Karel Rumbekwan dan Arena Budaya Miliknya

Haidar Karel
5 min readJan 7, 2024
Kediaman Karel Rumbekwan. Sumber gambar: Haidar Karel

Kira-kira menjelang lima bulan sejak kami menutup perjumpaan dengan masyarakat Kampung Waryesi. Kala berada di sana menjadi potongan cerita hidup yang tak akan pernah jenuh aku bagikan. Memuatnya ke dalam tulisan kemudian perlahan dilakukan agar memori tentangnya terus bertahan. Kali ini, pembaca akan berjumpa (lagi) dengan Papa Karel; mengenali sosoknya sebagai seorang budayawan Papua, khususnya bagian Saireri. Papa Karel yang saat ini menetap di Kampung Waryesi–dulu ia bermukim di Kampung Sowek, Distrik Kepulauan Aruri–senantiasa tekun menyemai wawasan budayanya entah ke sesama warga kampung atau kami, “keluarga” jauh yang sempat ditampung. Ragam rupa keahliannya melingkupi seni musik–termasuk bernyanyi, tari, sampai lukis.

Rumah huni sebagaimana layaknya

Kediaman Karel Rumbekwan. Sumber gambar: Rr. Sandra Kartika Maharani

Beginilah tampak kediaman Papa Karel, hunian yang merupakan rumah tinggalku ini bak pusat budaya kampung yang acapkali dipenuhi aktivitas kultural yang bermacam-macam bentuknya. Lukisan bercorak ukir dan sejumlah figur hiasan natal yang tergambar pada kayu penyangga atap dan tembok depan rumah jadi secercah bukti persona terampil Papa untuk urusan menggaritkan kuas. Di tempat kami berpose sedianya sempat difungsikan sebagai kios. Kios Feni, sebagaimana tertera. Feni sendiri merupakan buah hati termuda dalam keluarga Rumbekwan. Akan tetapi, usaha berjual beli di kios tersebut tengah menemui jeda. Ruang kios lalu ditempati aku dan Hibban menjadi kamar. Sehemat pikirku nantinya Kios Feni akan dibuka, sembari menanti Papa dan Mama menyisihkan tabungan untuk kembali berniaga.

Sementara itu jika beranjak ke dalam, di ruang tamu, misalnya, didapati berjenis-jenis alat musik serta aksesori adat dari suku Biak yang terpampang memadati tepi langi-langit rumah dari sisi ke sisi. Tifa mulai dari yang berukuran besar dan kecil, gitar akustik, ukulele, mahkota hias, kalung, noken, asis (riasan perempuan Biak, terbuat dari sepenggal kayu kecil lengkap dengan tempelan bulu ayam beraneka warna), baju kurung Papua, hingga rok rumbai memamerkan segenap koleksi yang dipunyai Papa. Uniknya, setiap gitar dilabeli nama-nama anaknya. Hal tersebut cukup menandakan bahwa warisan bermusik lestari dalam keluarga Rumbekwan.

Masa pertama bersua

Saat itu langit terlihat cemerlang kendati kilau panas sedikit menyengat, pada 30 Juni 2023 silam. Sedari pagi kawanan Telisik Supiori–yang berkisar belasan orang–melawat perdana ke rumah Papa untuk bertamu sekaligus berlatih tari yospan. Rekan-rekan kami terlebih dahulu mengikuti tradisi injak piring yang melambangkan diterimanya mereka dengan baik sebelum memasuki rumah. Sesampainya di ruang tamu, beberapa kawan wajah dan tangannya dilukiskan motif-motif khas yang memang kerap digunakan ketika tari-tari hendak dilangsungkan. Setelah prosesi tersebut usai, kami bergeser ke bekas garasi yang telah dialihfungsikan menjadi tempat serbaguna. Maklum, garasi Dusun 3 itu sering dimanfaatkan adik-adik untuk bermain bola, petak umpat, atau dipakai mengumpulkan warga pada masa-masa tertentu.

Barangkali sekitar satu jam produktif dihabiskan guna berlatih tari yospan bersama Papa Karel. Berkenaan dengan ini, sebenarnya beliau merupakan pelatih tari bagi insos dan kabor (pemudi dan pemuda) di Kampung Waryesi yang terhimpun ke dalam sebuah sanggar. Sanggar tersebut menjadi wahana belajar yang dibina Papa untuk mengajarkan tari; dan pada waktu tertentu kolektif ini bahkan diikutkan ke pentas lomba atau diundang tampil mengisi acara. Selain garasi, halaman depan rumah Papa sering dipakai untuk melatih tari.

Keceriaan Jumat pagi kami selesaikan dengan mendengar alunan merdu senandung “Saputangan Biru” dan “Bak Beba” dari Papa di rumah. Lagu-lagu itu sedikit dari sekian yang masyhur diketahui oleh khalayak setempat.

Silih berganti belajar budaya

Swadaya Merakit Aksesori. Sumber gambar: Haidar Karel

Semenjak teman-teman telah mengenal Papa, rumah silih berganti didatangi untuk belajar budaya. Kini kegiatan yang digeluti adalah merakit aksesori kalung dan gelang secara swadaya lewat bantuan Papa dan Mama. Di rumah, tersedia bahan baku meliputi biji saga, kerang dengan bentuk yang bervariasi, serta semacam “benang” plastik bening untuk menopang “isian” kalung atau gelang. Dalam menyusunnya, teman-teman dicontohkan lebih dulu kemudian dituntun untuk menghiasi aksesori sesuai dengan preferensinya sendiri-sendiri. Ada yang membuatnya untuk sanak keluarga di kampung halaman, kerabat, pacar, dan seterusnya. Merakit aksesori mandiri berhasil menjadi distraksi dalam riuh hari-hari yang terisi dengan program kerja.

Puncaknya, rumah Papa menjadi satu dari dua markas untuk mematangkan persiapan Pekan Raya Budaya. PRB merupakan tampuk acara yang digelar guna mengapresiasi keragaman dan kekayaan budaya Supiori, tak terkecuali Kampung Waryesi. Di sini, Papa, Mama, dan kami bergotong-royong menyiapkan sekitar 33 mahkota hias; di mana kami menyuplai barang yang dibutuhkan sebelum Mama membentuk pola mahkota sambil mengumpulkan bulu ayam warna lalu diteruskan oleh Papa dengan melukis mahkota secara saksama. Beberapa teman-teman yang penasaran dengan pembuatan hiasan kepala tersebut pun turut urun tenaga untuk membantu pembuatannya. Selama kurang lebih dua minggu rumah Papa intensif didatangi tamu untuk menyokong progres acara kami. Mahkota hias memang direncanakan agar serentak dikenakan saat perhelatan PRB berlangsung sekaligus oleh-oleh dari Waryesi bersama dengan piring-piring adat, noken, kain batik, camilan, dan masih banyak lagi; seiring dengan cinta kasih yang dititipkan kepada kami.

Keterbukaan Papa untuk menolong kami dalam banyak-banyak hal sejatinya hanya satu dari sekian kebaikan yang dihadiahkan kepada kami. Buah lain kebaikan itu juga diberikan oleh Mama Merry, Papa dan Mama Moses, Papa dan Mama Yosafat, Papa dan Mama Roni, Papa dan Mama Matias, Mama Maya, Papa Obeth, Papa Utrek, segenap insos dan kabor, serta adik-adik tercinta yang tanpa pamrih menguras waktu, tenaga, dan pikirannya. Terima kasih, Waryesi! Terpatri rasa dan makna itu di dalam lubuk hati kami, sepanjang masa.

Erat rasanya, sarat maknanya

Keluarga Rumbekwan: Papa Karel, Sius, Haidar, Hibban, Philip, Feni, Tina, dan Mama Aksamina

Kalau dipikir-pikir lagi, tak hanya budaya dalam konteks seni yang aku pelajari, tapi juga bagaimana adab yang dilakoni penghuni rumah sehari-hari. Mereka sangat menghomati, menghargai, bahkan tak segan berkorban dalam berbagai hal untukku dan Hibban. Suatu pagi, kami disuguhkan teh untuk menghangatkan badan sebelum memulai aktivitas. Keesokan hari dan berikutnya, hidangan mi goreng, ikan puri, atau olahan ikan lainnya, serta kudapan biskuit gabin atau roti bantal dan kue manis buatan Mama bergantian mengisi meja makan. Pun pada siang-siang atau malam-malam itu; aneka masakan ikan, papeda, nasi dan ayam goreng, hingga “eksperimen masak” Hibban dan Mama sukses memenuhi kebutuhan makan dan minum kami. Aku bersyukur karena nyatanya kolaborasi masak tersebut tepat di hari ulang tahunku, menjamu orang rumah dan beberapa kawan yang kebetulan berkunjung saat itu, tanpa direncanakan. Semua yang dilakukan keluarga Rumbekwan kepada kami diimbangi dengan keramahan hati tanpa henti.

Terima kasih! Bagi aku yang beberapa kali gagal dalam asmara, kekeluargaan ini menyegarkan kembali perasaan cinta yang tulus dan saling berbalas. Pengalaman di keduanya setidaknya membuatku terus bertahan dan terjaga.

Demikianlah, serangkaian upaya Papa Karel melalui arena budaya miliknya. Lengkap dengan keramahan keluarga Rumbekwan di dalamnya. Rumah yang begitu sederhana, namun teramat istimewa. Aku bersaksi mereka bukan hanya manusia yang baik, tetapi juga sebaik-baiknya manusia.

--

--

Haidar Karel

(sedang) menulis soal Papua, sepak bola, dan apa-apa yang melawat seketika