Kebahagiaan Semu Pekerja Remote

Hendra Setiawan
3 min readMar 18, 2019

--

Jika kita bekerja sebagai freelancer atau pekerja remote, maka secara otomatis kita akan menjadi bos bagi diri kita sendiri. Kita harus cerdik dalam mengatur waktu. Kita harus tau persis kapan harus bekerja, kapan harus istirahat, kapan harus olahraga, kapan harus beribadah, kapan untuk keluarga dan seterusnya.

Ada banyak variable yang harus dipenuhi. Jika kita tidak bisa menjaga keseimbangan dari seluruh variable yang sudah saya sebutkan tadi, maka tunggulah kehancuran.

Kehancuran ini saya sebut sebagai kebahagiaan semu para pekerja remote.

1. Benarkah Kerja Remote = Kebebasan?

Selama ini, kerja remote selalu digambarkan sebagai simbol kebebasan. Para pekerja remote — katanya — bebas untuk bekerja kapan saja dan dimana saja. Kebebasan ini juga menjadi salah satu faktor yang paling menggiurkan bagi para pekerja kantoran. Mereka yang sudah tidak tahan dengan aturan ketat kantor, sangat menginginkan sebuah kebebasan. Tapi apakah para pekerja remote benar-benar sebebas itu?

Setelah hampir 4 tahun menjadi full time remote worker, ada beberapa poin penting yang saya pelajari terkait dengan kebebasan.

Bebas atau tidaknya seorang pekerja remote, sangat erat kaitannya dengan kemampuan membagi waktu. Jika kita gagal membagi waktu, maka kebebasan itu hanya angan-angan semata. Saya sendiri sudah jatuh bangun dengan masalah ini.

Ketika saya terlalu banyak menunda-nunda sebuah pekerjaan, maka ujung-ujungnya saya kewalahan sendiri. Bukannya bebas yang saya rasakan, saya justru merasa seperti tawanan. Siapa yang salah? Tentunya bukan klien, tapi saya sendiri karena saya dan klien sudah menyepakati tenggang waktu pengerjaan sebuah proyek, namun karena saya berleha-leha di awal, akhirnya saya kewalahan sendiri di akhir dan rasanya benar-benar seperti tawanan.

Jadi, apakah seorang pekerja remote itu bebas? Jawabannya tergantung dari kedisiplinan diri masing-masing.

2. Libur di Hari Kerja, Kerja di Hari Libur

Bagi sebagian pekerja remote, liburan tidak harus di hari libur. Jika mereka bisa mengelola waktunya dengan baik, maka mereka bisa liburan sesuka hati.

Bagaimana dengan mereka yang gagal mengelola waktu? Bukannya bisa liburan sesuka hati, mereka justru harus bekerja di hari libur. Tak jelas perbedaan antara tanggal hitam dan tanggal merah. Mereka yang gagal mengelola waktu seringkali harus bekerja di akhir pekan, bahkan harus lembur setiap malam demi mengejar deadline.

Selain faktor gagal mengelola waktu, libur nasional juga seringkali menjadi kendala. Mengapa? Karena ketika di kalender Indonesia tanggal merah, misal seperti tanggal 17 Agustus, di Australia, US, UK, dan negara-negara lainnya tentu tidak libur seperti di Indonesia. Maka di kondisi seperti ini terkadang para pekerja remote juga harus rela tetap bekerja demi menjaga professionalisme.

3. Kerja Remote Bergaji Dollar = Auto Tajir

Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas para pekerja remote bergaji Dollar. Tapi hal itu tidak menjamin ketajiran mereka. Tak jarang, saat sepi order, saldo PayPal mereka hanya terisi $10 atau bahkan $0.

Tapi kembali lagi, itu semua tergantung dari kegigihan, kerja keras, kedisiplinan dan kekuatan doa dari para pekerja remote itu sendiri.

Jika kerjaannya hanya mengeluh, melow dan penuh drama, maka jangan harap bisa hidup mapan.

Kesimpulan

Intinya, kerja remote memang menyenangkan, tapi kerja remote tak selamanya indah. Semua tergantung dari pribadi kita masing-masing.

Untuk para pekerja kantoran yang ingin bekerja remote tapi selama ini kerjanya cuma main game, berleha-leha, malas-malasan, sering bolos, debat politik di socmed, maka saya sarankan untuk tidak bekerja remote — karena pekerjaan ini bukan untuk Anda.

Jika dipaksakan, saya khawatir hanya kebahagiaan semu yang didapat.

--

--