English
In some cases, the attempt to represent architecture failed because its weakness to pass the limit of imagination. Its limitation leads the diagram to be interpreted into the un-designated explanation. An approach that used to surpass its limitation is by constructing the abstraction as a design approach. Abstraction is used to represent an object that cannot be depicted directly, so the interpreted abstract will leads to a deeper meaning than any general understanding.
Abstraction is not designed by interpreting any object in real life. Abstraction occurred as a way of presenting critical memory, which is a memory that appears through its reflective or contemplative (through contemplating) qualities. To show its abstraction, one of the architects that apply abstraction as his design method is Peter Eisenman through his provocative work, Memorial to the Murdered Jews (2005). His work succeeded to win against 19 submissions because of his most abstract work compared to the entire submissions. The question then, why did Eisenman choose the abstraction over some more realistic depiction of the abject suffering of the victims?
Memorial to the Murdered Jews is an area that used to recall the Holocaust event and its victim in 1933–1945. It is located in the centre of Berlin which in 1963–1989 the Berlin Wall built to separate between East Berlin and West Berlin. The north is blocked by Brandenburg Gate and Unter den Linden, while the south is blocked by Potsdamer Platz, which is the business centre in Berlin before the Berlin Wall occupied the city. When the site is occupied by Nazi, is used as a command centre for the National Socialist Party which used in Holocaust. Therefore, the site has a strong relationship with its history and its connection to a gloomy memory that snatch lots of victim at that time.
Memorial to the Murdered Jews which portrayed through the abstraction is described as follows.
In terms of form, Memorial to the Murdered Jews is consist of 2.711 set of blocks (referred to as stelae) made of concrete, arranged along the site but different between each block. The height between each block is different ranging from 0.4 m up to 4 m. Each block also has a different inclination. Even the entire blocks have no connection to the Holocaust incident. The number (2.711 set of blocks) is not referred to a specific date, a number of victims, or other number related to the Holocaust incident.
In terms of the program, Memorial to the Murdered Jews is designed without any program or function. It is not used as a cemetery area (there are no bodies inside the blocks), a worship area, even a museum that explains the Holocaust incident. The placement of each beam solely appears as a way of remembering the incident without any reference that triggers the mindset of its users.
Another interesting thing is that the memorial has no details or information that is able to explain the event of the Holocaust. Neither the information of victims who died from the incident.
“The world is too full of information and here is a place without information. That is what I wanted. … but as an architect you win some and you lose some.”
Until finally, many criticized that an information centre was needed which was then built under the memorial area (underground area).
When looking at the area through its surface, the building seems to have no correlation with the incident except for its location which is strong with Holocaust incident. However, the attempt of abstraction forces us to look beyond through what is seen, so the attempt then described as an approach that Eisenman used in his work.
Abstraction tends to focus in form and structure rather than realistic which in context and subject matter.
There are several modes that he did in abstracting the Holocaust.
Repetition — Repetition takes away our focus from the object. Its randomness and limitless objects are about to invite us to think deeply and let us walk with no clear route or place to go.
Temporality — Temporality is a way that architecture has to be performed. It tends to focus on the present (texture, light, shadows, and ground), not a constructed history from the past.
Grid — Grid is the anti-natural, systematic, calibrated, and highly constructed. There are two grids seen in the memorial, first is the ground and second is in the surface of the block. These two grids connect each other and become blocks.
Ground — Ground is made by disturbing the surface of it. There is sliding or undulation in the ground to make a strong feeling acoustically and visually.
Name and archive — No name of victims is listed in the memorial because lots of victims are still unknown. Not putting name is a way to tell that there is not much space to tell or understand the incident in a realistic way.
Is the choice of abstraction just a vague refusal to represent what could be represented realistically?
Abstraction appears to be nonsense because of their presence without any references, that it looks so random with no meaning at all. But basically, abstraction tries to push the audiences to think further, which is forcing them to think beyond the probability that the real object can describe.
Abstraction is another way of explaining object because realistic representation would fix or stabilize the image of the victim’s condition which cannot be fully represented in a real way. Its representation would only falsify the actual horror. Rather than abstraction which is inviting or requiring the subject in active living memory. It also can be said that the audience’s mindset will be only be limited to just know, rather than trying to understand and feel what the incident really happened.
Bahasa
Dalam beberapa kasus, upaya representasi dalam arsitektur menjadi gagal dikarenakan kelemahannya untuk melewati batasan dari imajinasi. Keterbatasan tersebut menyebabkan diagram yang seharusnya dibentuk tidak dapat tergambar sesuai makna yang diinginkan. Oleh karenanya, solusi yang digunakan untuk melewati keterbatasan tersebut ialah dengan menciptakan abstraksi sebagai metode desain. Abstraksi merupakan metode untuk menampilkan objek yang tidak mampu digambarkan secara langsung, sehingga penjiwaaan dari ruang abstrak ialah makna yang lebih mendalam dari penggabaran pada umumnya.
Abstraksi tidak dibentuk dengan menginterpretasikan sesuatu yang ada pada kehidupan nyata. Abstraksi hadir sebagai cara untuk menampilkan critical memory, yakni sebuah memori yang muncul melalui sifatnya yang reflektif ataupun kontemplatif (melalui perenungan). Untuk menunjukkan hal tersebut, salah satu arsitek yang mencoba menampilkan abstraksi sebagai metode desainnya ialah Peter Eisenman melalui karyanya Memorial to the Murdered Jews (2005). Karya tersebut berhasil memenangkan kompetisi melawan 18 peserta lainnya oleh karena karyanya merupakan karya yang paling abstrak diantara keseluruhan peserta. Pertanyaannya ialah apa yang menyebabkan abtraksi menjadi suatu hal yang menarik hingga memenangkan kompetisi tersebut?
Memorial to the Murdered Jews merupakan sebuah kawasan yang digunakan untuk mengenang korban yahudi yang menjadi korban Holocaust pada tahun 1933–1945. Terletak tepat di pusat Berlin yang mana pada tahun 1963–1989 dibangun Berlin Wall yang memisahkan antara Berlin timur dan Berlin Barat. Sisi utara dibatasi oleh Brandenburg Gate dan juga Unter den Linden, sedangkan pada sisi selatan dibatasi oleh Potsdamer Platz, yakni pusat komersil di Berlin sebelum dibangunnya Berlin Wall. Lokasi site sendiri pada saat okupasi Nazi, digunakan sebagai pusat komando bagi National Socialist Party yang mana digunakan pada Holocaust. Oleh karenanya, lokasi site cukup kuat dengan sejarah dan keterkaitannya pada memori kelam yang merenggut banyak korban pada saat itu.
Memorial to the Murdered Jews digambarkan melalui abstraksi yang dijabarkan sebagai berikut.
Dari segi bentuk, Memorial to the Murdered Jews terdiri dari 2.711 kumpulan blok balok (disebut sebagai stelae) berbahan dasar beton, tersusun sepanjang area site namun berbeda antar tiap baloknya. Yang menjadi pembedanya ialah ketinggian antar balok yang berkisar antara ukuran 0.4 m hingga mencapai 4 m. Selain itu antar balok memiliki kemiringan yang juga berbeda. Keseluruhan blok balok tidak memiliki kaitan pada kejadian Holocaust. Angka tersebut bukan mengacu pada tanggal tertentu, jumlah korban, ataupun angka lainnya yang berhubungan dengan kejadian Holocaust.
Dari segi program ruang, memorial dibentuk tanpa adanya program ruang. Ia tidak difungsikan sebagai area pemakaman (tidak terdapat jasad didalamnya), tidak juga digunakan sebagai area peribadatan, begitu pula sebagai museum yang menjelaskan kejadian Holocaust. Peletakan blok balok semata-mata hadir sebagai upaya mengingat kejadian tersebut, tanpa mengacu pada aktivitas yang mampu memicu pola pikir penggunanya.
Hal lainnya yang menjadi menarik ialah memorial tidak memiliki keterangan ataupun informasi yang mampu menjelaskan kejadian pada Holocaust. Tidak pula ditemukan informasi korban yang meninggal akibat kejadian tersebut.
“The world is too full of information and here is a place without information. That is what I wanted. … but as an architect you win some and you lose some.”
Hingga akhirnya banyak yang mengkritik bahwa diperlukan suatu pusat informasi yang kemudian area tersebut dibangun dibawah balok-balok memorial (underground area).
Ketika melihat kawasan tersebut melalui kacamata luar, maka bangunan seakan tidak ada korelasinya dengan kejadian tersebut kecuali lokasinya yang kuat akan kejadian Holocaust. Namun, upaya abstraksi memaksa kita untuk melihat lebih dalam dari yang terlihat, maka usaha tersebut kemudian dijabarkan sebagai metode Eisenman dalam menggunakan abstraksi sebagai perancangan desainnya.
Is the choice of abstraction just a vague refusal to represent what could be represented realistically?
Abstraksi tampak sebagai suatu bualan atas hal yang tidak dipertanggungjawabkan karena kehadirannya tanpa refernsi apapun, bagi orang awam akan terlihat random ataupun tidak bermakna sama sekali. Namun pada dasarnya, abstraksi mencoba untuk menekan pengguna/ penonton untuk berpikir lebih jauh, yakni memaksa mereka untuk berpikir melewati posibilitas yang mampu digambarkan oleh objek nyata.
Pemaknaan secara abstrak dipilih karena pemaknaan secara abstrak akan mengajak pengguna untuk ikut berfikir/merenung atas makna yang coba untuk disampaikan. Sedangkan pemaknaan area secara realitis hanya akan memberikan gambaran yang fixed, atau dapat disampaikan bahwa pemaknaan akan berhenti pada titik itu saja. Dapat dikatakan juga bahwa pola pikir pengguna akan terbatas pada mengetahui, dibandingkan pada mencoba memahami dan merasakan apa yang sebenarnya terjadi.
