The Rainy Night

𝙘𝙖𝙖
3 min readJul 6, 2024

--

“Sate taichan mau nggak, Sayang?”

Merasakan embusan angin malam yang kian menusuk pori-pori, Zea mengeratkan jaket kulitnya di boncengan belakang. Ia mendongak sebentar ketika merasakan setetes air jatuh mengenai pipinya.

“Sayang?” Galen memanggil lagi. “Dingin banget? Mau pake jaket aku juga, nggak?” tawarnya setelah melihat Zea yang tampak kedinginan lewat kaca spion.

“Hujan, deh, kayaknya. Sate taichan yang langganan kamu itu, kan?”

“Iya, atau kamu pengen makan yang lain?”

“Itu aja nggak apa-apa, Kak. Nggak jauh banget soalnya,” ujar Zea seraya mengusap bulir-bulir air yang terus menetes di wajah dan telapak tangannya. Menyadari cuaca malam ini tidak mendukung ia dan Galen berkeliling sembari mencari makan malam, sepertinya dimana pun tak masalah.

“Sayang, ini hujannya makin deras. Kamu neduh dulu mau?”

“Boleh, Kak. Itu ada kios di depan.”

Galen mengangguk. Lalu memutar gasnya untuk melaju lebih cepat ke kios yang dimaksud. Beberapa pengendara lain tampak sudah menepi lebih dulu. Sementara Galen berhenti di sisi depan kios untuk menurunkan Zea agar dapat berteduh di sana.

“Lah, kamu nggak turun?”

“Beli taichan dulu. Kamu tunggu di sini bentar, ya?”

“LOH?! NGGAK BOLEH! MASA HUJAN-HUJANAN SENDIRI?!” Zea menarik paksa lengan kekasihnya agar segera turun dari motor. “Kak! Kamu nggak turun, aku marah, ya?!”

“Iya, Sayang. Turun ini, turun. Jangan ditarik dulu, mau parkir susah.”

Zea mundur satu langkah. Namun, matanya masih menyorot tajam ke arah lelaki yang sedang memarkirkan motornya bersama dengan kendaraan para peneduh yang lain.

“Padahal kena hujan dikit aku nggak bakal jadi duyung,” gerutu Galen setelah mengambil posisi di sebelah Zea.

“Nanti sakit.”

“Harusnya aku yang bilang gitu. Ini udah jam sembilan, kamu belum makan malem. Tadi aku masakin nggak mau. Hujan gini, gimana mau cari makan coba?”

Zea mengusap hidungnya, bingung mau mengelak dengan jawaban apa. Sudah dua hari ini, Bunda menginap di rumah Oma. Bahan-bahan untuk memasak masakan sederhana memang sudah disediakan Bunda. Namun malam ini, rasanya Zea kurang berselera.

“Kena ciprat, ya?”

Zea menggeleng sebagai jawaban. Menebak apa yang akan dilakukan Galen selanjutnya, ia segera menahan pergelangan lelaki itu. “Pake aja jaketnya.”

“Kamu belum makan. Nanti masuk angin gimana? Pake aja. Aku tahan dingin, kok.”

Belum sempat Zea membantah lagi, jaket hitam itu sudah menempel di tubuhnya. Alhasil, tubuh Zea dibalut dua lapis jaket sekarang. Ia menghela napas panjang ketika melihat Galen diam-diam mengepalkan tangannya. Dengan angin sekencang ini, mustahil lelaki itu tidak merasa kedinginan.

Zea melepaskan lagi jaket Galen yang membalut tubuhnya. Lalu, menyampirkan jaket tersebut di bahu sang empunya. Ia mengulurkan tangan perlahan, meraih jari-jari yang sedari tadi mengepal itu untuk ia genggam.

Dengan kasih sayang yang ia terima begitu besarnya seperti ini, bagaimana mungkin ia menyerah menghadapi Galen dan tingkahnya yang kadang melebihi anak kecil?

“Nggak dingin?”

Zea menggeleng dengan senyumnya. “Aku pegang tangan kamu aja. Nggak dingin lagi, kok.”

Bahkan jika diberi kesempatan untuk mengulang waktu, Zea sama sekali tidak berniat untuk mencoba hubungan pertamanya dengan siapapun kecuali Galen. Untuk segala jenis drama dalam hubungan mereka, Zea juga tidak ingin menggantinya dengan momen apapun. Setiap detik yang sudah mereka lewati terlalu berharga. Selama itu dengan Galen, Zea merasa baik-baik saja.

“Sayang,” panggil Galen seraya menggenggam jemari Zea dengan dua telapak tangannya.

“Hm?”

“Aku cuma mau bilang. Kalau udah nyaman sama orang, aku bisa jadi clingy banget. Kadang aku nggak sadar, tapi reaksiku alami muncul kayak gitu.”

Zea mengangguk dalam diamnya. Tanpa Galen mengatakannya pun, ia sudah melihat sisi yang berbeda dari Galen dibandingkan dengan sebelum mereka berpacaran.

“Aku bilang dari sekarang, supaya kamu nggak kaget aja ke depannya. Kalau kamu capek, boleh banget kok bilang ke aku. Biar sadar juga akunya. Tapi, kalau aku nggak sadar juga, pukul aja ya, Sayang. Atau dicubit juga nggak apa-apa, walaupun cubitan kamu lumayan juga.”

Zea terkekeh. “Serius banget ngomongnya.”

“Asal jangan ditinggal.”

Mendengar itu, Zea diam seketika.

“Selagi masalahnya masih bisa diomongin baik-baik kayak tadi, kita bareng-bareng terus, ya?”

Zea masih terpaku. Netranya menatap lurus wajah yang tampak menunduk di sebelahnya itu. Tak berapa lama, ia terkekeh pelan. “Kalau aku nggak mau?” candanya kemudian.

Galen menoleh, lantas ikut terkekeh. “Nggak apa-apa, sih. Aku punya seribu satu cara supaya kamu tetep di sisiku. Sekarang baru satu, masih ada seribu lagi kalau kamu mau tau.”

“Ditunggu seribunya, Bapak Galenio.”

“Dengan senang hati, Ibu Zea-ku.”

--

--

No responses yet