Magang Hari ke-5: Pagi Baru dan Interaksi

Achmad H. Imaduddin
3 min readJun 8, 2022

--

Ada yang spesial pada hari kelima. Normalnya, saya sangat jarang sarapan baik di rumah maupun di Yogyakarta. Atas dalih minimalisasi tulisan, saya mengurungkan niat untuk menjelaskan alasan di baliknya. Jangan salah, saya sudah mencoba menuliskannya, tetapi penjelasan tersebut ternyata memakan banyak kata. Saya coba persingkat pun sepertinya justru mengurangi konstruksi argumentasi tersebut.

Jadi, mari kita kembali pada kebaruan hari ini. Saya memulai hari ini dengan sarapan sebotol kopi dan sebungkus roti selai keju yang saya beli di supermarket. Alasan utama saya membeli kopi adalah saya merasa sedang membutuhkan asupan kafeina sebagai pelecut aktivitas hari ini (walaupun saya tahu pekerjaan kantor juga begitu-begitu saja).

Sejak saya menetap di Yogyakarta, saya belum meneguk kopi sama sekali. Sebagai orang yang tergolong kerap meminum kopi sewaktu di rumah, ada dorongan candu yang ingin saya rasakan kembali. Sebotol kopi buatan pabrik inilah yang menjadikan pagi saya cukup spesial dan berkesan.

Satu lagi yang spesial adalah saya memutuskan untuk membawa buku bacaan ketika ke kantor hari ini. Sudah empat hari di kantor, saya mengetahui bahwa saya memiliki banyak waktu luang sewaktu jam kerja (begitulah realitas anak magang). Daripada terbuang sia-sia, saya pikir waktu tersebut lebih baik saya gunakan untuk membaca.

Saya hanya membawa satu buku fisik dari rumah. Buku tersebut berjudul The Righteous Mind: Mengapa Orang-Orang Baik Terpecah Karena Politik dan Agama karya Jonathan Haidt. Jujur saja, judul buku inilah yang menjadikan saya jatuh cinta dan penasaran.

Secara kategorial, saya menilai buku ini sebagai ilmiah populer layaknya Sapiens karya Yuval Noah Harari. Apabila Sapiens berbicara soal sejarah, karya Haidt membahas perihal psikologi. Topik yang sepertinya tidak semudah orang kira.

Ketika membacanya, saya benar-benar perlu berkonsentrasi dan menelaah setiap makna dari kalimat yang dituliskan. Namun, mungkin saja, tantangan tersebub disebabkan oleh perbedaan bahasan dengan disiplin saya di perkuliahan. Meskipun menantang, buku ini benar-benar layak untuk dibaca sebagai penambah wawasan dan pengetahuan. Syukurlah, buku tersebut benar-benar saya baca ketika di kantor.

Sayangnya, siapa sangka justru pada hari kelima aktivitas saya cukup banyak. Saya merasa melakukan sesuatu yang bersifat penting hari ini. Meskipun, lagi-lagi, aktivitas tersebut adalah kegiatan teknis dan administratif.

Saya dimintai tolong oleh salah seorang Kabag untuk menuliskan capaian kegiatan selama bulan Mei. Lebih tepatnya, saya menuliskan kembali apa yang beliau tuliskan di kertas ke dalam bentuk digital. Tantangan utamanya bukanlah pada proses pengetikan laporan tetapi hambatan dalam membaca tulisan beliau. Bahkan, ketika saya bertanya apa yang beliau tuliskan, beliau juga sempat terhenti sewaktu membaca tulisannya kembali.

Kendati demikian, hambatan dan interaksi inilah yang justru membuat saya merasa menjadi bagian tim dalam kantor. Pasalnya, selain menanyakan apa yang beliau tuliskan, obrolan-obrolan informal lain juga tercipta. Salah satu obrolan yang paling sering diutarakan oleh Kabag satu ini adalah bahasa dan suara saya sangat kental akan unsur “ke-Jawa Timur-an”.

Sebab cukup jengkel sering mendengar pernyataan tersebut, saya pun menanyakan perbedaan apa yang beliau rasakan. Pasalnya, saya berpikir bahwa Jawa Timur dan Yogyakarta tidak begitu beda-beda amat dalam hal bahasa dan percakapan sehari-hari.

Sayangnya, pertanyaan tersebut tidak dijawab dengan lugas oleh beliau. Alhasil, saya tidak benar-benar tahu apa yang menurut beliau berbeda dan terkadang lucu (dalam hal baik) sehingga membuat beliau tertawa ketika mendengar saya berbicara.

Dalam percakapan keseharian, salah satu kata yang saya ingat betul kerap menimbulkan kesalahpahaman di Yogyakarta adalah kata mari. Di Jawa Timur, kata tersebut biasanya memiliki dua makna, yaitu kesudahan kegiatan dan kesembuhan. Namun, di Yogyakarta, tampaknya kata tersebut lebih sering ditafsirkan pada makna yang kedua, yaitu kesembuhan.

Beginilah contoh percakapan salah-tangkap yang pernah saya alami.

X: “Mari ngene, arep nang ndhi maneh?” (Sesudah ini, mau ke mana lagi?)

Y: “Mari? Sopo sing loro?” (Sembuh? Siapa yang sakit?)

Meskipun begitu, saya tidak pernah menggunakan kata mari ketika berbincang di kantor. Oleh karena itu, saya menanyakan kembali dengan halus dan nada candaan kepada Kabag tadi; apa yang beliau lihat berbeda antara percakapan Jawa Timur dan Yogyakarta.

Setelah membahas ke sana-ke mari, akhirnya beliau menyampaikan bahwa cengkok percakapan lah yang menjadi pembeda antara Jawa Timur dan Yogyakarta. Kalau perihal cengkok, tentunya cukup sulit bagi saya untuk mengonfirmasi ini. Namun, sebagai orang yang lahir dan besar di Jawa Timur dan sudah berbincang-bincang dengan cukup banyak orang Yogyakarta asli, saya tidak menemukan dengan pasti perbedaan keduanya.

Alhasil, saya tinggalkan rasa penasaran tersebut menggantung di udara dan kembali melanjutkan aktivitas hari ini sebagaimana sebelum-sebelumnya.

--

--