tw // major character death

The condition of our earth after you left

unspoken thoughts ˚☽˚.⋆
9 min readJun 26, 2023

--

We’re in our 7 years together. Udah hampir lebih dari 12 tahun kita kenal satu sama lain. We both growing up together, i love those words. I love the fact that me and Anais were together since both of us are so little. Dari belajar pecahan pertama kali sampai belajar bayar pajak sendiri. Nggak ada yang beda, gue dan Anais masih sama. Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun, lina tahun, enam tahun, tujuh tahun pacaran tetap sama, sayangnya gue ke Anais nggak pernah berubah. Yang beda dari perayaan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini, dirayain nggak sama Anais. Mungkin dia juga ngerayain tanpa sepengetahuan gue. I will finish the story that we made since Anais couldn’t do it even if she want to.

2027

Hari itu, Ale jemput Anais di mall deket rumahnya. Mereka nggak ada niat ngapa-ngapain, cuman jemput Anais sudah menjadi suatu rutinitas dalam kehidupan sehari-hari Ale sekarang. Yang berbeda adalah Ale nggak perlu buat beribu alasan dusta untuk bertemunya, sekarang, tidak butuh alasan apapun untuk sekedar melihat muka Anais secara langsung setidaknya sehari sekali. Anais masuk ke mobil Ale sambil tersenyum singkat, minuman yang tadi ia beli masih ia pegang erat-erat. “Kamu mau cobain, nggak? Ini baru buka tau cafenya,” tanya Anais. Ale menoleh lalu mengangguk, mengambil minuman yang ada di tangan kanan Anais. “Mulai.. ribet sendiri.” Anais tertawa kikuk dan menaruh tasnya di belakang.

“Aku besok check up ke dokter. Kamu kapan lagi?” tanyanya

“Belum tau, aku bareng sama Adric juga,” jawab Ale. Kemudian Anais mengangguk dan menyandarkan kepalanya, Anais melepas sepatunya, jadi, sekarang yang tersisa untuk membalut kedua kaki itu hanya kaos kaki berwarna abu tanpa motif. “Aku agak ngeri juga sih, dari minggu kemarin waktu kamu ada acara ke Bandung, inget, nggak?” tanya Anais, Ale mengangguk dan masih tetap fokus pada jalanan Jakarta yang hari itu tidak terlalu macet. “Mimisan terus, jadi, aku tadinya mau nunggu sama kamu, tapi, karena keburu begitu aku buat janji aja besok, sama ibun juga kok ke rumah sakitnya,” Ale mengusap kepala Anais, posisinya sekarang sedang menghadap ke arah Ale sambil melipat kakinya. “Aku besok nggak bisa izin lagi. Nggak apa-apa kalau aku nggak nemenin?” Anais mengangguk.

“Terus, kamu tuh kalau kaya gitu, bilang ke aku, Ai. Mimisan udah sesering itu tapi nggak kabarin aku sama sekali,” kata Ale.

“Maaf, deh, abis kan kamu lagi sibuk banget. Aku nggak mau kamu jadi keganggu karena aku ceritain, nanti kalau jadinya kepikiran aku malah jadi nggak enak akunya,” jelas Anais. Padahal, sudah lebih dari seribu kali Ale peringatkan kalau ada sesuatu yang terjadi pada dirinya Anais harus buru-buru ngehubungin Ale. Dari dulu, kesehatan Anais memang harus diberi perhatian lebih, cewek itu kalau sudah terlalu lelah akan mudah mimisan. Biasanya, kalau Anais lelah mimisan akan terjadi sekali selama sebulan, namun setelah mendengar cerita Anais tadi, Ale jadi lebih khawatir akarena hal itu terjadi lebih dari dua kali dalam seminggu. “Berat badan aku juga turun banyak banget, aku nggak lagi diet padahal,” Ale memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dan menatap dalam-dalam ke arah Anais.

“Besok periksa, terus kabarin aku, ya?” Anais mengangguk. “Jangan jadi kepikiran ya, Le. Aku cuman kecapekan aja, kok. Nothing more,”

***

Waktu itu, Anais bilang dia nggak akan kenapa napa, dia bilang Ale nggak perlu mikirin itu semua, tapi sekaran Anais dan Ale ada disini di parkiran rumah sakit untuk terapi radiasi yang bertujuan untuk membunuh sel leukimia yang ada di dalam tubuh Anais untuk pertama kalinya. Anais hari ini nggak bawa banyak barang, Ale udah memberi peringatan kepada gadis itu buat nggak usah bawa terlalu banyak barang. “Aku nggak sabar mau terapi, supaya cepet-cepet sembuh terus kita jadi liburan ke Disneyland Tokyo, kamu udah janji!” Ale mengangguk antusias, “Harus sembuh, dong. Aku temenin, ya. Yuk kita turun,” nggak ada yang berubah waktu Ale tau Anais terkena penyakit itu, walaupun semakin hari banyak khawatirnya Ale yang selalu Anais respon dengan kekehan dan kata-kata menenangkan seperti memberi tahu bahwa Anais nggak merasakan apa-apa. Nggak sakit juga.

Anais harus bolak balik ke rumah sakit setiap hari, Ale sengaja memberikan rumah sakit yang dekat dengan apartemennya supaya Anais bisa tinggal disitu berjaga-jaga kalau sesuatu terjadi, karena Ale juga sekarang lebih sering pulang ke rumah, pelan-pelan hubungannya membaik dengan kedua orang tuanya, Ale nggak punya alasan kenaapa harus terus lari dari mereka berdua, jadi cowok itu memutuskan untuk pulang dan tidur di rumah walau isi rumah itu hanya ada Adric, supir, dan pembantunya. Sebenarnya Ale sedih karena Anais jadi lebih sering meragukan kecantikannya sekarang, setiap Ale puji pasti cewek itu akan marah.

“Kamu tau nggak? di endingnya, Rapunzel juga potong rambut, kan?” Anais mengangguk dan memeluk Ale erat-erat. “Kamu cantik banget sih, Ai.” Hanya itu yang keluar dari Ale sebelum ia membalas pelukkan kekasihnya.

Bulan-bulan berikutnya Anais menjauh dari Ale, cewek itu jadi jarang menanggapi pesan Ale, Anais juga sudah tidak pernah berangkat dari apartemennya kalau mau periksa ke rumah sakit. Setiap Ale tanya kenapa, Anais cuman terkekeh. Ada satu waktu setiap mereka bertemu Anais pasti mengenalkan Ale kepada salah satu teman kerjanya yang ia anggap baik dan cocok dengan cowok itu. “Kalau aku nggak ada, kamu mau nggak sama Noura, cantik kan dia? Baik lagi,” Ale menghembuskan nafasnya kasar sambil memasang jepit untuk menahan poni Anais. “Aku kan udah sama kamu, Anais.”

“Kalau aku nggak ada, Aleandra.”

“Aku maunya kamu ada.”

Dokter sudah bilang kalau Anais bisa saja menyerah sekarang ketika periksa terakhirnya, Ale dan Anais sekarang lagi nonton film di ruang keluarga rumah Anais. Ale menoleh ke arah gadis yang ada di sampingnya, masih fokus dengan televisi, Anais sesekali tertawa melihat adegan lucu, Anais tidak lagi sesering itu memakai riasan, tapi masih tetap cantik di mata Ale. Anais selalu mendekati kata sempurna kalau dilihat dari sudut pandang Ale, sampai sekarang. Ale mengambil tangan Anais menggenggamnya erat-erat seakan menahan agar kekasihnya tidak pergi, hari itu Ale biarkan semua kecemasannya pecah menjadi butiran air mata yang keluar dan membasahi pipinya, Anais yang menyadari itu kemudian mendekatkan dirinya, menaruh kepalanya di pundak Ale, tangan satunya mengelus punggung tangan Ale yang melaksanakan tugas untuk menggenggam tangan Anais. “Aku nggak apa-apa, Ale. Aku udah janji sama kamu, kan?” tanya Anais. Bukannya menjawab cowok itu malah semakin sesegukkan, Anais tidak berniat untuk melarang Ale menangis, Anais biarkan Ale meluapkan seluruh emosi, sedih, dan khawatirnya secara bersamaan.

“Aku nggak bisa kalau kamu nggak disini, aku nggak apa-apa, Ai, kalau kamu mau putusin aku, kalau kamu nggak mau lagi sama aku, asal nggak pergi dari sini, asal kamu masih bisa kepandang sama mata aku,” kata Ale. Ini bukan berat untuk Ale saja, untuk Anais ini juga jauh lebih berat, melihat orang-orang yang dekat dengannya sedih, baru kemarin Cecil datang dan menangis tersedu sedu memohon supaya Anais tidak menyerah terlebih dahulu, baru minggu kemarin Jemima pulang dari Bali dan menangis sambil memeluk Anais. It hurts for her too. Anais nggak bisa berbuat apa-apa lagi, kalau jadi bikin sedih semua orang setiap ngeliat dia, lebih baik Anais nyerah dengan semuanya detik itu juga. Jadi, mereka nggak perlu nangis lagi. “Ale, hidup kamu bisa lebih dari sekedar aku, jangan berharap apa-apa dari aku, ya?”

Anais mau Ale bisa ngerasain apa yang sahabat-sahabatnya rasain, mikirin masa depan sama pacarnya, kaya Raja dan Jemima yang sekarang udah tunangan, Anais mau Ale bisa ngerasain kaya apa yang Saga rasain, jalan-jalan keliling dunia sama keluarga besar dan pacarnya, Kaira. Setiap Anais bilang begitu, Ale pasti akan lebih marah dan bilang kalau dia nggak mau ngerasain itu semua kalau bukan sama Anais. Anais nggak mau kalau dunia milik Ale hanya berputar pada Anais, seolah-olah gadis itu adalah porosnya. Ale sekarang tidur di sofa, Ibunnya sudah menyuruh Anais untuk tidur dengan cepat malam ini. Ternyata, Anais baru bisa merasakkan belaian hangat dari orang tuanya ketika ia sakit, Anais suka terpikirkan akan hal itu dan memilih untuk sakit selamanya kalau itu berarti ia akan mendapat kecupan di dahi sebelum tidur, pelukkan hangat begitu sampai di rumah, suapan nasi setiap makan malam dari ibunnya. Kalau sakit berarti ibunnya akan lebih memperhatikan gadis itu, maka Anais akan terus memutuskan untuk sakit selamanya.

Hari demi hari berlalu, Anais berusaha untuk memejamkan matanya, ia baru saja tidur di kamar rumah sakit karena harus menjalani rawat inap. Ale belum bisa datang malam ini tapi dia sudah berjanji akan mengajak Anais makan malam, jadi, sekarang Anais ditemani oleh ibunnya. “Bun, Ai mau minum..” dengan cepat wanita paruh baya itu memberikan minum kepada putri kecilnya. “Ai, sembuh, ya? Ibun minta maaf kalau sakit ini karena Ibun selalu neken Anais buat jadi apa yang Ibun mau,” katanya. Anais menoleh kemudian menggelengkan kepalanya, “Anais nggak apa-apa, Ibun. Sakit juga bukan karena Ibun, kok. Anais sakit karena kurang jaga kesehatan aja, jangan minta maaf lagi ya, nanti aku sedih,” kata Anais.

“Ibun selalu bangga sama kamu, Ibun cuman nggak tau gimana cara ngungkapinnya, sayang. Anais tau, kan? Apapun yang Anais lakuin selalu cukup, bahkan lebih dari cukup untuk Ibun. Anais selalu lebih hebat dari siapapun dari anak manapun, Ibun selalu bangga sama Ai. Karena Anais hebat, Ibun minta satu hal lagi boleh?” Anais menganggukan kepalanya. “Anais harus janji kalau Anais pasti sembuh dan main lagi kaya biasanya, ya?” Anais menggeser posisi duduknya dan memeluk Ibunya erat-erat. “Anais sayang ibun,” mau sebesar apapun Anais sekarang gadis itu akan selalu menjadi Anais kecil yang suka merengek setiap melihat toko mainan yang penuh dengan nuansa pink.

Keesokan malamnya Ale datang dengan banyak makanan kesukaan Anais, jadi gadis itu terkekeh begitu melihat kekasihnya datang dengan banyak sekali tentengan, biasanya Ale paling jarang memberi izin Anais makan makanan junk food tapi khusus untuk malam ini Ale membiakannya. Ale duduk di depan Anais, sekarang keduanya sedang menikmati makanan yang sudah Anais jarang makan itu. “Inget ngga waktu SD kita pernah beli MCD terus ketauan sama mama,” Anais mengangguk dan terkekeh mengingat masa kecil mereka. Anais menatap dalam-dalam wajah Ale yang selalu ia bilang mirip dengan Flynn Rider tokoh kesukaannya. Malam itu hanya dipenuhi oleh tawa sambil mereka mengingat akan masa kecilnya. “Kalau dipikir dulu aku sok ganteng banget dah,” kata Ale. “Emang, baru tau, ya?” cowok itu terkekeh mendengar respon Anais.

Setelah selesai makan Ale duduk di kursi samping kasur Anais yang memang disediakan untuk mereka yang menunggu pasien, “Kamu seneng nggak malam ini?” Anais mengangguk antusias, membiarkan tangannya dipegang oleh Ale. Jari jemari lentik Anais dimainkan oleh Ale, “Seneng, makasih, yaa!” jawab Anais kemudian ia menepuk nepuk pucuk kepala Ale. Anais menarik nafasnya dalam-dalam, “Ale, kalau aku merasa ini semua sakit dan sia-sia, aku boleh nggak nyerah aja?” cowok itu tertegun, Ale sama sekali tidak pernah mempersiapkan jawaban dari pertanyaan yang baru saja Anais berikan kepadanya. “Sakit banget, ya?” Anais mengangguk sebagai jawaban. “Kalau aku nurutin kata hati aku yang egois, aku pasti suruh kamu tahan sakitnya dan sabar lebih lama lagi. Tapi, bukan aku yang ngerasain. Sesusah apapun aku berusaha buat pahamin rasa sakit kamu, aku pasti nggak akan paham,” jelas Ale. “Kamu harus janji kalau kamu bakalan baik-baik aja walau nggak ada aku, ya?”

“Ale, aku sayang banget sama kamu. Aku kepikiran buat nyerah bukan karena aku nggak mau lagi sama kamu, aku juga mau sama kamu buat waktu yang lama, bikin rumah yang isinya kamu, aku, sama Miyu. Tapi, aku kesakitan, Le. Aku sakit banget, nggak kuat,” kata Anais. Kemudian tangis Ale pecah lagi disusul dengan Anais yang ikut mengalirkan air matanya, “If another universe is truly exist, i will come to you again, i will hold your hands again, and stay by your side longer than this time. I’m sorry i couldn’t keep my promise to do so many things with you, Ale. But what we have was more than enough for me. At least in this lifetime,”

“You will forever be my lifeline, Aleandra. I love you, till death do us part,”

Paginya ruangan itu heboh, para dokter dan suster yang biasa menangani Anais berlomba-lomba untuk menyelamatkan nyawa itu. Ale hanya fokus melihat ke arah Anais yang sudah sangat pucat, Ibunnya menggenggam tangan Ale dengan erat, Ale berhadapan dengan fakta bahwa Anais yang lebih dulu meninggalkannya, Aleandra yang lebih dulu harus melepaskannya. Mata cowok itu membengkak karena semalaman menangis. Kini, tidak akan ada lagi Anais si Kucing Galak yang akan dengana sangat tegas marah kalau Ale mengalahkannya. Kalau tau akan terjadi seperti ini, Anais dulu yang pergi, Ale pasti akan lebih banyak mengalah supaya Anais lebih banyak merasakan berada di posisi pertama.

Ale tidak mendengarkan perkataan Anais untuk hidup dengan baik sesudah tidak ada lagi dirinya di bumi, Ale membiarkan air matanya lagi-lagi membasahi pipinya, Ale menutup kuping ketika dokter mengumumkan waktu kepergian Anais. Untuk kali ini, biarkan Ale dan mereka yang bersedih atas kepergian Anais berduka, entah sampai kapan. Karena yang Ale pahami, duka tidak memiliki ujung sampai mereka dipertemukan lagi. Dan satu hal yang akan selalu Ale ingat, sampai akhirnya, sampai hembusan nafas Anais yang terakhir, gadis itu selalu menjadi milik Ale begitupun sebaliknya. Meskipun terkubur juga harapan Ale untuk melakukan banyak hal baru dengan Anais, tapi apa yang ia katakan semalam itu benar, apa yang mereka miliki sejak pertemuan pertama mereka di sekolah dasar, bersaing menjadi pemenang, saling mencintai sampai sekarang semua itu sudah lebih cukup kalau Ale bisa rela atas kepergian Anais, sayangnya Ale belum bisa rela.

--

--