The first evidence that led me to you

Nesha.
5 min readSep 29, 2023

--

Ghea's point of view

The day Ghea started to accept her feelings

Enteng banget tu orang ngomong suka-sukaan, pikirku di angkot siang hari itu soal omongan Elia.

Aku mengangkat kepala dan tepat di hadapanku, tersenyum mengangkat kedua alis, orang yang lagi menuh-menuhin kepalaku belakangan ini. Setelan kaos hitam dibalut outer black denim jacket-nya itu udah gak asing di mataku saking seringnya dipakai.

Bukannya aku merhatiin dia loh ya. Semua orang pasti sadar kalau jaket itu selalu melekat padanya setiap saat seperti biasa. Sampai tiap kali aku lihat black denim jacket di pinggir jalan, di mall, di pasar baru, atau dimana pun aku liat benda yang umum dimiliki itu pasti ingetnya ke Gilang.

“Kenapa?”

Matanya berbinar bahkan di dalam suasana sumpek dan gerahnya angkutan kota jurusan stasiun ini. Lagi-lagi bikin aku bertanya-tanya, kira-kira apa yang ada di kepalanya sampai selalu kelihatan secerah itu setiap saat.

“Udah mau nyampe.” Aku menunjuk papan nama kedai ramen di depan lampu merah.

Aku merogoh saku, mencari uang lima ribuan sisa kembalian beli nasi uduk tadi pagi. Entah cukup atau tidak karena menurut Gilang, ongkos angkutan kota sekarang naik lagi di tengah ramainya demand ojek online.

“Kiri, mang!” ucap Gilang dengan tegas dan karismanya sampai si angkot menurut, menurunkan kami tidak jauh dari zebra cross.

Dia berdiri di jendela depan, memberikan selembar uang dua puluh ribu dan memgambil kembalian sebelum angkot itu jalan lagi.

Aku menyodorkan uang lima ribuku yang udah kulipat sekali. Gilang cuma menatap tanganku. “Udah, Ghe.”

“Eh, ini ongkos!”

“Udah, udah dibayar tadi,” ujarnya santai, memasukkan dompet itu kembali ke sakunya.

Aku sih seneng-seneng aja ya. Lumayan uang gocengnya bisa dipakai jajan roti kukus di kantin fakultas besok kalau laper.

Aku dan Vania mengikuti Gilang masuk ke kedai kecil yang menempel dengan salah satu studio foto terkenal.

Gilang tanya aku dan Vania mau duduk di dalam atau di luar. Aku jawab di dalam tapi dekat jendela supaya terang tapi gak terlalu sumpek, karena kalau di luar suka banyak orang merokok. Akhirnya di tengah restoran yang mulai ramai, kami bertiga dapat meja pojokan yang bahkan belum sempat dibereskan saking hecticnya.

“Weh santai aja kali. Emangnya lagi rapat,” ujarnya geli melihat kami berdua gak ada yang ngomong duluan.

“Judulnya kan ngomongin dekor, urusan serius itu,” jawabku sambil mengelap meja yang baru dibersihkan sekali lagi dengan tisu basah.

“Ah gampang urusan dekor mah. Gue dah megang blueprint-nya tinggal ngejelasin ulang aja.”

“Terus ngapain ngeramen segala?” tanyaku penasaran.

“Ga ngapa-ngapain. Lagi pengen aja.” Gilang melihat ke sekitar. “Bentar ya,” ucapnya sebelum meninggalkan meja.

Aku sadar Vania belum mengucapkan sepatah kata pun sejak kami bertiga berangkat dari kampus. Aku lirik ke sebelah, wajahnya murung menatap kedua tangannya yang menyatu di bawah meja. Aku taruh satu tanganku di lengannya dan bertanya, “Kenapa? Sakit?”

“Ah… Enggak.”

“Agak pucet, Van. Ga sarapan lagi ya?” Aku tempelkan punggung tanganku ke dahinya, panas. “Eh serius gapapa?”

“Lagi ada sesuatu aja… Banyak pikiran,” ujarnya lemas.

“Mau cerita?”

Vania menggeleng. “Nanti aja.”

Aku tatap dia kasihan. Aku hargai dan turuti keputusannya untuk gak cerita dengan gak tanya-tanya lebih jauh tentang apa yang sedang mengganggu pikirannya.

Gak lama kemudian, Gilang kembali membawa tiga gelas teh ocha dari refill station.

“Sori nunggu lama, ngantri euy ambil minumnya.” Gilang mengeluarkan laptop dari tas ranselnya. “Tar gue buka canvanya dulu ya.”

Kemudian Gilang mulai menjelaskan dari A-Z rencana dekor yang diusulkan oleh tim PDD setelah ditagih berminggu-minggu. Tidak lupa dia memberi kami arahan apa saja yang harus disiapkan dari segi logistik maupun teknis memasang dekorasi.

Walaupun kalau boleh jujur, penjelasan panjang itu tidak bisa sepenuhnya aku perhatikan.

Aku membuang sepuluh menit pertama mencoba untuk tidak terdistraksi dengan ukiran wajahnya yang begitu nyaman dipandang. Ekspresi wajahnya tidak pernah murung, selalu cerah, membawa rasa tenang, atau mungkin aku cuma seneng aja lihat orang ganteng.

Apapun alasannya, sulit bagiku untuk tidak kembali curi pandang alih-alih fokus ke slide canva di layar laptop. Mata kami sesekali bertemu, dan baru kali ini aku sadar binar matanya bisa memerangkap dan menarikku begitu dalam.

Ah, lebay. Gak biasanya aku begini.

“Buat nyari barangnya, gue udah koordinasiin ke si Ajun sama Rehan juga. Jadi ntar mereka yang bantu koordinir kemana aja nyarinya. Bisa bagi-bagi tim juga biar cepet.” Jarinya menekan tombol spasi sampai meteka tiba di slide terakhir. “Ada yang mau ditanyain?”

Pengen nanya, kamu beneran suka Vania?

Aku menertawakan pertanyaan konyol yang cuma berani aku lontarkan dalam hati itu sebelum menggeleng sebagai respon.

Vania, sebaliknya, mulai buka suara. “Sori… Gue balik duluan boleh?”

“Eh kenapa Van? Ga enak badan?”

“Ada urusan keluarga.”

“Yaudah kita sekalian cabut kalo gitu. Beres Ghea makan tapi ya?”

Aku menunduk, sedikit terkejut Gilang menyadari mangkok ramenku masih belum setengahnya habis.

“Gue dijemput ayah, kok.” Vania menunjukkan notifikasi telepon masuk di layar ponselnya. “Duluan ya?”

“Hati-hati, Van.” Aku tersenyum tipis, menepuk-nepuk punggungnya pelan, berharap bisa memberinya sedikit kekuatan menghadapi apapun yang dialaminya saat ini.

“Gue anter keluar.”

“Gausah, ntar ditanya-tanya.”

Gilang terdiam, membiarkan Vania meninggalkan kami berdua di meja pojokan itu.

Aku gak tau harus bereaksi gimana. Di satu sisi hatiku sakit melihat partner kerjaku under pressure, sebelum realita lain menampar bahwa saat ini aku lagi berduaan sama Gilang. Aku gak mau jadi orang egois, sementara logikaku tiba-tiba gak bisa jalan.

So I just let my heart decide what it wants to feel.

“Gimana perasaannya, Ghe?”

Aku terbelalak.

“Hah?”

“Di logistik.” Gilang mengambil Ebi Furai yang baru saja tiba dengan sumpitnya ke piringku. “Masih betah kan?” lanjutnya, melontarkan senyum lebih manis dari martabak coklat susu keju yang kalau dikonsumsi kebanyakan bisa bikin diabetes.

Mungkin…. Selama koordinatornya Gilang aku bakal terus betah.

Sisa siang hari itu aku habiskan berkeluh kesah soal kepanitiaan. Yang sebenarnya cuma gimmick sekadar mengulur waktu supaya aku bisa ngobrol lebih lama. Maaf aku sita waktunya, Lang. Kadang kesempatan gak datang dua kali.

“Kalau ada yang susah atau bingung atau mau cuma cerita mah, langsung kasih tau aja. Gue santai kok gapernah sibuk.”

Reassurance. Aku gak sadar seberapa berartinya kata-kata yang dilontarkannya itu buatku, apalagi Gilang.

Segala hal yang dibilang Elia ada benernya, kebaikan Gilang bikin aku ingin terus-terusan bersamanya. Mungkin karena keberadaannya bikin beban yang aku pikul terasa lebih ringan. Atau mungkin aku emang beneran suka sama dia, entahlah.

--

--