Kucing Jalanan dan Rumahan
Universitas Garuda memiliki taman bernama Taman Membaca yang diteduhkan oleh pepohonan rindang dan dihiasi berbagai bunga, menjadi tempat paling nyaman untuk para mahasiswa membaca dan mengerjakan tugas karena taman berbentuk melingkar ini memiliki beberapa kursi sebagai fasilitas tambahan.
Taman Membaca akan ramai saat sore karena mayoritas mahasiswa pagi sudah menyelesaikan kelas dan melanjutkan tugas di perpustakaan, rumah, kafe, atau taman yang sedang Luna kunjungi sekarang. Namun, Luna datang bukan untuk tugas, ingin membaca, atau sekadar nongkrong cantik sebelum pulang. Luna datang untuk sebuah misi yang dibantu Daffa sebagai informan.
Sambil membawa tiga mangkuk plastik kecil dan dry food cat sebanyak 400 gram, Luna mencari tiga kucing yang selalu berada di Taman Membaca. Memberi makan kucing merupakan alasan, karena niat sebenarnya adalah untuk mendekati Malendra, mahasiswa Teknik Informatika sekaligus teman Daffa, laki-laki yang sering mencuri perhatian Luna sejak pertama kali melihatnya di Taman Membaca.
Menurut informasi yang diberikan Daffa, Malendra memberi makan kucing setiap selesai kelas, tepatnya pukul empat tepat. Luna datang 15 menit lebih awal, sengaja agar ada skenario di mana mereka tidak sengaja bertemu saat memberi makan. Ya, kiranya itu yang Luna rencanakan hingga dibantu doa oleh Daffa dan Isabella, berharap usaha pertamanya untuk mendekati Malendra berhasil setelah seringnya hanya memperhatikan.
Tiga kucing berwarna oranye, putih, dan hitam itu akhirnya datang ke arah Luna. Berjalan beriringan dengan santai dari jarak empat meter mendekati Taman Membaca, menimbulkan senyum lebar dari Luna yang sudah bersiap memberi makan. Pipi Luna makin mengembang ketika tiga kucing itu berlari ke arahnya, tetapi harus pudar saat ketiganya malah melewati Luna alih-alih berhenti, mereka justru mendekati orang lain yang berada di belakangnya.
Luna lantas menoleh untuk melihat siapa yang sudah mencuri atensi ketiga kucing tersebut darinya. Berniat menegur, tetapi langsung lenyap melihat sosok yang dihampiri oleh tiga kucing tadi. Luna memaku dan debar jantungnya menggila ketika laki-laki yang berlutut itu mengelus satu per satu kucing di depannya.
Laki-laki yang sempat membuat Luna penasaran dan bisa tatap muka berkat Daffa membawanya untuk ikut makan, kini kembali berada di dekatnya. Laki-laki yang sering Luna lihat dari kejauhan hingga sekarang dia tahu siapa namanya.
Malendra, hari ini mengenakan kacamata berbingkai hitam menghiasi wajahnya. Benda itu tidak ramah, sebab malah membuat Luna makin sesak napas, terlebih ketika Malendra menyadari kehadirannya dan berdiri agar mereka bisa sejajar.
Kemarin Daffa sudah memberi saran agar Luna menyapa Malendra saat mereka ‘tidak’ sengaja bertemu. Begitu terealisasi, Luna justru membisu. Dia terlalu takjub dengan pertemuan yang sungguhan tidak disengaja, sebab ini belum pukul empat, jadi Luna belum menyiapkan diri dengan baik untuk tatap muka. Namun, Luna sadar bahwa dia tidak bisa lari selain berserah diri di hadapan Malendra yang sudut bibirnya menarik senyum, seolah menyadari gadis di hadapannya ini sempat dia temui beberapa waktu lalu.
“Temennya Daffa, ya?” tanya Malendra. “Mau ngasih makan kucing?”
Luna tergugu-gugu sebab lidahnya kelu sehingga dia hanya mampu mengangguk. Well, setidaknya dia memberikan respons baik daripada hanya bergeming seperti manusia bodoh. Detik berikutnya Luna baru mengerjap beberapa kali, sadar bahwa reaksinya ini terlalu berlebihan dan bisa membuat Malendra curiga. Luna lantas ikut mengembangkan senyum, memasang topeng manis demi menyamarkan rasa gugup.
“Iya, gue sering lihat kucing di sini dan pengin gitu kasih makan.”
“Boleh join? Makanan yang gue beli ketinggalan di rumah dan baru sadar tadi. Nanti gue ganti kok makanannya.”
“Enggak usah!” Menyadari intonasinya meninggi, Luna mengoreksi dengan suara yang lebih tenang, “Enggak usah diganti. Ini bukan apa-apa, kok.”
“Oke,” balas Malendra seraya mengangguk. “Mau ngasih makan sekarang?”
“Iya.”
Pelan sekali suara Luna karena masih terhipnotis oleh kehadiran Malendra, tetapi beruntung laki-laki ini bisa mendengar jelas di antara riuhnya para mahasiswa yang mulai mendatangi Taman Membaca.
Malendra berjalan ke sisi taman agar tidak mengganggu mahasiswa lain, ajaibnya tiga kucing itu mengikutinya seolah sudah hafal dengan aroma sang pemuda. Luna mengekor dan berlutut meniru gerak-gerik Malendra yang kembali mengelus tiga kucing itu secara bergantian, kemudian menyusun tiga mangkuk kecil itu menghadap tiga kucing yang paham akan diberi makan.
Belum sempat membuka segel makanan, Malendra meraih makanan itu dengan halus dan membukanya, lalu menuangkan ke mangkuk yang langsung dilahap oleh ketiga kucingnya. Luna menganga kecil, perlakuan tiba-tiba Malendra seperti ini membuat napasnya sesak akibat terkesan dan sedikit salah tingkah. Luna memaku sejenak, sampai dia nyaris menjerit ketika merasakan elusan pada pahanya yang dilakukan oleh si kucing hitam.
Malendra tersenyum samar melihat reaksi Luna itu. “Baru pertama kali ngasih makan kucing jalanan gini, ya?”
Pertanyaan Malendra yang tepat sasaran membuat Luna tersenyum kikuk. “Iya,” jawab Luna jujur.
“Sebelumnya nggak suka kucing?” tanya Malendra lagi seraya mengusap kepala kucing hitam agar mau melanjutkan makan.
“Dulu pernah dicakar kucing, jadi agak takut. Tapi di rumah pelihara satu karena dikasih temen.”
“Berarti nggak terbiasa sama kucing liar, ya,” ujar Malendra yang berasumsi tentang keadaan Luna sekarang.
“Gitu, deh.”
Pipi Luna terasa kaku akibat cukup lama menahan senyum, takut jika senyumnya mengembang malah menimbulkan kecurigaan dari Malendra. Semua yang terjadi sekarang sesuai bayangan, hanya saja terlalu di luar prediksi. Luna yang seharusnya basa-basi malah diterkam lebih dulu oleh suara Malendra. Jelas saja itu membuat nyalinya ciut, bahkan Luna tidak mampu melirik Malendra yang dia tahu sangat menawan hari ini.
Luna takut malah jatuh pingsan karena jarak mereka sekarang begitu dekat. Malendra cukup aktif bergerak mengikuti arah kucing yang tidak bisa diam selama makan, membuat paha mereka sesekali bergesekan dan tentu saja Luna makin sulit menahan jeritan yang tertimbun di ujung lidah.
“Mau coba pegang kucingnya nggak?”
Tawaran Malendra menarik Luna lagi setelah sibuk di dunia fantasi. Dia juga baru sadar tiga kucing itu sudah menghabiskan makanannya dan sedang duduk bersisian menghadap Luna serta Malendra. Satu-satunya kucing yang berani Luna sentuh hanya kucing putihnya di rumah, Pocky. Maka tidak heran Luna sedikit gemetar mengingat tangannya pernah digigit oleh kucing jalanan dan membuat luka cukup parah saat masih kecil.
Namun, ingatan masa lalu itu memudar ketika Luna tersihir oleh Malendra yang begitu akrab dengan ketiga kucingnya. Seketika keberanian Luna bangkit, terlebih ketika Malendra memberikan pengertian dengan hati-hati.
“Kucing jalanan nggak semua biasa dipegang sama manusia. Tahu sendiri ‘kan manusia sama kucing jalanan gini nggak selalu ramah? Kalau kucingnya galak dan menghindar, itu artinya mereka lagi melindungi diri. Tapi kalau mau dielus-elus gini, berarti mereka nyaman sama lingkungan dan manusianya.”
Seolah menjadi informasi paling penting — terlebih orang yang menyampaikan — Luna manggut-manggut untuk mencerna itu semua ke dalam otaknya. Malendra mengangkat kucing oranye yang paling manja, perlahan didekatkan pada Luna agar mau menyentuhnya.
“Coba elus kepalanya. Kucing paling suka dielus di situ. Tapi ngedeketnya pelan-pelan aja supaya dia percaya sama lo.”
Luna menelan ludahnya karena gugup, sedikit lupa bahwa di sampingnya sekarang ada Malendra karena kucing oranye di depan mata membuat fokusnya terkunci. Luna lantas mengangkat tangan kanannya, hati-hati mendekat agar tidak mengejutkan si kucing yang anteng di pangkuan Malendra.
Begitu jarak sudah satu senti dan kulitnya bertemu dengan bulu tipis si kucing, Luna yang lebih santai berhasil mengelus kepala kucing itu dan menimbulkan dengkuran halus, mengartikan bahwa elusan tersebut memberikan kenyamanan untuk yang diberi.
“Iya, bener gitu. Pelan-pelan aja, dia nerima lo, kok.”
Pujian yang digaungkan Malendra makin menyihir Luna untuk terus mengelus si kucing, terlebih ketika dua kucing lain mendekat, seolah memberi tanda bahwa mereka pun ingin merasakan elusan dari orang baru.
Senyum Malendra melebar kala Luna tidak ragu lagi untuk mengelus dua kucing yang berkeliaran di dekatnya, seakan ikatan itu sudah dijalin dengan sendirinya. Malendra ikut mengelus tiga kucing itu yang sudah sangat akrab dengannya sejak lama, menyalurkan kasih sayang sebagai bukti bahwa hewan jalanan pun bisa jinak jika kita mereka mau memberi kelembutan.
Luna masih asyik bersama ketiga kucing, bahkan benar-benar melupakan Malendra yang diam-diam melirik ke arahnya. Malendra memandang Luna selayaknya kucing rumahan yang jarang mengenal dunia luar dan bisa merasakan kehidupan terbaik berkat dilayani. Begitu keluar dari kandang dan menemukan dunia baru, Luna makin terjerumus untuk bisa menjelajah lebih jauh, mencari apa itu kesenangan di luar yang gegap gempita dan penuh rayu.
Lantas saat Luna mau menatap laki-laki di hadapannya, dia anggap Malendra sebagai kucing jalanan yang pontang-panting di dunia luas, memberikan keajaiban baru yang ingin dijamah dengan bebas. Malendra bagaikan mimpi manis di antara kegelapan jalanan yang ingin Luna cicipi pahitnya.
Luna sudah berhasil menaklukan tiga kucing liar dalam waktu singkat. Kini dia ingin meluluhkan Malendra yang menurut Daffa sulit untuk dijangkau. Bila tiga kucing liar ini saja bisa tersihir oleh kelembutan manusia, bukan tidak mungkin Malendra juga terbuai oleh kehangatan Luna.