Dari Persisten, Jadi Percaya

--

Sumber: Komik Kengan Omega Episode 147

Menulis bukanlah bakat saya, dulunya. Menjadi penulis adalah salah satu impian terpinggirkan yang bahkan tidak pernah benar-benar saya yakini bisa menjadi nyata. Seiring berputarnya jarum jam hingga jutaan menit, kenyataan tampak berubah.

Tampaknya, penulis perlahan benar-benar jadi profesi saya. Bukan kehidupan terindah yang bisa diromantisasi dengan narasi “Kerja kapan saja dan seenaknya saja”, tetapi tetap cukup saya syukuri. Kesyukuran yang masih kecil, semungil reputasi profesional saya saat ini sebagai penulis.

Hanya saja, saya jiwa bersastra yang (sedikit) persisten sejak SMA.

Mulanya, saya menulis untuk bersuara. Menyuarakan keluh-kesah yang terpendam dan terbungkam oleh keadaan. Mata dan mulut yang menyerah oleh keadaan, perlahan menyalurkan energi kepada lengan dan jari-jemari tangan untuk merangkai pesan-pesan penuh kesan.

Satu puisi diketik via LINE. Uploaded. Likes berdatangan. Ulangi lagi. Terunggah lagi. Dapat likes lagi. Berputar-putar dalam siklus candu berganda, antara berlatih menyempurnakan rangkaian kata tanpa suara (karya sastra berupa puisi) dengan pasokan dopamin instan via likes dari aplikasi LINE.

Berawal dari hobi berpuisi. Perlahan dikenal puitis. Makin hari, makin berharap untuk terus bisa menulis. Makin terdorong untuk berpuisi lagi, lagi, dan tiada henti.

Hingga SBMPTN 2018 (sekarang disebut SNBT) merenggut jiwa sastrawi saya. Mati suri untuk sementara waktu. Hilang tak berbekas. Diam sehening batu. Berpuisi tak lagi menjadi rutinitas khusyuk yang saya lakukan setiap kali mental pribadi terhantam remuk; teralihkan oleh konsentrasi mengincar kursi kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Masuk UGM tak membuat saya terdorong mencari komunitas sastra. Malahan, saya sempat melupakan “kulit kacang” pribadi berupa jiwa-jiwa sastrawi semasa SMA. Ingin beralih mengejar cita-cita luar biasa berupa jadi presiden mahasiswa, mahasiswa berprestasi, pendiri startup, dan lulus cepat dengan gelar summa cumlaude.

Titik balik cantik terjadi di tahun 2020.

Impian saya menjadi mahasiswa berprestasi di bidang kompetisi dan akademik hancur berkeping-keping. Daftar lomba, gagal. Seleksi beasiswa, ditolak. Coba kirim esai ilmiah, “gagal matang” dan tidak jadi dikirim ke publikasi jurnal yang semula ditargetkan. Hanya IPK saja yang “sedikit selamat”, karena masih berada sedikit di atas batas minimal summa cumlaude.

Belum selesai dengan gagalnya perjalanan saya di bidang karya tulis ilmiah, datanglah COVID. Memaksa saya untuk berbulan-bulan mendekam di dalam penjara mewah bernama rumah. Tidak bisa berinteraksi dengan sebaya, kecuali via online. Diri saya sendiri pun tidak cukup adaptif dalam mengoptimalkan dunia maya untuk keperluan karya tulis ilmiah. Walhasil, sudah “jatuh” tertimpa rasa jenuh.

Hingga pada satu momen, saya memutuskan untuk ikut kelas menulis online. Mengenali dan mempelajari copywriting. Suatu keahlian yang sama sekali tidak pernah saya pikirkan dan idam-idamkan.

Namun, copywriting pula yang perlahan mengenalkan saya pada sebuah dunia sastra yang baru. Dimensi berkarya via kata-kata yang sama sekali tidak pernah diwartakan oleh guru-guru saya selama dua belas tahun mempelajari Bahasa Indonesia di bangku sekolah.

Berkarya via dunia digital. Menulis kata-kata dengan cara dan wujud yang tidak biasa. Satu demi satu kursus saya ikuti. Satu demi satu konten saya produksi. Satu demi satu kontrak saya tandatangani. Begitu terus, hingga sekarang memasuki tahun keempat saya bermesraan dengan dunia copywriting beserta kawan-kawan dekatnya; content writing, storytelling, digital marketing, dan personal branding.

Saya lulusan sosiologi. Saya tidak pernah bermimpi untuk menekuni dunia sastrawi. Tetapi, kemustahilan di luar perencanaan itulah yang justru sedang menjadi kenyataan.

Kenyataan bahwa saya adalah pegiat sastra. Realita ihwal bocah pecandu gim digital yang malas membaca itu berusaha persisten dan konsisten menekuni dunia kepenulisan, betapa pun sakitnya ia ditusuk-tusuk rasa pilu.

Semua berawal dari berpuisi saat bercelana abu-abu. Semua berlanjut dengan kegagalan temporer di bidang karya tulis ilmiah. Semua berakhir dengan keyakinan untuk mengambil satu pilihan, menuju roda petualangan yang berputar-putar tanpa berkesudahan; menekuni dunia sastrawi sampai benar-benar mati!

--

--