Mergina Mansoben dan Hibah Posko Utama

Haidar Karel
6 min readJan 14, 2024
Potret Posko Utama dari seberang jalan. Sumber gambar: Nabielkhan Fasichullisan Afandi

Buah kebaikan yang senantiasa mengitari kami kala di Kampung Waryesi sesungguhnya juga banyak dipersembahkan oleh Mergina Mansoben; Mama, Mama Merry, atau Mama Desa. Demikian deretan nama beliau yang kerap digunakan kami ketika menyapa. Mergina Mansoben merupakan Kepala Kampung Waryesi–setara kepala desa–dan sehemat pikirku–jika tidak keliru–ia menjadi satu-satunya kepala kampung perempuan setidaknya di Distrik Supiori Timur. Satu dari lima distrik yang ada di Kabupaten Supiori; dengan jumlah sepuluh kampung di bawahnya (terbanyak) serta dapat dikatakan yang paling maju semenjak sentra perekonomian dan pemerintahan bertengger di distrik ini. Waryesi adalah salah satu kampung yang berdempet dengan kawasan yang mengenyam rangkaian kemajuan tersebut.

Selaku kepala kampung, aku rasa pengorbanan yang diberikan Mama Desa jauh lebih besar dari sekadar jabatan yang diampu. Faktanya, di rumah yang ia tinggali bersama keluarga tersebut, pun merangkap dipakai sebagai kantor sehingga tak heran jika dalam beberapa kesempatan ramai aparat kampung yang mengenakan seragam terhimpun di sana. Bahkan selama kurun akhir Juni sampai awal Agustus, Mama menghibahkan beberapa petak ruang rumah untuk mengakomodasi berbagai keperluan kami semasa menjalani KKN. Jadilah rumah itu bagi kami juga dikenal sebagai Posko Utama.

Sentra aneka acara

Sebagaimana kata “utama” yang disematkan, posko tersebut menampung segala ingar-bingar aktivitas dan program yang kami kerjakan. Mulai dari perancangan, persiapan, pemantapan, hingga sebagian besar pelaksanaan kegiatan berhasil dilangsungkan. Sedari pagi masing-masing dari kami berduyun-duyun menuju Posko Utama untuk mengawali hari. Meja persegi panjang perlahan mulai dipenuhi oleh barang bawaan seperti laptop, buku, logistik proker; serta tak ketinggalan tas-tas entah itu ransel, noken, selempang, tote bag, dsb. mengisi kursi-kursi yang terpajang.

Biasanya teman-teman berkoordinasi soal input progres program di SIMASTER. Maklum, beban administrasi yang perlu dimuat ke dalam SIMASTER terlalu kompleks, ruwet, dan menuntut beberapa hal yang bagiku tidak esensial. Contoh, alur pelaksanaan program yang tumpang tindih serta bobot jam yang tidak realistis. Sehingga tak jarang esensi pengabdian terasa semu karena mahasiswa cenderung mencari jalan pintas memanipulasi jumlah jam untuk setiap tahapan kegiatan. Belum lagi beberapa dokumen lapangan yang semestinya bisa diintegrasikan secara digital dan daring, masih saja diberikan dalam bentuk fisik. Sudahlah, tidak ada habisnya jika diteruskan. Intinya, perkara seputar SIMASTER menjadi sebuah kegiatan yang menguras banyak waktu dan pikiran.

Selain itu, teman-teman juga membuka penawaran untuk turut andil dalam program kerjanya. Baik itu di tahap observasi, negosiasi, diskusi, dan implementasi. Seluruhnya memilah dan memilih sesuai selera dan kehendaknya. Lagi-lagi bagiku, apa yang benar-benar diselesaikan di lapangan sejatinya terlampau sangat berharga. Bukan hanya karena menuntaskannya bersama masyarakat yang antusias memenuhi ruang kontribusi, namun juga tak perlu pusing memutuskan mana aktivitas yang mesti diperbarui di aplikasi. Yang menjadi prinsip kami ialah bagaimana bahu-membahu mengerjakan apa yang dibutuhkan bersama, bukan semata hadir seolah mampu memberikan solusi untuk semua. Berkumpul, berkolaborasi, dan saling “belajar” menjadi prioritas antara masyarakat Waryesi dan kami menuntaskan hari-hari dalam menyelesaikan “program kerja”. Keramaian Posko Utama sebenarnya tak melulu perihal memenuhi kewajiban kampus. Ada waktunya kami berjumpa dengan adik-adik, insos dan kabor, mama-mama, serta papa-papa untuk bertegur sapa, bercengkerama, belajar budaya, hingga diajak berkelana.

Sejauh apa pun berkelana, jangan lupa ke Posko Utama

Mama Merry dengan posenya yang berlatar gulungan ombak kecil Pantai Wafor di Kampung Wafor, Distrik Supiori Timur. Sumber gambar: Nabielkhan Fasichullisan Afandi

Rentetan pertemuan yang terbangun di Posko Utama, membuat kami akrab tanpa membutuhkan waktu yang lama. Belum genap seminggu, sebagian besar rekan-rekan telah menyusuri sudut-sudut kampung seperti menjelajahi beberapa pantai dan dermaga. Setelahnya, agenda tamasya mulai diselipkan menjadi kerutinan yang tak boleh dilewatkan. Ada yang berencana bersama adik-adik ataupun insos dan kabor. Dalam satu dua kesempatan, Mama justru mengajak kami keluar Waryesi untuk berkunjung ke Pantai Wafor dan Pulau Myopuri–atau Pulau Puri–untuk menghadiri acara Munara Wampasi di Distrik Supiori Barat. Harus diakui, menjalani langkah demi langkah proker pun terkadang dipadatkan sekalian untuk “jalan-jalan”. Selebihnya, semacam selebrasi karena serangkaian proker sukses diselenggarakan.

Foto keluarga Mama Sarah dengan anak asuhnya Zizi di Pulau Myopuri, Kampung Amyas, Distrik Supiori Barat. Sumber gambar: Helmy Rizky

Biasanya setelah usai berkeliling atau melakukan sesuatu, kami balik ke Posko Utama umumnya untuk menyantap hidangan serta beristirahat sejenak sebelum kembali ke rumah. Memang, selain menjadi sentra acara, Posko Utama juga merupakan ruang makan “keluarga”. Setiap hari kami bertukar dalam melaksanakan piket; mulai dari bangun pagi untuk ke pasar membeli sarapan dan bahan baku masakan, menyiapkan menu makan untuk siang dan malam, sampai menjaga kebersihan Posko Utama. Perihal urusan dapur kami juga sangat dibantu oleh mama-mama dan insos yang terus mengarahkan dan menolong untuk menyiapkan banyak-banyak hal. Selepas kesibukan di posko beres, mobil operasional yang dijuluki “Hiley” siap sedia dan selalu setia mengantarkan kami pulang ke setiap keluarga asuh yang beralamat di Dusun 1, Dusun 2, dan Dusun 3; sehari-hari.

Bercanda, tertawa, banyak gaya, cari perkara, drama; seluruhnya

Dan tentu saja, apa yang menjadi sub-judul bagian tulisan ini tersaji menghiasi hari selama berada di Waryesi. Posko Utama tak hanya digunakan untuk menyelesaikan rapat demi rapat, tapi lebih jauh berupaya menyatukan kami agar tetap dekat. Masing-masing dari kami boleh menjalani harinya dengan target yang telah disusun, namun menyempatkan hadir walau sesaat di Posko Utama turut menjadi hal yang tak terlewatkan. Kala itu, hari terasa santai, kami pun mulai ramai, beberapa kawan mulai mengerjakan urusannya sendiri-sendiri. Bersahutlah satu atau dua orang “Siapa mau jam bantu hari ini?”, “Doiadori yuk”, “Siapa mau ke Syurdori”, “Ada yang mau nitip Hadi?”, “Siapa mau ke kios?”, “Kunci motor Mama Maya di mana ya?”, “Minta tolong dong Hiley anterin ke lapangan/sekolah”, “Ada yang liat Mama Desa?”, dst. Berpencarlah kami sesuai dengan agenda yang diikuti.

Jepret foto sisi ke sisi ruang komunal di Posko Utama. Sumber gambar: Haidar Karel

Kala itu, tinggal di Waryesi belum genap dua pekan. Suatu malam di salah satu pertemuan, suasananya dibikin panas dan “berantakan”. Jadilah beberapa dari kami bermain dengan “perangai” yang diperankan. Akal-akalan itu sebenarnya dibuat dalam rangka “menyambut” ketua tim kami yang tengah berulang tahun. Kala itu, forum terbuka diusulkan. Katanya agar setiap dari kita “buka-bukaan” di depan, menjaga hubungan agar tetap rukun. Hasilnya, sebagian persoalan terselesaikan, sisanya dibiarkan “terperangkap” dalam pikiran. Kala itu, Alfa–anak laki-laki Mama Desa–mulai mencari perhatian. Malu-malu tapi mau untuk kenal dan berteman. Seiring berjalannya waktu, tak hanya Alfa, tetapi adik-adik yang lain dan kami mulai menjalin persahabatan. Kala itu, seperti biasa lingkaran duduk mulai terbentuk di teras posko, bernyanyilah satu dua orang yang diiringi petikan gitar milik Papa Karel. Lama-kelamaan, sejumlah teman bergabung menyumbang suara, berdendang bak konser sederhana. Kala itu, kepanikan menyeruak di Posko Utama, dikabarkannya drone salah satu teman kami hilang tak tahu ke mana. Beruntunglah, tak memakan waktu lama, adik-adik yang membantu teman kami mencari berhasil menemukannya. Kala itu, hari-hari piket menemui sejumlah kendala. Telat berbelanja, hanya satu dua orang yang kerja, atau memasak seadanya. Ketegangan sesekali meluap; tak berlarut-larut, situasi pun mereda. Kala itu, adu kebersihan dan kerapian Posko Utama. Ada yang serius, ada yang biasa saja. Sejauh yang aku ketahui, pemenangnya hari Selasa! Kala itu, kontes masak antar-regu piket, klaim atas menu makan terinovatif, terenak, atau tersiap saji paling cepat. Semua percaya diri hari piketnya menang, padahal yang benar-benar menang ialah perasaan senang karena sukses mengenyangkan perut. Kala itu, kami mengenal Kamar Hibban. Sepetak bilik “serbaguna” yang posisinya strategis karena dekat dengan ruang komunal. “Aktivitas” di dalamnya? Tidur, istirahat sebentar, mencari fakta, “menginterogasi” dengan banyak tanya, bertukar cerita-cerita (baca: bergunjing), mengungkap rasa, dan sebagainya. Yang tahu banyak tentangnya? Para penghuni utama.

Terima kasih, Posko Utama. Terlalu banyak kesan yang kini hidup dalam cerita. Masih terdengar gema; atau terbayang rasa kala berada di sana. Sebegitu hebatnya. Terima kasih telah menaungi kami, seutuhnya.

Terkenang sekarang dan selamanya

Kepada Mama, terima kasih karena telah berbesar hati menghibahkan Posko Utama, tanpa setitik pun pamrih. Aku ingat betul bagaimana Mama tak pernah komplain atas kebisingan kami dalam melintasi hari demi hari. Terima kasih karena telah mengusahakan banyak-banyak hal untuk kami. Aku ingat betul bagaimana Mama dengan lantangnya menemui pemda untuk menagih logistik dan akomodasi, mencegahnya agar tak hanya sebatas janji. Terima kasih karena telah menampung tujuh sahabat kami, menjadikan mereka bagian dari keluarga asuh Mama. Aku ingat betul bagaimana sigapnya Mama ketika awal kedatangan kami, terus meyakinkan bahwa Kampung Waryesi siap menerima mahasiswa dengan sepenuh hati. Faktanya? Jelas melampaui ekspektasi. Kami dianugerahi kebaikan yang bertubi-tubi.

Keluarga Asuh Mergina Mansoben. Sumber gambar: Helmy Rizky

Terima kasih! Tertambat cinta dari hati, teruntuk Mama dan Waryesi.

--

--

Haidar Karel

(sedang) menulis soal Papua, sepak bola, dan apa-apa yang melawat seketika