(Cerita Pendek) Lutung Kasarung dan Rumahnya

Hanna Christina Uranus
10 min readJan 19, 2023

--

https://pin.it/4PoZ1fw

Pada suatu hari, di sebuah kerajaan bernama Pasir Batang yang memiliki lahan perairan yang luas, hiduplah seorang putri bernama Purbasari. Purbasari merupakan seorang gadis yang baik hati dan bijaksana, dan merupakan anak dari Raja Prabu Tapa Agung. Walaupun berstatus sebagai putri, ia tidak pernah sungkan untuk membantu warga dalam aktivitas sehari-hari mereka, mulai dari makan di pasar, membantu warga yang menjahit, hingga membantu merawat warga yang sedang sakit. Warga Kerajaan Pasir Batang sangat menyayangi Purbasari.

Purbasari memiliki kakak perempuan yang bernama Purbararang. Sejak masa kecilnya, Purbararang selalu merasa bahwa ia paling berkuasa sebagai anak pertama. Purbararang juga merasa bahwa ia berhak mengatur segala hal. Jauh dalam lubuk hatinya, ia sangat dengki dengan perhatian yang didapatkan Purbasari dari warga Kerjaan Pasir Batang, bahkan dari Ayah-nya sendiri. Tanpa disadari, ia tumbuh menjadi seorang putri yang pemarah dan pendendam. Berbeda dengan Purbasari yang sangat lembut dan menyayangi mahluk hidup di sekitarnya, termasuk diantaranya tumbuhan. Purbasari pun kerap menanam mangrove yang diketahuinya bermanfaat untuk mencegah terjadinya abrasi di kerajaan Pasir Batang. Purbasari sangat khawatir akan resiko abrasi tersebut, dimana abrasi (disebut juga sebagai erosi) merupakan proses pengikisan pantai yang disebabkan oleh gelombang laut yang merusak. Alam bereaksi akibat terganggunya keseimbangan alam di daerah pantai tersebut. Sebabnya? Tentu saja manusia berkontribusi dalam hal ini; eksploitasi kekayaan laut, pemanasan global, pengerukan pasir..

Raja Prabu Tapa Agung mempercayakan Purbararang untuk membantu mengatur keuangan di kerajaan Pasir Batang. Purbararang pun merasa bahwa ia memerlukan lebih banyak uang untuk memuaskan dirinya di istana. Ia ingin membeli emas, berlian, pakaian mewah, dan dekorasi kamar yang mahal harganya. Semakin ia mendapatkan kekayaan materialistik, semakin pula hatinya bertambah hampa dan selalu merasa berkekurangan. Seolah-olah, tampilan luar dan dalam dirinya tidak ingin berjalan selaras.

Purbararang pun melihat bahwa lahan-lahan mangrove yang disiapkan oleh Purbasari tidak memberikan keuntungan bagi pundi-pundinya. Karena keserakahan yang semakin membara, Purbararang memberi perintah kepada pasukannya untuk mencabuti seluruh lahan mangrove di kerajaan dan mengubahnya menjadi tambak ikan. Kalau bisa menambah kekayaan Kerajaan Pasir Batang dan khususnya celengannya sendiri, mengapa tidak?

Purbasari mengetahui bahwa lahan mangrove-nya dirusak. Purbasari memutuskan untuk berbicara dari hati ke hati dengan Purbararang. Malam harinya, Purbasari pun dengan cemas mengetuk kamar Purbararang. “Aku boleh masuk ke dalam?”. Purbararang pun tidak menjawab dan hanya menatap tajam ke Purbasari. Purbasari pun menyampaikan kekhawatirannya, “Tolong, lahan mangrove yang ada jangan dienyahkan.. Mereka sangat penting dan memiliki fungsi untuk kerajaan ini. Akar-akar yang begitu tangguh membantu menjaga pantai melalui penyaringan. Hutan mangrove memiliki peran besar sebagai penyerap karbon dioksida yang membantu meringankan pemanasan global, yang bahkan ditemukan lebih efektif dibandingkan pepohonan hijau di darat. Mangrove tersebut juga merupakan rumah bagi berbagai satwa yang hidup berdampingan dengan manusia di bumi ini. Kumohon, lembutkan hatimu..”

Purbararang yang memang selalu iri dengan bagaimana Purbasari disayangi oleh rakyat pun merasa geram. “Siapakah kamu, sampai berani mengatur dan mengoreksi keputusanku?”. Purbararang berkata ketus, “Sama sekali bukan urusanmu, tuan putri kesayangan semua orang!”

Purbararang pun menghubungi tunangannya, yaitu Indrajaya. Mereka berdua memang tidak suka dengan Purbasari yang dianggap idealis dan merugikan keuangan. Purbararang dan Indrajaya pun mencari penyihir jahat yang ditakuti oleh kerajaan, yaitu Ni Ronde. Penyihir yang terlihat renta dengan rambut berantakan tersebut memiliki reputasi yang menakutkan. Semua warga yang mendengar namanya akan bergidik ngeri.

Purbararang meminta kepada Ni Ronde untuk membuat Purbasari sakit dan dibenci oleh seluruh kerajaan. Ni Ronde pun merasakan kemarahan dari Purbararang, dan merasa senang karena kebencian akan membuat dunia semakin kacau. Ni Ronde menyukai kekacauan. Ia tersenyum sangat lebar dan mengucapkan beberapa mantra, “Bim salabim… Saat ini, adikmu yang cantik jelita dan baik hati akan sakit, semua orang akan membencinya.. Sesuai permintaanmu.”

Purbararang dan Indrajaya pun kembali ke istana dengan penasaran, dan menemukan Purbasari yang bersembunyi di kamarnya. Purbararang mengetuk pintu kamar Purbasari. “Purbasari, aku mau berbicara..”

Purbasari pun menangis dan berkata dari balik pintu, “Tidak, janganlah kau temui aku dulu.. Sepertinya ada yang salah dengan diriku.”

“Ada apa?” Purbararang berkata pelan. Purbasari pun membuka pintunya sedikit dan memperlihatkan wajah dan seluruh badannya yang kini memiliki bercak hitam yang membengkak. Ia terlihat buruk rupa. Purbararang dan Indrajaya berteriak, kemudian bergegas memberitahukan kondisi Purbasari ke Ayah mereka, yaitu Raja Prabu Tapa Agung.

“Ayah, Purbasari terkutuk! Lihatlah dengan mata kepalamu sendiri!” Purbararang berteriak di lorong sehingga membuat Raja Prabu Tapa Agung dan prajurit-prajuritnya berkumpul di depan kamar Purbasari.

Raja Prabu Tapa Agung menghampiri dan melihat kondisi Purbasari yang masih ketakutan di balik pintu kamarnya. Ia sedih melihat putri yang sangat disayanginya dalam kondisi demikian. Purbararang pun terlihat khawatir dan berkata, “Nampaknya, ia menderita penyakit menular. Ia harus dikeluarkan dari kerajaan ini sebelum menularkan penyakitnya kepada warga”.

“Demi keamanan, nampaknya kamu perlu diasingkan terlebih dulu.. Paling tidak, sampai kami dapat memahami apa yang terjadi denganmu”. Dengan berat hari, Raja Prabu Tapa Agung memerintahkan prajuritnya untuk menggunakan tameng dan kostum lengkap, dan mengusir paksa Purbasari dari istana menggunakan kereta kuda dengan tingkat keamanan paling tinggi. Saat kereta kuda hendak keluar dari istana, Purbararang pun menghampiri Purbasari yang terkurung dan berbisik pelan, “Ini kutukan sebagai dampak dari idealisme dan keras kepalamu sendiri.”

Purbasari pun menyadari bahwa ada yang tidak tepat, dan Purbararang pastilah terlibat dibalik kondisinya. Sesungguhnya, Purbasari menyayangi kakaknya dan tidak pernah berniat membuatnya tersinggung. Purbararang memerintahkan kepada prajurit untuk membawa Purbasari ke salah satu lahan terasing, yang ternyata merupakan lahan mangrove yang sebelumnya telah ditanami oleh Purbasari.

Purbasari ketakutan saat ia diarahkan ke suatu tempat yang gelap dan basah, para prajurit pun bergegas meninggalkan putri yang malang itu. Hari sudah gelap dan keadaan sekitar hampir tidak bisa dilihat. Purbasari mendengar suara gerakan dari pepohonan di baliknya, dan langsung bersikap waspada. “Siapa kamu?”

“Jangan takut, tuan putri.. Aku adalah Lutung Kasarung, atau bahasa keren yang diketahui para ilmuwan adalah Trachypithecus Auratus Auratus.” Suara berat tersebut berkata kepada Purbasari.

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fid.wikipedia.org%2Fwiki%2FLutung_budeng&psig=AOvVaw1c2wcKah5QtmVmyXOpDFzx&ust=1674278886451000&source=images&cd=vfe&ved=0CBAQjRxqFwoTCOighYa11fwCFQAAAAAdAAAAABAD

Purbasari memberanikan diri mendekat, dan menemukan seekor monyet berwarna hitam yang terduduk memandanginya. “Kamu.. bisa berbicara?”

“Betul, Putri.. Untuk saat ini, mari kita mengkhawatirkan dirimu. Apa yang terjadi?”

Purbasari pun menjawab, “Nampaknya, kakakku telah termakan oleh keserakahan dan egoismenya… Ia mengusirku karena aku menentang keputusannya untuk membabat habis seluruh lahan mangrove..” Purbasari pun melihat ke sekeliling, dan menyadari bahwa ada beberapa mangrove kecil. “Ini adalah salah satu lahan mangrove yang telah kutanamkan! Bagaimana bisa hanya tersisa sedikit dan sekecil ini?”

Lutung Kasarung pun semakin mendekat, dan tertunduk sedih.. “Betul Putri, dari minggu lalu, banyak orang-orang seram yang dapat dan mencabuti pohon mangrove disini. Rumah kami… hilang. Teman-temanku juga tidak tahu kemana, mereka seperti kehilangan tempat bernaung dan kabur tidak terkendali. Sejujurnya, saat ini aku sangat lapar, tapi sudah tidak ada makanan yang tersedia juga”

Hati Purbasari terenyuh mengetahui akibat dari kebijakan yang dilakukan Purbararang, dan ia mengajak Lutung Kasarung untuk berkeliling mencari makan. Hampir semalaman mereka berjalan dan mencari sekeliling, namun tidak ada sama sekali. Selama perjalanan, Lutung Kasarung juga sesekali memanggil dan mencari teman-temannya.. “para kepiting, para moluska, burung-burung kecil, udang, kerang, keong, mamalia, buaya.. Dimanakah kalian?”

Hasilnya nihil. Tidak ada makanan maupun hewan lain yang dapat ditanyakan. Purbasari pun memberanikan hati untuk mengajak Lutung Kasarung mencari jalan lain, yaitu mencari makanan di perkebunan manusia. Nampaknya, hal tersebut merupakan opsi terakhir bagi para hewan untuk bertahan hidup. Lutung Kasarung pun langsung melompat kaget. “Putri, sebaiknya lupakan rencana ini. Beberapa temanku, yaitu keluarga burung pernah mencoba mencari makan ke perkebunan, tapi tidak pernah kembali. Manusia di perkebunan sungguh berbahaya! Mereka menganggap kami hama dan pencuri.”

“Kita perlu mencoba dulu, daripada sakit kelaparan, tidak mungkin manusia bisa setega itu?” Ujar Purbasari dengan hatinya yang berprasangka baik, sembari mencoba berjalan mencari perkebunan manusia terdekat. Mereka berjalan, dan berjalan, melewati sehamparan tanah yang kosong dan kering, dengan mangrove yang telah tercabut habis.

“Lihat Lutung, terlihat lampu-lampu kecil.. Nampaknya disitu ada perkebunan yang dapat kita coba hampiri.” Purbasari menarik tangan Lutung Kasarung, dan perlahan mereka mendekati lahan tersebut. Nampak banyak buah-buahan yang tertanam, dan tidak terlihat ada manusia. Purbasari dan Lutung Kasarung mencoba mengambil salah satu buah, namun tiba-tiba ada jaring yang mengangkat mereka berdua ke atas. Mereka telah terperangkap dalam jebakan!

Penghuni lahan tersebut bergegas keluar setelah mendengar bunyi jebakan yang cukup keras. Mereka kaget mendapati gadis buruk rupa dan seekor monyet besar. Mereka pun buru-buru menghubungi pengawal Istana untuk menangkap mereka.

Pengawal istana yang saat itu tengah berpatroli buru-buru menghampiri lokasi, dan terkejut menemukan Purbasari terperangkap bersama seekor monyet besar dan berwarna hitam. Mereka pun membawa mereka kembali ke Istana menggunakan kereta kuda tertutup.

Selama perjalanan, Purbasari memegang tangan Lutung Kasarung, dan berkata “Semua akan baik-baik saja, aku janji akan berjuang demi kamu dan teman-teman kamu di lahan mangrove. Aku akan berjuang untuk rumahmu”. Lutung Kasarung pun terenyuh karena ketulusan Purbasari, dan dalam hatinya berdoa kepada Dewa untuk membantu Purbasari.

“Putri ini sungguh tulus hati. Bantulah ia, berikan apa yang layak ia dapatkan.”

Ketulusan dan kebaikan Purbasari, didukung dengan doa dari Lutung Kasarung, ternyata berhasil membuat para Dewa tersentuh. Kebaikan hati dari Purbasari jauh lebih kuat dari kutukan yang diberikan Ni Ronde. Terang jauh lebih kuat dibandingkan dengan kutukan. Purbasari menangis saat melihat mata Lutung Kasarung yang nampak kesepian, dan air mata tersebut membuatnya bersinar bagaikan bintang. Satu per satu, borok hitam dan bengkak yang ada di wajah serta tubuh Purbasari menghilang. Purbasari terkejut sekali, namun Lutung Kasarung tersenyum karena tahu ternyata para Dewa mendengarkan doanya.

Saat sampai di istana, Raja Prabu Tapa Agung terkejut melihat Purbasari yang telah kembali cantik dan bersih, bersama dengan seekor monyet hitam. Purbararang yang mendengar kegaduhan ikut menghampiri, dan terkejut karena kutukan yang diberikan Ni Ronde telah hilang. Purbararang mengkonfrontasi Purbasari, “Kenapa kamu bisa disini? Bagaimana borokmu bisa menghilang?”

Purbararang meyakinkan Raja Prabu Tapa Agung bahwa bisa saja kondisi Purbasari saat ini jebakan dan tipuan, dan akhirnya mengajak Purbasari untuk diadili di hadapan para warga keesokan harinya. Sebuah pengadilan massal untuk menentukan nasibnya. Raja Prabu Tapa Agung dengan berat hati menyetujui permintaan Purbararang karena memikirkan keselamatan dari warga Kerajaan Pasir Batang.

Keesokan harinya, Purbararang menghadapi semua warga di pusat Kerajaan untuk menghakimi Purbasari yang berdiri di sebuah panggung kecil. Purbararang menunjuk Purbasari dengan geram. “Lihatlah, ia kemarin dikutuk, tapi saat ini ia tiba-tiba bersih? Apakah kalian tidak mencurigainya sama sekali? Jangan-jangan, ia kembali ke sini untuk mencelakai kita semua!”

Purbasari pun menjawab pelan, “Kakak dan warga sekalian, ada hal lebih penting yang perlu kusampaikan… Bagaimana nasibku sesungguhnya tidak penting, kalian boleh melakukan apa saja padaku. Tapi karena saat ini aku dapat berbicara dengan seluruh Warga Kerajaan Pasir Batang, aku ingin menyampaikan hal lain yang lebih genting. Kalian lihat Lutung ini? Ia bernama Lutung Kasarung..”

Para warga pun saling berbisik dan menatap heran. Apakah sang putri telah kehilangan akal sehatnya? Purbasari menyadari seluruh tatapan sinis yang ditujukan pada dirinya, namun memutuskan untuk terus bersuara. Cinta dan kasihnya terhadap alam semesta layak untuk diperjuangkan. “Mahluk malang ini telah kehilangan rumahnya.. Ia kehilangan teman-temannya.. Karena kebijakan pencabutan lahan mangrove untuk dijadikan tambak agar dapat menghasilkan uang dan keuntungan lebih.” Purbararang pun menjawab ketus, “Kamu rela mengorbankan keamanan dan kemakmuran Kerajaan Pasir Batang demi lutung ini? Ingat, kemarin ia masih merupakan putri terkutuk yang perlu disingkirkan!”

Purbasari terlihat gemetar, tapi terus bersuara lantang “Kalian mungkin belum memahami dan akan mengolok-olokku. Tetapi, aku tidak peduli, dan aku tidak akan berhenti memperjuangkan kepentingan Lutung Kasarung dan teman-temannya. Mereka berhak memiliki rumah dan teman aman, sama seperti kita sebagai warga di Kerajaan Pasir Batang”.

Saat Purbasari mengatakan hal tersebut, tiba-tiba Lutung Kasarung diselimuti sebuah kabut, dan menjelma menjadi seorang pangeran yang sangat tampan. Ia bermata besar, berambut tebal, dan berpostur sangat gagah. Purbasari ikut melompat kaget, namun Lutung Kasarung segera menghampirinya. “Putri.. Aku sebetulnya adalah Sanghyang Guruminda, seorang dewa di khayangan.. Aku sadar aku dulu begitu arogan dan hanya melihat seseorang dari kecantikan, kekayaan, prestasi.. Aku diberikan pelajaran oleh Ibu-ku, agar dapat menyadari pentingnya kebaikan dan ketulusan hati.. Aku dipaksa untuk menjalani kehidupan sebagai lutung di dunia ini. Saat aku bertemu denganmu, Putri yang penuh borok hitam terkutuk, namun memiliki hati yang luar bisa baik, dan mampu menerimaku apa adanya.. Nampaknya aku sudah mempelajari bagianku. Terima kasih, Putri.”

Purbararang yang melihat Lutung Kasarung pun mundur beberapa langkah.

Lutung Kasarung yang telah berubah menjadi Sanghyang Guruminda pun mencoba berdiri di sebelah Purbasari, dan berseru “Kalian telah mendengar apa yang Putri katakan. Ia sungguh-sungguh prihatin. Dan, aku telah menjalani kehidupanku sebagai lutung. Sebelum lahan mangrove dipangkas, aku dan teman-temanku baik-baik saja.. Kehidupan kami begitu bermakna dan menyenangkan. Tapi akhir-akhir ini.. Teman-temanku satu-satu mulai menghilang.. Kami kelaparan.. Dan tidak ada pilihan lain selain mencari makanan di perkebunan manusia.. Kami sadar kami salah dan mencuri.. Tapi pahamilah, kami tidak ada pilihan lain.”

“Omong kosong! Kalian berani mendengarkan penipu ini? Putri buruk rupa dan seekor monyet? Putri terkutuk ini?” Purbararang berteriak keras.

“Hentikan, Purbararang!” Raja Prabu Tapa Agung akhirnya berani bersuara. “Aku sudah memahaminya sekarang. Kamu juga kan yang mengutuk Purbasari? Aku tahu memang kamu dari dulu bertabiat buruk dan sombong, namun aku tidak menyangka kamu bisa melakukan sampai sedemikian rupa!”

Pada akhirnya, warga pun kembali menerima Purbasari di kerajaannya. Mereka semakin mengagumi sosok putri baik hati yang pemberani dan penuh belas kasihan ini. Warga menuntut agar Purbararang dipenjarakan, namun Purbasari yang pemaaf meminta agar Purbararang tidak dihukum sedemikian rupa. Sebagai gantinya, ia ingin agar Purbararang memperbaiki kesalahan yang telah ia lakukan, yakni dengan kembali menanam mangrove di lahan-lahan yang tersedia.

Purbasari dan Sanghyang Guruminda menemani Purbararang untuk menyusuri lahan mangrove yang telah ditanami. Sanghyang Guruminda pun menatap adanya gerakan dari kejauhan, dan melonjak kegirangan. “Kepiting! Burung! Lutung-lutung! Kalian kembali!”

Para hewan pun berteriak kegirangan karena lahan mangrove sedang dibangun kembali. Rumah mereka akan kembali.

Purbararang yang melihat pertemuan seluruh hewan di habitatnya pun terenyuh, dan diam-diam kembali menanam mangrove dengan perasaan senang. Purbararang mulai menyadari, bahwa mungkin ia dapat berkontribusi dan bekerja sama dengan Purbasari dalam hal perencanaan strategis dalam penamaman mangrove. Hal tersebut masih membingungkan, namun Purbararang sudah dapat membayangkan bahwa dengan kemampuan yang berbeda dari Purbasari, ia dapat berkontribusi pula dengan caranya sendiri. Purbararang juga menyadari bahwa dibandingkan dengan membuang energi untuk terus iri kepada Purbararang, lebih baik ia fokus untuk menyayangi dan memahami dirinya, serta apa yang dapat ia lakukan untuk orang-orang serta lingkungan di sekitarnya. Ia berjanji, pada waktu penanaman berikutnya, ia akan mengajak Indrajaya agar dapat melihat apa yang ia lihat, dan mempelajari apa yang telah ia pelajari.

https://pin.it/Bw6rUMe
https://www.researchgate.net/profile/Toni_Cannard/publication/324994782/figure/download/fig33/AS:631593802686513@1527595105894/Mangrove-ecosystems-showing-the-key-features-major-threats-and-management-priorities-for.png

--

--

Hanna Christina Uranus

It's me, hi. I'm a storyteller and am called to touch hearts.