Menghadapi Trauma di Malam Hari

Hendy Eka Putra
5 min readFeb 3, 2023

--

Menapaki Trauma
Photo by Adam Śmigielski on Unsplash

Tulisan kali ini, akan membahas sedikit apa yang kurasakan ketika menghadapi trauma.

Betul. Dan sampai sekarang masih membekas, karena berkaitan dengan perjalanan di malam hari.

Jika kuingat kembali, sepertinya selama seminggu sebelumnya cuaca di Yogyakarta sangat tak menentu. Terkadang seharian bisa sangat terik, besoknya bisa hujan lebat, besoknya kembali panas begitu seterusnya.

Di hari aku mendapatkan trauma itu, aku sedang menunggu hujan reda. Memang hari itu kebetulan hujan turun dari 16.30an hingga menjelang Isya’.

Sebelum waktu sholat Magrib, aku berharap semoga setelah Magrib hujan reda dan aku bisa menerobos hujan reda itu. Kebetulan juga saat hari itu cuaca sangat tidak jelas…

Hujan lebat, kemudian reda untuk beberapa saat, lalu kembali deras, dan reda kembali.

Ya sudah sembari menunggu, aku ikut menonton film yang di putar oleh rekan kerjaku diruangannya. Tentu saja aku masih berharap

“Lekaslah reda… Aku rindu kasurku…”

Tapi sampai terdengar adzan Isya’ pun tak terlihat tanda-tanda hujan reda. Aku pun bergumam dalam hati

“Sepertinya aku harus menunggu sampai jam 20.00, reda tidak reda nanti diterobos saja hujannya”

Mendekati jam 20.00 hujan sudah memperlihatkan tanda-tanda reda aku pun mencoba melihat kondisi diluar untuk memastikannya.

Alhamdulilah akhirnya reda, walaupun gerimis”

Akhirnya aku pun merencanakan untuk mampir ke Warung Makan Indomie (Warmindo) dekat kantorku untuk mengisi perut.

Setelah pamitan dengan rekan kerja yang masih menyelesaikan menonton filmnya, aku pun segera menuju ke Warmindo itu dengan menerobos gerimis. Baru saja aku menurunkan standar motor, tiba-tiba hujan kembali turun dengan lebatnya.

Aku pun cuma bisa tersenyum dan bersyukur sudah sampai di Warmindo tanpa harus mengeluarkan jas hujan.

Lalu ku pesan Magelangan dan air putih untuk menjawab panggilan perutku. Sampai aku menyelesaikan makan, hujan masih turun dengan lebat. Aku pun berpikir untuk menunggu sedikit lebih lama sebelum pulang dan kembali berharap agar hujan reda kembali.

Tak lama kemudian hujan pun reda, aku pun buru-buru untuk segera membayar dan persiapan untuk perjalanan pulang.

Dengan memakai jas hujan aku kembali mengecek apakah ada yang tertinggal di Warmindo atau tidak.

“Bismillah kuberangkat pulang”

Melalui jalur yang seperti biasanya kulewati baik aku pun membawa dengan sedikit terburu-buru, karena aku memikirkan kemungkinan hujan akan kembali deras. Aku pun melewati genangan air yang sudah menutup jalan dan memaksa semua kendaraan yang melalui daerah itu untuk memelankan kecepatannya.

Seingatku ada dua genangan air yang cukup besar di rute perjalanan pulangku saat itu.

Tak berapa lama kemudian saat melewati daerah Jogja Expo Center (JEC), hujan pun kembali deras.

“Kan… “

Kombinasi yang tak enak…

Malam hari dan hujan deras…

Saat itu aku sudah merasa kurang sreg di jalan. Tapi anehnya aku malah semakin memacu kecepatan motorku. Mendekati Jembatan Janti, aku menyalakan lampu sen kanan untuk berpindah jalur. Karena sepanjang perempatan JEC hingga Jembatan Janti memiliki dua jalur, yakni jalur lambat dan jalur cepat. Nantinya pembatas kedua jalur ini akan habis beberapa ratus meter sebelum Jembatan Janti.

Di sepanjang jalur lambat itu, genangan air sudah menutupi lebih dari setengah badan jalan di bagian kiri pertanda lebatnya hujan di hari itu. Akhirnya aku pun merapat ke kanan mendekati pembatas jalur.

Aku pun melihat kalau pembatas jalur itu sudah tidak ada, berarti ini sudah di Jembatan Janti. Dengan santai aku melewatinya

Ilustrasi penglihatan hujan di malam hari (Photo by Sven Schlager on Unsplash)

BRAK!!!

“ALLAHUAKBAR!!!!”

Aku terlempar ke depan dari motorku, ke arah pembatas jalur lambat dan cepat tadi…

Ternyata aku menabrak ujung pembatas jalur…

Pembatas jalurnya belum habis…

Aku salah perhitungan…

Alhamdulillah saat itu juga tidak ada kendaraan apapun di belakangku persis, sehingga tidak terjadi hal yang lebih buruk.

Saat itupun aku tak sampai pingsan, hanya kesakitan dan kebingungan…

Aku pun ditolong oleh orang-orang di sekitar sana karena sesaat setelah menabrak, aku duduk di pembatas jalur itu, sambil meringis kesakitan. Aku pun tak tahu kondisi motorku saat itu bagaimana…

“Semoga kerusakannya tidak parah”

Ternyata realita tidak sesuai dengan ekspektasi, kerusakan yang dialami motorku cukup parah…

Velg ban depan pecah…

Bootstep dan persneling kaki patah…

Berarti perkiraan ku saat itu motor sedang melaju diantara kecepatan 50–60 km/h…

Melihat kondisi motor yang seperti itu aku pun memastikan kondisi badanku sendiri…

Alhamdulillah ternyata hanya lecet, memar, dan ngilu

Kejadian inilah yang menciptakan rasa trauma berkendara di malam hari ditengah hujan.

Aku baru menyadarinya ketika beberapa minggu kemudian.

Hari itu turun hujan dari sore, aku menunggu hujan reda sampai menjelang Isya’. Selama menunggu itu, langsung terbayang

“Ini bakal hujan seperti tempo hari lagi ga ya?”

“Apa kuterobos seperti kemarin?”

“Apa aku nebeng saja pulangnya?”

Menunggu dengan gelisah sambil memikirkan memori saat tabrakan beberapa waktu silam. Overthinking.

Akhirnya aku mencoba menguatkan diri untuk menerobos hujan kecil.

Aku pun meraih jas hujanku dan bersiap memacu motor sambil terus menguatkan diri bahwa aku bisa melewati rute itu.

Kupacu motorku saat itu dengan kecepatan pelan, melewati jalur pulang seperti biasanya. Hingga tiba di dekat JEC, jantungku semakin berdebar. Karena teringat momen saat aku menabrak pembatas jalan…

Lalu teringat pula…

Helm, jas hujan, dan sendal yang kupakai saat itu adalah perlengkapan yang sama persis seperti saat aku menabrak pembatas jalan…

Dan pas sekali saat itu aku pulang di malam hari dan sedang hujan, walaupun hujannya sudah reda.

Perlahan tapi pasti aku hampir sampai di tempat aku menabrak…

Jantung semakin berdebar keras…

Keringat dingin…

Otot-otot di sekitar pundak hingga lengan pun menegang…

Kalimat istighfar selalu terucap mendekati tempat itu…

Aku juga merasakan saat itu aku sudah kurang stabil membawa motor, karena rasa trauma itu datang dengan kuat apalagi mendekati tempat tabrakan itu…

“ALHAMDULILAH!!!”

Pekikku dalam hati setelah melewati tempat itu dengan baik-baik saja. Perasaan lega setelah melewati tempat itu sukar dilukiskan.

Yang kuingat hanya rasa syukur karena “berhasil melewati” trauma di tempat itu. Apalagi dengan situasi dan perlengkapan yang hampir sama…

Sampai saat tulisan ini dibuat pun kalau melewati tempat itu apalagi di kondisi hujan, aku selalu memelankan kecepatan motorku.

Aku juga yakin jika trauma ini akan terus kuhadapi dan memerlukan waktu yang tak sebentar untuk “sembuh”.

--

--

Hendy Eka Putra

You will read a small part of my overthinking thoughts also what I read and studied