Melihat Sejarah Hukuman Mati di Indonesia: Dari Masa Kerajaan hingga Reformasi

Hapus Hukuman Mati
5 min readNov 6, 2022

--

Oleh Rizki Zakariya (Hapus Hukuman Mati Indonesia)

Praktik penjatuhan hukuman mati di Indonesia sudah ada sejak zaman dahulu. Setidaknya, sejak masa kerajaan-kerajaan di Indonesia, jauh sebelum adanya penjajahan maupun kemerdekaan.

Pada abad ke 13 dan 14, di Indonesia terdapat kerajaan yang dikenal menyatukan seluruh wilayah Nusantara, yaitu Majapahit. Kerajaan ini bukan hanya menyimpan sejarah kehidupan politik, keagamaan masyarakat Indonesia zaman dulu, melainkan juga praktik tata kelola pemerintahan, ekonomi, serta hukum yang berlaku di masyarakat.

Kutaramanawadharmacastra adalah sebuah kitab pedoman hukum pidana yang berlaku di masyarakat Majapahit. Kitab ini memuat empat bentuk pidana pokok, di antaranya hukuman mati, potong bagian tubuh yang bersalah, denda, dan ganti rugi. Bukan pada masyarakat, pidana mati yang tercatat masa itu justru dialami oleh Menteri Kerajaan Majapahit, Demung Sora. Ia dipidana mati karena membunuh Mahisa Abang. Demung Sora dijatuhi hukuman mati dengan merujuk ketentuan Astadusta, sebuah ketentuan khusus pidana yang mengatur hukuman mati bagi pelaku pembunuhan di masa itu.

Tidak cukup di situ, sejak 1500-an Indonesia dijajah oleh berbagai bangsa di dunia, seperti Portugis, Spanyol, Belanda, hingga Jepang. Era kolonialisme tersebut turut memberikan perubahan tatanan hukum di wilayah Nusantara. Secara perlahan, hukum persoalan kejahatan dan pelanggaran mulai diatur menyesuaikan dengan konsep pidana bangsa Eropa.

Perubahan hukum secara drastis makin kian terasa saat kedatangan Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC). Mulanya, VOC datang dengan tujuan memperoleh rempah-rempah dan dijual kembali ke wilayah Eropa. Seiring waktu, Pemerintah Belanda memberi wewenang kepada VOC untuk menjalankan kegiatan ekonominya di Indonesia. Wewenangnya juga termasuk monopoli perdagangan. Pada 1799, VOC mengalami kebangkrutan akibat korupsi di internal mereka. Seketika, Pemerintah Belanda mengambil alih penguasaan wilayah Indonesia dan memberlakukan Indonesia untuk menganut hukum Belanda. Kondisi politik inilah yang kemudian mempengaruhi hukum Indonesia hingga sekarang saat negaranya sudah dikatakan merdeka.

Baru tujuh tahun berkuasa, penjajahan Belanda mengalami banyak penyerangan dari negara lain. Upaya mempertahankan wilayah jajahannya dilakukan Pemerintah Belanda melalui konsolidasi aturan hukuman mati. Hukuman mati diyakini dapat membungkam perlawanan masyarakat Indonesia, utamanya dari serangan Inggris. Faktanya, pun dengan menerapkan hukuman mati, Belanda tidak mampu mempertahankan kekuasaannya. Inggris berhasil menguasai wilayah Nusantara pada abad ke 19. Namun demikian, aturan hukuman mati tetap dipertahankan oleh Inggris melalui kebijakan Gubernur Jenderal Daendels 22 April 1808.

Tiga tahun bersilam, Nusantara kembali dikuasai Belanda. Meski Belanda telah menghapus penerapan hukuman mati di negaranya pada 1870, namun sanksi ini tetap dipertahankan di Indonesia melalui Wetboek van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiaers) 1873 dan Wetboek van Strafrecht voor Indonesie (WvSI) 1918. Alasannya rasial: orang-orang Indonesia bersifat buruk, tidak bisa dipercaya, suka berbohong, dan memberikan keterangan palsu di pengadilan.

Apakah pidana mati menghilang pada kedudukan Jepang? Tentu tidak. Pidana mati digunakan untuk menunjang kepentingan kolonial menjaga wilayah jajahan dari berbagai aksi pemberontakan. Jepang mengeluarkan Osamu Gunrei №1 Tahun 1942 dan UU Istimewa Tahun 1942, yang mengatur keberlakuan undang-undang terdahulu tetap berlaku di Indonesia. Artinya, pidana penjajah kolonial Belanda yang di dalamnya memuat pidana mati tetap berlaku selama penjajahan Jepang. Secara khusus, Pemimpin Angkatan Darat ke-16, Jenderal Hitoshi Imamura, bahkan menerbitkan Peraturan Darurat Militer yang mengatur hukuman mati dan hukuman berat lainnya. Perbuatan yang dikenai hukuman mati meliputi tindakan menentang Angkatan Darat Jepang, menghancurkan tambang minyak, menghancurkan sarana komunikasi, dan melakukan tindakan yang bertentangan dengan tujuan tentara Jepang.

Merebut kemerdekaan pada 1945 jelas bukan masa yang mudah bagi Indonesia. Bangunan dasar dan pembentukan negara dengan berbagai diskursus, dinamika politik internal dan eksternal yang terkait dengan kedaulatan negara pasca perang dunia kedua disusun oleh pendahulu. Undang-Undang №1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Undang-Undang №73 Tahun 1958 jadi salah satu produk hukum di awal kemerdekaan. Kedua Undang-Undang ini menegaskan bahwa pidana Hindia-Belanda tetap berlaku di Indonesia dengan beberapa perubahan dan penghapusan beberapa pasal. Ketentuan ini juga menegaskan berakhirnya keberlakuan peraturan hukum pidana yang diterbitkan Pemerintahan Tentara Jepang di wilayah Indonesia.

Keberlakuan hukum pidana peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda tersebut akhirnya menyebabkan praktik hukuman mati sebagai salah satu pidana pokok tetap berlaku di Indonesia. Terdapat 11 perbuatan di Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) yang dikenai hukuman mati, seperti Pasal 104 mengenai makar, Pasal 111 ayat (1) dan (2) mengenai penggerakan perang, dan lain sebagainya.

Di samping pidana umum, Pemerintah pada awal kemerdekaan juga memberlakukan hukum pidana militer peninggalan kolonial Belanda melalui Undang-Undang №39 tahun 1947 tentang Menyesuaikan Hukum Pidana Tentara. Menurut pemerintah, ketentuan KUHP tidak cukup keras menghukum militer dalam keadaan tertentu, yang penting bagi pertahanan negara. Pemerintah saat itu merasa perlu ketentuan pidana khusus militer yang banyak mengatur perbuatan yang diancam pidana mati. Terdapat sebanyak 15 Pasal dalam KUHP Militer dengan ancaman pidana mati.

Memasuki era demokrasi tidak juga membuat abolisi hukuman mati terjadi. Pada demokrasi liberal, hukuman mati masih menjadi hukuman yang dikenakan untuk menghalau berbagai upaya pemisahan diri yang terjadi di banyak daerah. Pada masa ini terbit Undang-Undang Darurat №12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen,” yaitu pengaturan sementara mengenai penggunaan senjata api, amunisi, dan bahan peledak. Undang-undang ini mengatur pidana mati di dalamnya.

Sementara itu, Presiden Soekarno dalam era demokrasi terpimpin merespon situasi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastis, rusaknya perlengkapan sandang-pangan, dan berbagai praktik kejahatan bidang ekonomi menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dijatuhi hukuman mati. Adapun peraturan perundang-undangan yang diterbitkan, di antaranya Undang-Undang Darurat tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Penetapan Presiden №5 tahun 1959, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang №21 tahun 1959.

Tidak jauh dari dugaan, Orde Baru tetap mempertahankan ketentuan hukuman mati dengan alasan menjaga stabilitas politik demi mengamankan agenda pembangunan negara. Undang-Undang №11/PNPS/1963, Undang-Undang Kejahatan Penerbangan, Sarana Penerbangan, dan Tenaga Atom, seluruhnya mengatur hukuman mati. Pemerintahan Orde Baru bahkan melakukan hukuman mati di luar peradilan lewat tindakan tembak mati di tempat atau dikenal sebagai Petrus (penembak misterius).

Lagi, masa pemerintahan dan iklim demokrasi berubah, tapi hukuman mati tetap eksis. Di era reformasi aturan hukuman mati dan praktik eksekusi mati langgeng dilakukan. Masing-masing pemimpin di era ini memilih justifikasinya masing-masing. Ada yang ingin mengatasi terorisme, kejahatan pembunuhan, perdagangan ilegal narkotika, dan korupsi. Argumen yang digunakan para pemimpin serupa: banyaknya korban yang berjatuhan akibat tindakan pidana tersebut. Hukuman mati dianggap setimpal membalas perbuatan (retributive) pelaku, yang memiliki dampak besar dan merugikan banyak orang. Selain itu, hukuman mati dirasa memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibanding jenis hukuman lainnya. Hukuman mati, sekali lagi, dipercaya memiliki efek jera (deterrence effect). Pendukung hukuman mati berasumsi orang akan mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana serupa di masa mendatang karena ancamannya pidana mati. Selain itu,

Argumen-argumen tersebut jelas keliru karena dapat membawa kita tersesat dalam melihat akar masalah atau fenomena sosial. Hal ini berdampak pada sulitnya kita mengambil langkah atau intervensi yang efektif dan konstruktif. Sebaliknya, sejarah menunjukkan fakta lain: pasca ratusan tahun sejak zaman Majapahit, hukuman mati tidak pernah menunjukkan efektivitasnya dalam menyelesaikan masalah. Justru, hukuman mati acap kali digunakan sebagai alasan politis. Apakah kita masih butuh ratusan tahun lagi untuk menyadari hal ini?

Rujukan:

Dedy Afrianto. Hukum Pidana Era Majapahit: Dari Menebang Pohon hingga Korupsi Menteri. Kompas.id, 20 Juni 2021. Diakses 10 Oktober 2022. https://www.kompas.id/baca/riset/2021/06/20/hukum-pidana-era-majapahit-dari-menebang-pohon-hingga-korupsi-menteri.

Supriyadi Widodo Eddyono. Politik Kebijakan Hukuman di Indonesia dari Masa ke Masa (Jakarta: Institute for Criminal Jutice Reform, 2017).

--

--