memutuskan untuk berbaring, melirik Bangi. Menunggu.

Bangi menghela nafas, membuang wajahnya yang kalau kuintip intip, memerah.

Tunggu, aku ingat momen ini.

“Saya mau kenalkanki sama Caca.”

?!!@@#1(#I!!!!

Aku hampir lupa kalau aku pernah memberitahu bapak tentang pacar pertamaku itu. Cinta monyet yang sore tadi tidak kutemui di kafe Daud.

Aku tahu jawaban bapak setelah ini, hal itu membuatku keki dan malu sampai sekarang. Berengsek! Aku segera melirik bapak. Ekspresinya masih sama seperti dulu. Tercengang.

Bapak menghela nafas kemudian memejamkan kedua matanya.

“Fokus sama sekolahmu saja dulu.”

Setelah bapak berkata begitu, aku tidak pernah bercerita tentang kehidupanku bahkan sampai pergi dari kampung. Aku tidak mendengar Bangi merespons percakapan bapak. Karena memang aku tidak merespons waktu itu. Terlalu malu dan canggung.

Ketika aku kembali sadar, cahaya di dalam ruangan kapal sudah agak redup. Aku melihat bapak yang tengah makan bersama Bangi. Seperti biasa mereka mengobrol tentang banyak hal. Lebih banyak tentang pembuatan kapal, sih.

Bapak selalu membangga-banggakan seorang pembuat kapal. Bapak begitu menggebu-gebu menceritakan bahwa ikan yang sedang mereka makan sekarang adalah hasil dari pekerjaan bapak sebagai pekerja kapal, karena bapaklah yang membuatkan kapal untuk para nelayan.

Bangi bersemangat mendengarkan cerita bapak. Naif. Dia tidak tahu saja ternyata pembuat kapal tidak se-eksklusif itu. Aku yang dulu tentu saja tidak tahu gara-gara terlalu melihat bapak sebagai panutan. Mentang-mentang hanya dia yang ada dalam hidupku.

Bapak juga menjelaskan betapa membuat kapal adalah hal yang sangat mulia.

Aku tidak sanggup lagi melihat hal ini. Semuanya hanya membangkitkan amarahku. Dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa aku harus merasakan hal ini lagi?

Aku keluar dari ruangan, menuju ke dek kapal dan mencoba memproses apa yang sedang terjadi.

Malam ini cuaca sangat cerah. Aku bisa melihat bulan purnama dengan sangat jelas. Awan-awan yang menutupinya, pergi entah ke mana. Bintang-bintang menggantikan mereka.

Aku menghela nafas dan memikirkan kembali bapak. Kalau kuingat-ingat, selama ini bapak tidak pernah mengutukiku. Padahal ibu meninggal waktu melahirkanku. Padahal Atta meninggal karena lelah mengurusku. Aku melihat bulan purnama dan merasakan keberadaan Bangi dan bapak di dek yang sama tidak jauh dariku. Aku menengok dan mendapati Bangi tertidur di samping bapak.

Waktu itu aku pura-pura tidur. Bapak kemudian mengusap kepalaku, dengan suara sumbangnya dia bersenandung,

“Battu rate ma’ ri bulang,
ma rencong-rencong,
ma rencong-rencong…

Lagu itu adalah lagu tidur yang biasa dinyanyikan Atta untukku sewaktu masih kecil. Kuperhatikan wajah bapak yang tertutup bayangan daun kelapa. Aku tidak bisa melihat ekspresinya, tetapi bahkan waktu itupun, aku bisa merasakan kehangatannya.

Tiba-tiba saja aku merasa rindu pada bapak. Rindu yang tidak tertahankan. Baru pada saat itu aku bisa benar-benar memaafkan bapak. Bahkan aku merasa bodoh pada diri sendiri. Kalau diingat-ingat lagi, tidak pernah sekalipun bapak berkata kasar padaku. Bapak hanya menegur dan memberitahu apa yang dia harapkan kulakukan ketika aku bersalah.

Suara sumbang bapak yang masih melantunkan lagu, masih bisa kudengar. Untukku, suara itu terdengar merdu.

“Tamalliang tompo’ bangkeng
Lontaja ijammengja’
Ia dendanga da’dumba
Ia paramata bengko’na
Ia dendanga da’dumba

Aku memejamkan mata, yang sekejap kemudian terbuka ketika aku mendengar suara kaki yang berlari menjauh. Aku mendapati Bangi berlari. Wajahnya penuh amarah.

Aku penasaran maka kuikuti dia. Bangi berhenti di ujung dek.

Kami bersebelahan tapi rasanya aneh. Aku bisa dengan jelas memperhatikan diriku. Itu memang aku. Tidak salah lagi.

Sekarang aku mengerti ketika orang-orang berkata wajahku tampak judgy. Bangi serius sekali melihat sesuatu, jadi aku ikut menengok ke arah pandangnya.

Aku tampak terkejut, menemukan bapak tengah bersama Puang Sanneng. Mereka sedang berbincang.

Jelas sekali, tapi alam pikiranku tidak ingat mereka berkata apa. Satu-satunya yang kulihat, adalah ekspresi Bangi yang tiba-tiba saja berubah menjadi amarah. Aku ingat perasaan ini dan jujur saja, aku tidak mau mengulangi merasakan hal yang sama.

Air muka Bangi semakin mengeras. Dia memalingkan wajah dan pergi dari dek. Aku tahu apa yang akan dia lakukan. Aku mengikuti Bangi, mencoba menghentikannya tapi tidak bisa. Entah kenapa aku tidak bisa meraih tangan Bangi. Pernah menonton film horror di mana sang hantu bisa menembus benda padat? Itulah yang terjadi. Persis. Bangi melewati tubuhku begitu saja.

Atau sebenarnya aku yang melewati tubuhnya.

Sekarang aku ingat obrolan bapak dan Puang Sanneng saat itu. Puang Sanneng mengabarkan kematian Daeng Taba, salah satu pekerja kapal di bawah arahan bapak yang mengerjakan kapal di Tana Beru. Waktu Puang Sanneng memberitahu bahwa mereka sebaiknya menghentikan pengerjaan kapal, bapak menolak dengan alasan itu sudah resiko Daeng Taba.

“Ini kapal harus selesai sebelum habis bulan baru,” Bapak berkata pada Puang Sanneng. “Kita kirimkan saja uang duka untuk keluarganya.”

Setelah berkata begitu, bapak segera memanggil Daeng Gassing dan meminta Daeng Gassing mengganti peran Daeng Taba di Tana Beru.

Waktu itu aku tidak habis pikir mengapa bapak bisa berkata setega itu.

Namun beberapa tahun kemarin aku menyaksikan hal serupa. Rekan kerjaku meninggal. Bukan karena kecelakaan kerja, tetapi mati saja karena sudah ajalnya. Lantas kepala koordinator mengatakan hal yang persis serupa.

Kau tahu, di usia sekarang ini semua hal tega itu memang perlu. Roda ekonomi kapitalis sialan ini didesain sedemikian rupa agar tidak ada hati yang terlibat di setiap pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat. Menyedihkan.

Lebih menyedihkan lagi karena aku baru sadar sekarang dan harus melihat Bangi yang meledak-ledak di hadapan bapak.

“Jahat!” Teriakan itu terdengar. Suaraku yang belum pecah betul, menggema di dalam kepalaku. “Bapak lebih kejam daripada setan!”

“Bapak bilang pekerjaan ini mulia!” Nafas Bangi tersengal-sengal. “Tapi pekerja bapak mati, bapak malah diam saja!”

Bapak mengerling. “Kalau bapak melakukan sesuatu, apa dia bisa hidup? Apa kapal itu bisa selesai sendiri?”

Gigi Bangi gemeretak. Matanya merah menyala menatap bapak. Kenapa aku harus menatap sebegitunya? Memangnya sepenting apa Daeng Taba? Kenapa aku melampiaskan kemarahan yang tidak perlu?

Aku menatap Bangi, mengantisipasi apa yang akan dia lakukan. Karena aku ingat betul, aku melempar kaosku pada bapak.

Bapak menghela nafas. Dia memungut kaosku. “Kau cuci muka dulu, tenangkan pikiranmu.”

Bangi tidak tenang. Aku tidak tahu apa yang merasukiku waktu itu, tetapi sumpah aku sangat membenci perasaan ini.

“Bapak tidak pernah peduli sama saya,” Bangi berkata. “Daeng Taba itu bapaknya Caca.”

Tolol.

Idiot.

Bodoh.

Aku malu pada diriku sendiri. Tiba-tiba saja aku merasa mual. Aku meninggalkan Bangi dan bapak. Keduanya diam-diaman.

“Bapak cuma peduli sama diri sendiri.” Aku masih mendengar percakapan Bangi. Ketika aku memalingkan wajah, Bangi dan bapak ikut bergerak bersamaku. Mereka seperti awan yang kau lihat saat berkendara. Mengikutimu ke mana saja.

“Saya tidak heranji.”

Berhenti.

Bangi menatap bapak dengan tajam.

Tolong. Berhenti.

“Waktu atta saja meninggal, kita tidak ada.”

PLAK!

Bapak menampar Bangi.

Aku bisa merasakan tamparan itu.

Rasanya masih sama.

Perih.

Sakit.

Panas.

Bangi — dan aku, memegang pipi. Bangi menatap bapak.

Ini pertama kalinya bapak menamparku.

Pertama dan terakhir.

Aku menatap nanar bapak. Di dalam pandanganku yang berkaca-kaca, aku melihat kesedihan di wajahnya. Kekecewaan yang mendalam yang baru saja bisa kuperhatikan sekarang ini.

Dengan nafas yang memburu, Bangi pergi meninggalkan bapak. Bayangan bapak pelan-pelan menghilang dari pandanganku yang ikut kabur karena air mata.

Tolol.

Bodoh.

Aku menampar diriku sendiri.

“Tolol.”

“Bodoh.”

Kemudian aku berhenti. Sejak tadi aku tidak merasakannya, tetapi kini aku merasa sangat lelah. Nafasku memburu dan keringatku bercucuran. Seluruh tubuhku basah. Aku baru sadar bahwa hujan ikut membasahiku.

Aku mengatur nafasku, tersadar sedang tertidur di dek kapal. Hujan turun sangat deras. Aku menatap ke arah langit. Bulan purnama tertutupi awan hitam.

“Bangi?”

Aku mendengar seseorang memanggilku di antara suara rintik hujan dan ombak yang meraung. Aku melirik dan mendapati Daeng Rama di depan kapal, mengenakan payung bersama seseorang yang sangat kukenal.

Daeng Gassing.

“O, Bangi!” Daeng Gassing berseru. “Saya kira kau bapakmu! Mirip sekaliko bela!”

Aku melihat Daeng Gassing masih berbicara, setengah berteriak tetapi aku tidak bisa mendengar suaranya dengan jelas. Aku bisa merasakan air mataku benar-benar jatuh ke pipi. Untunglah kurasa hujan bisa menutupinya.

Aku bergegas turun dan menyambut keduanya.

*****

Daeng Rama membawakan handuk untukku. “Handuknya bapakmu,” Dia berkata sambil menyerahkan handuk untukku mengeringkan tubuh.

Daeng Gassing tidak berhenti mengobservasiku sembari mengacak-acak rambutku seperti yang sering dia lakukan sejak aku kecil. “Lebih besarko kayaknya daripada bapakmu sekarang.”

Aku hanya tersenyum.

Daeng Gassing menghela nafas. “Saya sudah dengar dari Rama.”

Aku menunggu.

“Sebenarnya saya sama teman-teman mau lanjutji. Tapi ada masuk kapal baru di Tana Beru. Baru Puang Sanneng kasih DP 5 persenji. Mana cukup.”

Aku diam saja. Daeng Gassing menatapku lamat-lamat. “Tapi pesannya bapakmu. Kalau-kalau kau datang, kita harus siap selesaikan.”

Daeng Rama memijat bahuku dengan lembut.

“Kalau seandainya saya nda datang, bagaimana Daeng?”

Daeng Gassing tersenyum. “Bapakmu selalu yakin kau datang. Buktinya kau di sini to’?”

Aku tidak tahu harus berkata apa.

“Ayo, kau tidur di rumah saja. Besok saya panggil teman-teman di Tana Beru. Kasih selesai semua ini.”

Aku menatap Daeng Gassing.

“Pun seandainya kau tidak bantu juga tidak apa-apa. Kau mau kembali ke kota, nda masalah. Saya jamin ini kapal selesaiji.

Aku berpikir untuk beberapa saat. Bergantian menatap Daeng Gassing, kemudian Daeng Rama.

Lantas aku menghela nafas.

“Sebelum itu, bisaki temani saya ke makamnya bapak? Saya belum sempat ke sana.”

Daeng Gassing tersenyum.

Aku menatap ke sekeliling lambung kapal, memperhatikan semua bagian dengan lamat-lamat, kemudian menyusul Daeng Gassing dan Daeng Rama keluar dari kapal yang belum selesai itu.

Pulangma, pak.

--

--

Haediqal Pawennei

Menulislah ketika kamu pusing supaya tambah bebannya kepalamu. Itu menandakan kalau kamu berpikir.