Satu Gelas Berdua

𝒏𝒂,
3 min readMar 19, 2023

--

Jonathan kembali turun ke lantai tempat Aruna bekerja setelah mengganti pakainnya. Dia membuka pintu sambil membawa segelas kopi. Sedangkan Aruna sedang sibuk merapikan beberapa berkas yang selesai difotokopi.

Jonathan menarik pergelangan tangan Aruna yang hendak mengambil kertas. “Kamu makan dulu, biar saya yang rapiin.”

“Om gimana?”

“Tadi udah pas nunggu kamu siap-siap,” jawab Jonathan. Dia mengusap peluh di dahi Aruna. “Capek ya?”

“Dikit, hehehe. Aku makan dulu, deh.”

“Iya, sana makan. Kalau mau kopi minum dari gelas saya aja. Tadi mau buat dua tapi takut kamu kurang suka rasanya.”

Aruna menahan senyuman dan salah tingkahnya. Minum satu gelas berdua? Sejak kapan mereka sampai pada tingkatan itu.

Jangan-jangan Jonathan salah bicara.

Atau semua ini hanya mimpi?

Tidak mungkin.

Astaga!

Aruna tadi melihat Jonathan minum dari gelas itu dan sekarang dia diijinkan minum dari sana?

“Makan. Keburu temen-temen kamu dateng, saya jadi nggak bisa temenin kamu sarapan.” Lelaki itu menegur Aruna yang masih berdiri diam dengan tangan memegang segelas kopi.

“Eh, iya-iya ini aku mau makan.”

Sarapan Aruna hari itu sempurna. Dia duduk di meja kerjanya, menikmati hasil masakan Jonathan dan pemandangan keren di depan sana. Jonathan sedang mengatur beberapa lembar kertas agar terkumpul menjadi satu.

Lelaki itu berdiri menjulang dengan badan atletisnya. Rambutnya tertata rapi, menunjukkan dahi indah yang mengundang untuk dikecup. Bibirnya mengatup rapat, membuat Aruna tiba-tiba rindu senyum manis Jonathan.

“Ini udah semua. Kamu ada lagi yang perlu dikerjain?”

Aruna menelan kunyahan terakhirnya. “Kayaknya udah. Makasih ya, Ganteng!”

Jonathan tersenyum tipis, kemudian menghampiri meja Aruna. Dia menarik kursi entah milik siapa agar bisa ikut duduk di sisi wanita yang tengah menatapnya penuh pujaan.

“Kalau makan yang rapi,” katanya. Lembut sekali Jonathan mengusap sudut bibir Aruna yang terkena noda saus.

“Enak nggak kopinya?”

“Enak, kok.” Aruna menjawab cepat-cepat. Padahal dia belum mencicipinya. Sebab Aruna tidak mau ciuman pertama mereka hanya lewat segelas kopi.

“Itu alat tulisnya diatur yang bener. Astaga folder kamu berantakan, ya.” Jonathan memajukan kursinya ke meja kerja. Dia merapikan peralatan milik Aruna, tidak lupa mengatur tampilan komputer agar lebih nyaman dilihat.

“Biarin aja. Aku males beresinnya. Nanti kalo udah nggak banyak kerjaan baru aku beresin.”

“Kamu nggak mau ke ruangan saya? Masih ada setengah jam sebelum jam masuk kantor.”

“Enggak. Aku takut ntar ketemu bos-bos penting. Aku tuh debu di sini.” Aruna merengek sebal. “Jangan diajakin yang enggak-enggak dong.”

“Iya-iya, nggak saya ajakin ke sana. Jadi saya temenin di sini aja?”

“Iya di sini aja.”

Mereka akhirnya mengobrol tentang tempat makan yang enak, baju keluaran terbaru dari merk kesukaan Aruna, dan terakhir rencana liburan berdua. Itu semua mengalir selama setengah jam. Jonathan hampir mengutuk jam tangannya yang menunjukkan pukul 07.30.

Dia ingin lebih lama lagi berada di sana.

Jonathan suka melihat Aruna duduk di kursi kerja dengan setelan rok cokelat muda selutut dan kemeja putih yang pas di badan.

Cantik dan manis.

Rambutnya juga sering jatuh ke depan saat wanita itu menunduk.

Tangan Jonathan terulur, menyelipkan rambut Aruna ke belakang telinga. Bersamaan dengan itu dia menyentuh pipi Aruna yang terasa lembut dan hangat.

“Kamu cantik banget hari ini,” pujinya tanpa basa-basi.

Aruna tersenyum lebar.

Jonathan sesaat menahan napas. Demi Tuhan, dia ingin segera melamar Aruna.

“Om juga ganteng, tiap hari ganteng sih. Jadi aku bingung harus gimana mujinya. Kan kita tuh — ”

Jonathan buru-buru berdiri ketika melirik jam.

“Selamat kerja. Semoga hari ini nggak terlalu capek. Nanti makan siangnya saya pesenin.”

Jonathan meraih tangan kanan Aruna lalu memberikan kecupan singkat. “Jangan lupa pulang sama saya.”

Lelaki itu berjalan cepat keluar ruangan. Tidak lama setelah itu Diana dan Varel datang. Hanya tiga menit berselang.

“Aruna, lo kenapa ngelamun? Udah belum kerjaannya?” Diana menatap curiga pada Aruna. “Kok bau parfum cowok?”

“Gua cowok.” Varel menyahut dengan malas. Tapi dia lebih dulu menangkap keberadaan gelas kopi di meja Aruna. Itu bukan gelas kopi untuk karyawan biasa seperti mereka. Jelas tidak berasal dari lantai tempat mereka bekerja.

--

--