Yospan yang Diwariskan: Tari-tari Pergaulan yang Menyenangkan

Haidar Karel
5 min readMar 24, 2024

Mari nona, nona, nona dan sinyo-sinyo

Berpegang tangan kitorang maju mundur e

Ikut irama lagu yosim pancar e

Goyang kaki goyang badan manis e

Nona di kiri, sinyo di kanan

Kitorang dansa, dansa, dansa, dansa, dansa, dansa yospan e

Putar ke kiri, putar ke kanan

Kitorang goyang sampe pagi hari e

“Dansa Yospan” dalam “30 Nonstop Irian Jaya Yospan Vol. 2” (1996)

Begitulah secercah penggambaran riahnya yospan dalam lagu “Dansa Yospan” ciptaan Berth Runaweri; dilantunkan oleh Joice H. Pupella & Ridwan Hayat yang mengudara pada 1996 lalu. Ketika mendengarkannya, momen kebersamaan yang dirajut tari yospan semasa di Supiori sontak terbayang di dalam pikiran. Ya, serial tari dan iring lagu yang menyejukkan itu membuatku menjelajahi kembali kesan tentang yospan bersama dengan masyarakat Kampung Waryesi.

Papa Karel memandu sesi kedua kursus tari yospan yang digelar pada Sabtu, 1 Juli 2023 bertempat di Pantai Doiadori, Kampung Waryesi. Sumber gambar: Helmy Rizky

Kalau diingat-ingat lagi, saat mempelajari gerak tarinya di Dusun 3 atau Pantai Doiadori aku merasa amat senang karena dikenalkan kepada tradisi yang masih lestari di sana. Namun seiring tumbuhnya rasa penasaran yang hadir di Sleman, aku perlahan menyadari bahwa terdapat suatu hal spesial yang menyertai yospan: perjalanan budaya yang melatari. Tari yospan dalam penyebarannya telah melintasi ragam generasi; berbaur dengan adat di mana masyarakat tersebut berpijak dan menyisakan keunikannya tersendiri.

Cerita kemunculan

Yospan atau yosim pancar terdiri atas dua tari berbeda yakni tari yosim dan tari pancar. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rumansara et al. (2014) menuliskan bahwa tari yosim berasal dari dua daerah: Sarmi dan Biak. Tari yosim Sarmi ialah tari gembira yang digelar masyarakat untuk merayakan suatu acara yang bentuk dasar tariannya mirip dengan tari lemon nipis. Tari ini kemudian meluas penyebarannya sampai ke Waropen, Serui, dan Biak. Di dalam tradisi orang Biak, tari yosim yang berkembang besar dipengaruhi oleh wor dan gerak tarinya tumbuh dari gerakan mas kopra dan fyer (Rumansara et al., 2014).

Sementara itu, tari pancar sendiri muncul di Biak yang namanya terinspirasi dari pesawat jet Belanda saat menduduki Irian Barat. Tarian ini mulanya disebut “pancar gas”, sebelum akhirnya dikenal dengan nama pancar. Gerakan tari yang dibawa pun menyerupai gaya akrobatik di udara seperti gerakan jungkir balik pesawat di langit (Indonesia Kaya, n.d.). Seiring terjadinya pencampuran budaya tari di Biak, tari yosim dan tari pancar bertemu berbagai tari-tari dari Papua lain di antaranya tari seka dari Fakfak, tari gale-gale dari Teluk Cenderawasih, serta tari jef yang berkembang di Biak pada medio 1960-an akhir (Rumansara et al., 2014). Penggabungan inilah yang melatari variasi gerak dasar tari yospan.

Pergeseran makna yospan

Sejatinya kalau menelusuri secara lebih dalam, hadirnya yospan yang digandrungi saat ini tak terlepas dari perjalanan budaya yang melahirkan pengaruh tertentu. Dalam kehidupan masyarakat Biak dahulu kala, dikenal tari kankarem yang erat kaitannya dengan pelaksanaan upacara adat (wor) untuk melindungi anak-anak dalam momen-momen peralihan hidupnya seperti misalnya pernikahan (Rumansara et al., 2014). Penyelenggaraan tari ini melibatkan masyarakat secara massal sehingga biasanya membutuhkan tempat-tempat yang luas dan terbuka. Dikenal dua gerak dasar dalam tari kankarem, yakni mas (gerakan untuk laki-laki) dan fyer (gerakan untuk perempuan). Pada gerak mas sendiri terdapat kopra, saso, kinsireb, dan mamprepre yang diperagakan. Sedangkan bagi perempuan, fyer dilakukan hampir mirip dengan mas kopra (Rumansara et al., 2014).

Berkembangnya tradisi adat Biak lantas menemui kontak sosial dengan budaya-budaya luar. Rumansara et al. (2014) menyimpulkan bahwasanya dua pengaruh besar yang menyebabkan bergesernya wor dan douw (upacara adat serta nyanyian tradisional) ialah perkabaran Injil yang erat dengan ajaran Kristen Protestan serta aturan-aturan yang ditegakkan pemerintah Belanda pada awal abad ke-20. Puncaknya adalah pelarangan beberapa tradisi karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama yang mulai dianut oleh masyarakat Biak kala itu (Rumansara et al., 2014). Pengaruh-pengaruh tersebut perlahan menyebabkan lahirnya tari-tari baru seperti tari pancar yang pada prosesnya turut melahirkan yospan.

Yospan yang diwariskan

Hingga kini yospan yang kian dipamerkan masyarakat–utamanya yang aku temui di Kampung Waryesi–tak terlepas dari konteks sosial yang mewarnai pembauran budaya di masa lalu. Masih dalam temuan Rumansara et al. (2014), kendati restriksi agama membayangi, masyarakat Biak tetap mendapatkan cara untuk bersukacita melalui rekreasi dengan tari-tari baru yang bermunculan. Tari tersebut tak lagi ditunaikan mengiringi upacara adat, tetapi “diperhalus” menjadi “pesta adat” dengan merayakan momen-momen kebersamaan dan kebahagiaan (Rumansara et al., 2014). Tari pancar, tari yosim, beragam tari dari penjuru Papua yang dibawa masuk ke Biak, serta sampai kepada peleburan tari yang menghasilkan yosim pancar merupakan warisan budaya yang lestari dengan rentetan dinamika di belakangnya.

Tumbuhnya yospan yang juga menginjak pelosok Papua lainnya kemudian mendesak pemerintah Irian Jaya pada waktu itu untuk menggencarkan upaya pelestarian warisan budaya tersebut. Pada tahun 1988 silam, Dewan Kesenian Daerah Tanah Papua membakukan yosim pancar sebagai Tari Pergaulan Papua beriring dengan beberapa catatan yang mendeskripsikan anjuran pelaksanaan tarinya sebagaimana dirangkum oleh Rumansara et al. (2014)

  1. musik pengiring tari yang digunakan ialah lagu berbahasa Indonesia (mengisahkan tentang masa-masa perjuangan dan keindahan alam) serta lagu berbahasa daerah (mengenang kampung halaman dan masa-masa sewaktu kecil, keindahan alam, serta mengisahkan mengenai cerita hidup yang berkaitan dengan keberhasilan atau kegagalan seseorang salah satunya dalam hal percintaan/perkawinan);
  2. alat musik yang digunakan berupa gitar, ukulele, stem bass (bas akustik), dan tifa;
  3. pementasan tari dilakukan di lapangan terbuka dengan busana serta tata rias tari dibebaskan kepada pelakunya; serta
  4. jika mengenakan busana, disarankan agar seragam dan berbahan dasar tekstil; warnanya disesuaikan dengan simbol budaya dan kekayaan lingkungan alam.

Tari yospan dalam variasi gerak tarinya sendiri mengenal gerak seka, pacul tiga, gale-gale, jef, serta pancar sebagai dasar-dasarnya (selengkapnya dapat disimak dalam Rumansara et al. (2014) halaman 22–30). Ragam gerakan tersebut dikombinasikan mengikuti iringan musik baik yang dipentaskan langsung atau dimainkan lewat ponsel atau pengeras suara. Berikut sekelumit lampiran video latihan yospan kami bersama dengan Papa Karel di Pantai Doiadori:

Papa Karel memperagakan gerak seka. Sumber video: Rr. Sandra Kartika Maharani

Potret kami mempraktikkan gerak jef. Sumber video: Rr. Sandra Kartika Maharani

Selama kursus dengan Papa Karel, kami menggunakan “Yospan Waisamba” sebagai musik pengiring gerak tari yang dipelajari. Sementara itu pada yospan-yospan lainnya, musik pengiringnya cenderung lepas sehingga dari situlah kami mengikuti masyarakat dalam memadukan gerak-gerak tari secara spontan dan penuh keriaan. Wow! Betapa tari-tari pergaulan itu menghidupkan momen-momen kebersamaan.

Tari-tari pergaulan yang menyenangkan

Meski mempelajari tari-tari yospan dalam tempo yang cukup singkat, namun masa-masa itu seolah terikat dalam ingat. Barangkali akan terasa nostalgia apabila menemukan banjar-banjar tari; seperti di Waryesi di mana masyarakat mendorong kami untuk larut ke dalam giat-giat yospan yang diagendakan. Aku masih terkenang sewaktu Papa Karel bercerita bahwa sejatinya gerak-gerak tari yang ia tunjukkan beberapa di antaranya terinspirasi dari kebiasaan masyarakat Biak salah satunya adalah saat menangkap ikan. Ketika menemukan tulisan-tulisan yang mengulas yospan, aku takjub karena kebiasaan-kebiasaan tersebut diterjemahkan ke dalam budaya yang mengalir menjadi warisan sampai kini. Rasa takjub itu melekat dengan erat karena berkesempatan “mengalaminya” secara langsung.

Potret bersama sanggar tari yang rutin dilatih Papa Karel beranggotakan para insos Waryesi seusai menyambut rombongan DPL Telisik Supiori pada Kamis, 27 Juli 2023 di depan Posko Utama. Tampak Papa Karel berada di tengah memakai baju berwarna hijau gelap dan menyandangkan noken rajut. Sedangkan di tiap sisi dan depan Papa Karel terdapat insos Waryesi yang mengenakan seragam tari berwarna gabungan pink, kuning, dan biru muda sembari memakai mahkota adat khas Biak. Sumber gambar: Helmy Rizky
Potret bersama sanggar tari yang rutin dilatih Papa Karel beranggotakan para insos Waryesi seusai menyambut rombongan DPL (Dosen Pembimbing Lapangan) Telisik Supiori pada Kamis, 27 Juli 2023. Penyambutan berlangsung di depan Posko Utama. Sumber gambar: Helmy Rizky

Yaswar au, Supiori. Yospan, sederet perhelatan, atau ragam rupa kebaikan akan senantiasa hidup dalam tutur cerita sebagai pengalaman yang menyenangkan.

Kepustakaan

Indonesia Kaya. (n.d.). Tari Yospan, Tarian Persahabatan Rakyat Papua. https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/tari-yospan-tarian-persahabatan-rakyat-papua/

Rumansara, E. H., Kondologit, E. Y., & Sarini. (2014). Inventarisasi dan Verivikasi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Tari Yosim Pancar (Tari Yospan). Yogyakarta: Kepel Press. https://repositori.kemdikbud.go.id/13202/1/TARI%20YOSIM%20PANCAR.pdf

--

--

Haidar Karel

(sedang) menulis soal Papua, sepak bola, dan apa-apa yang melawat seketika