Gerbang yang Terbuka

Hanyaabualan
4 min readDec 29, 2022

--

Tepat pada pukul 10 malam setelah orang tuanya berada di kamar, di rooftop indekos yang semula jadi tempat menjemur pakaian dan kini disulap jadi area nongkrong, dengan beberapa kursi kayu dan meja, Dayana mengulang ceritanya lagi pada Yugo yang ingin tahu ada apa dengan gadis itu.

Duduk berdampingan di atas kursi panjang, Dayana bercerita dengan emosi yang menggebu hingga sepasang tangannya mengepal sebagai pelampiasan lara di kalbu. Sangat berbeda jika dibandingkan saat bercerita pada Darmi tadi. Bukan berarti Yugo tidak pandai menenangkan selama jadi pendengar, hanya saja Dayana merasa lebih leluasa untuk berekspresi ketika menumpahkan segenap kata.

Yugo dengan sabar menajamkan rungu untuk jadi tempat keluh kesah setelah tadi dilakukan oleh Sadam, ikut mengerti posisi Dayana ketika dia dipandang sebelah mata oleh rekan sejawat akibat memilih resign dan ‘menganggur’ sampai sekarang. Tentu Yugo tidak ingin membandingkan situasinya, sebab yang dialami Dayana jauh lebih parah.

“Tadi Mama bilang katanya gue bukan beban,” ucap Dayana di akhir cerita. “Tapi itu nggak bikin gue tenang dan terus kepikiran. Kayak … apa yang gue lakuin dua tahun terakhir ini emang nggak ada gunanya.”

Dayana menyeka air mata yang akhirnya tumpah di depan Yugo, tanpa malu menunjukkan betapa besarnya dampak dari ucapan Inggit dan Dara tadi siang.

Yugo yang masih membisu sontak saja mengangkat tangannya, lalu mengusap pundak Dayana yang bergetar bersamaan dengan mengalirnya air mata deras. Yugo tidak berani bertindak lebih, tetapi usapan itu sudah cukup membuat Dayana merasa ditemani.

“Apa yang lo lakuin selama ini berguna banget buat semua penghuni, Day.”

Dayana yang semula menunduk perlahan mengangkat wajahnya, lalu menatap Yugo yang tidak berhenti mengusap pundak kanannya.

“Kalau nggak ada lo, belum tentu Hasan jadi rajin buang sampah ke bawah, terus Kian juga bakal terus biarin paketnya dibayarin sama satpam, bahkan gue nggak akan ingat ngasih label nama di makanan walaupun itu nggak perlu banget.” Yugo tersenyum tanpa melepaskan pandang dari Dayana yang pipinya basah oleh air mata. “Semua penghuni nyaman karena ada lo, Day. Mereka nggak canggung, tapi juga nggak semena-mena sama lo. Mereka pun betah ngekos di sini berkat lo mau rangkul semua penghuni supaya nggak ada sekat antara kalian. Mungkin lo ngerasa itu sebagai kewajiban aja, tapi kewajiban itu berguna buat semua orang di kosan. Jadi, jangan mikir lo nggak ada gunanya. Di mata kami semua, lo itu berjasa. Apalagi gue yang dibantu sampai jadi pacar.”

Air mata Dayana mereda, digantikan oleh kelapangan dada yang sebelumnya terasa berat untuk menerima kenyataan. Dijelaskan begitu membuat Dayana lebih lega, sebab orang-orang di indekos tidak memandang pekerjaannya sebagai kegiatan paling rendah. Dayana menyeka air mata di sekitar pipi, berusaha mengumpulkan kepercayaan diri lagi yang sempat runtuh akibat orang-orang sok tahu. Apa yang dikatakan Yugo dan Darmi benar, maka Dayana harus sadar bahwa yang dia lakukan sama baiknya dengan orang lain.

Thanks, Yugo,” tutur Dayana yang suaranya lebih lembut.

“Sama-sama,” balas Yugo seraya menarik tangannya dari pundak Dayana setelah dirasa tugas pemuda itu selesai.

Yugo lega dia bisa membuat Dayana merasa tenang, sekaligus menyingkirkan anggapan buruk tentang Taki yang semula mengira pacarnya sedih karena pria itu.

“Gue boleh nyender ke lo, nggak? Sebentar aja.”

Untuk sesaat Yugo membeliak sebab permintaan itu tidak dia duga sebelumnya. Yugo tergugu-gugu untuk menerima, tetapi dia tetap mengangguk sembari menyiapkan mental ketika Dayana akan berdekatan dengannya.

Setelah diberi lampu hijau, Dayana bergeser sedikit ke kanan, lalu perlahan menyandarkan kepalanya di pundak lebar Yugo yang seketika menegang berada sangat dekat dengan gadis di sampingnya. Bukan dalam keadaan terdesak dan tanpa paksaan siapa-siapa.

Sambil memandangi langit malam Ibu Kota yang makin kelabu, Dayana menikmati posisinya yang terasa nyaman. Siapa sangka Yugo yang diam saja bisa memberikan perasaan sehat ini untuknya? Yugo mungkin tidak sadar, tetapi Dayana sangat senang berada di samping pemuda yang beberapa waktu terakhir banyak menemaninya di kala indekos sepi, hingga ada rasa asing yang mulai merangkak naik dan bertransformasi menjadi keinginan untuk memiliki.

Namun, Dayana tidak mau rasa itu tumbuh agar tidak jadi harapan semu. Dayana akan biarkan layu, meski sepertinya bisa gagal setelah malam ini berakhir.

Yugo pun sama. Perasaan irasional ini menyebabkan debar jantung mereka meningkat dua kali lipat, tetapi beruntungnya masih bisa diredam agar tidak sembarang didengar. Sekuat apa pun menyingkirkan perasaan yang Yugo sadari ada, maka makin kuat pula perasaan itu merekat dalam jiwanya. Yugo awalnya tidak mau egois karena ada hati lain yang mencintai, kini ingin mencoba memiliki tanpa ada embel-embel bantuan untuk kebutuhan fiksi.

Sekarang gerbangnya sudah terbuka, ‘kan? Setidaknya Yugo satu langkah di depan Taki yang diam-diam mengintip dari pintu kaca pembatas rooftop dan area dalam.

Taki tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi dadanya tetap terbakar melihat perempuan yang sedang dia dekati mati-matian mulai nyaman bersama saingannya.

--

--

Hanyaabualan

Menulis itu sulit. Jadi jangan lupa beri apresiasi ^^ Wattpad: hanyaabualan Twitter: hanyabualan