Magang Hari ke-1: Eksplorasi dan “Ngarbon”

Achmad H. Imaduddin
4 min readJun 6, 2022

--

Empat hari yang lalu sebelum tulisan ini dipublikasikan, tepatnya Kamis, 2 Juni 2020, merupakan hari pertama saya menjadi pemagang di Biro Tata Pemerintahan (Tapem) Sekretariat Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sekadar informasi, saya melakukan magang mandiri bersama dua teman lain; Qilla dan Naadhirah, dengan mengirimkan surat permohonan dari Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM ke Biro Tapem. Surat ini sudah kami urus sejak pertengahan bulan Mei (12–05). Namun, surat tersebut baru mendapatkan balasan sekitar 2,5 minggu (30–05) dan kami diminta untuk masuk tiga hari kemudian (02–06). Alhasil, hari pertama saya sebagai pemagang dipenuhi oleh persiapan yang penuh kacau.

  1. Pada tanggal 30 Mei, posisi saya sudah di Yogyakarta, tetapi saya tidak membawa perlengkapan untuk menetap selama sebulan sebab saya datang ke Yogyakarta hanya untuk mengerjakan salah satu tugas mata kuliah dan bermain bersama teman.
  2. Ketika surat balasan magang diberikan, saya belum memiliki kos sebagai tempat menginap.

Kontrol diri dan kecanggihan teknologi membantu saya dalam menghadapi kedua problematik tersebut. Rabu, 1 Juni 2022 pada pagi harinya, saya memutuskan untuk segera pulang ke Madiun terlebih dahulu, kampung halaman saya. Sekitar 12 jam di Madiun, saya melakukan berbagai persiapan; memotong rambut (saat itu rambut saya masih gondrong sebahu), menyiapkan berbagai keperluan sandang, dan mencari kos melalui aplikasi Mamikos.

Singkat cerita, saya berhasil mengoordinasi semua kebutuhan saya untuk menetap di Yogyakarta selama sebulan. Saya sudah memotong rambut menjadi lebih pendek ala pegawai pemerintahan, saya mengemasi berbagai jenis pakaian dalam satu koper, dan saya menemukan kos dengan harga terbaik yang dekat dengan kantor.

Pada hari yang sama, hari Rabu, saya sampai di kos pada malam hari sekitar pukul sembilan malam. Malam itu pula, saya langsung melakukan eksplorasi geografis guna mengenal dan mengetahui lingkungan sekitar saya. Sejujurnya, ada dua hal utama yang saya cari dari eksplorasi ini; tempat ibadah (masjid/musala) dan tempat makan murah.

Sebagai muslim yang dibesarkan di lingkungan yang cukup religius, kebutuhan untuk salat berjemaah di masjid menjadi salah satu prioritas saya. Begitu pula dengan makanan murah. Saya bukanlah orang yang terlalu pemilih ketika berurusan dengan makanan. Selama makanan tersebut halal, tidak basi, dan murah, saya akan memakannya dengan lahap. Urusan enak atau tidak enak adalah nomor ke sekian bagi saya.

Setidaknya ada tiga temuan penting dari hasil eksplorasi malam itu

  1. Susah mencari makanan murah di Yogyakarta. Bagi saya, makanan murah seyogianya berkisar 5–7 ribu. Di Madiun, dengan uang 5 ribu, Anda sudah bisa menikmati sebungkus nasi pecel lengkap dengan sayuran, sambal pecel, dan tempe. Sayangnya, di Yogyakarta, tampaknya cukup susah untuk menemukan makanan dengan kriteria tersebut. Sejauh ini, makanan termurah saya adalah nasi sayur gori (buah nangka muda) dengan satu tempe dan satu bakwan seharga 7 ribu. Itu pun saya temukan di kantin Biro Tapem, bukan di daerah sekitar kos saya. Temuan ini berujung pada kesimpulan saya; “yang bilang makanan Yogyakarta murah-murah, hanyalah orang-orang Jabodetabek”.
  2. Lingkungan sekitar kos saya sepertinya dapat dikategorikan sebagai slum area (daerah pinggiran yang kurang terawat). Padatnya perumahan di sekitar Kali Code, suasana jalanan yang cenderung kotor, dan adanya kamar mandi komunal bagi penduduk sekitar kali menjadi tiga indikasi bagi saya untuk menilai demikian.
  3. Untunglah saya menemukan musala di Polsek Gondomanan yang jaraknya sekitar 200 meter dari kos saya. Saya bertanya pada warga sekitar dan mendapatkan informasi bahwa musala ini memang sering digunakan sebagai tempat ibadah oleh warga sekitar serta selalu menggelar ibadah salat lima waktu.

Setelah puas mengeksplorasi, saya langsung tidur malam itu juga. Esok paginya, saya bangun untuk salat subuh dan membaca Al-Qur’an terlebih dahulu. Kemudian, langsung bergegas untuk mandi dan mempersiapkan diri. Siapa juga yang ingin terlambat dan memberikan impresi buruk pada hari pertama magangnya.

(Kamis, 2 Juni 2022) Sesampainya di kantor, kami direncakan untuk bertemu dengan Kepala Biro Tapem terlebih dulu. Namun, pada hari itu, beliau sedang tidak ada di ruangannya. Alhasil, waktu yang saya habiskan untuk menunggu beliau selama 1,5 jam terbuang sia-sia.

Akhirnya, kami berkomunikasi dengan Kepala Tata Usaha untuk menentukan penempatan kami di masing-masing bagian yang tersedia di Biro Tapem. Setelah melakukan riset kecil-kecilan berdasarkan informasi di internet dan rencana strategis Biro Tapem, saya memutuskan untuk mengambil peran di Bagian Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Admindukcapil). (NOTE: Perihal alasan saya mengambil bagian ini akan saya ceritakan dan buatkan tulisan tersendiri di kemudian hari)

Usai berkutat dengan sedikit urusan administrasi, saya langsung di antar menuju ruangan Bagian Admindukcapil. Beberapa jam pertama diisi dengan kegiatan sapa-menyapa rekan kerja satu ruangan . Rerata pegawai dalam ruangan saya merupakan pegawai senior. Yang jelas, banyak dari mereka sudah berkeluarga, memiliki 2 anak, ataupun memiliki cucu. Namun, ada pula 2–3 rekan yang masih menikmati kehidupan dengan sendiri (single).

Salah satu musabab saya menuliskan cerita ini adalah saya tidak ingin melupakan pekerjaan pertama saya di kantor, yaitu “Ngarbon”. Sebab, sebenarnya tidak banyak yang saya lakukan pada hari pertama. Namun, bagi saya, kisah dan pengalaman ini akan memiliki nilai tersendiri di kemudian hari ketika saya membacanya kembali.

Saya cukup yakin banyak dari pembaca yang tidak tahu-menahu soal “ngarbon” ini. Secara praktis, ngarbon merupakan kegiatan ketika saya diminta untuk memberikan kertas karbon pada 2–3 halaman sebuah surat agar kepala bagian dapat memberikan satu kali tanda tangan yang akan mengecap pada dua atau tiga halaman lainnya. Dengan kata lain, ada tiga kata kunci dalam kegiatan ini; kertas karbon, mengepaskan, dan menjempret.

Yap! Betul sekali! Sangat administratif dan sangat teknis. Setidaknya perlu saya akui bahwa kegiatan tersebut benar-benar merupakan kegiatan pertama saya dan pertama kali pula bagi saya mengenal istilah ngarbon.

Walaupun tidak banyak melakukan kegiatan lain di kantor, anehnya usai pulang kantor dan sampai di kos, saya merasa capek sekali. Dugaan saya; rasa tersebut merupakan akumulasi dari mobilitas yang tinggi (Yogyakarta — Madiun; Madiun — Yogyakarta), padatnya aktivitas dalam 12 jam pada hari sebelumnya, dan eksplorasi malam-malam waktu itu. Alhasil, saya sudah tertidur pulas pada pukul 19.30. Padahal, sangat tidak mungkin bagi saya untuk tidur pada jam tersebut ketika berada di rumah.

--

--