Cukup Sudah Budaya Kekerasan di Pondok Pesantren

Hifzha Aulia Azka
3 min readMar 6, 2024

--

Budaya kekerasan di pondok pesantren kembali menelan korban. Bintang Balqis Maulana, Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanafiyyah, Kediri, Jawa Timur, tewas setelah mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh kakak kelasnya secara intens dan brutal. Setelah membaca berita kematian Bintang, saya teringat bahwa saya pernah menjadi korban kekerasan di ponpes.

Mengingat kembali masa kegelapan saat di ponpes, badan saya seketika ngilu. Awal mula saya mengenal budaya kekerasan di ponpes terjadi sewaktu saya baru saja menginjakkan kaki di tempat yang katanya aman dan tenteram itu. Saya menjadi saksi atas tindakan brutal kakak kelas terhadap teman saya. Setiap tengah malam, dada teman saya dipukul keras. Akibatnya, teman saya mengaku sesak napas dan sempat dilarikan ke klinik ponpes.

Saya melaporkan kelakukan si kakak kelas ke pihak ponpes. Namun, masalah ini tidak pernah diselesaikan secara serius oleh mereka. Justru saya dirundung ketakutan setelah melapor. Teman-teman si kakak kelas mendatangi saya secara bergerombolan menanyakan mengapa saya sampai melapor. Pertanyaan-pertanyaan intimidatif lainnya datang bersusulan setiap hari. Saya mengalami trauma, dan akhirnya memutuskan pulang ke rumah untuk setidaknya rehat dari perundungan keji.

Sekembalinya ke ponpes, suara pukulan keras memburu saya setiap waktu. Saya tidak fokus belajar, menunggu dengan cemas akan ada tindak kekerasan seperti apa yang harus saya lihat pada malam hari. Saya juga khawatir apakah saya akan menjadi korban kekerasan selanjutnya. Ponpes layaknya hutan. Kita harus menjadi yang terkuat jika tidak ingin diterjang.

Betul saja. Saya merasakan kekerasan dari kakak kelas. Paha saya dihantam benda tumpul berkali-kali hingga membiru. Tak hanya itu, saya ditendang hingga terhempas dan punggung saya menabrak lemari. Dan itu dilakukan oleh si kakak kelas bajingan beberapa kali. Punggung saya nyeri, begitu pula dengan paha saya. Saya berjalan pincang selama tiga hari.

Penyebab utama terjadinya kekerasan di ponpes adalah senioritas. Para senior diberikan amanah oleh ponpes untuk menjaga “keamanan” asrama. Mereka akhirnya bertindak semena-mena atas nama keamanan. Jika si adik kelas melanggar aturan, misalnya, tidak menjaga kebersihan, tidak melakukan salat jemaah, atau hal paling remeh, tidak menunduk ketika berjalan di depan si senior, mereka akan ditampar, ditonjok, dipukul dengan benda tumpul hingga diterjang.

Bak terjebak di dalam labirin, budaya senioritas ini tak akan pernah berakhir. Teman-teman saya yang dahulu menjadi korban kekerasan, setelah dinobatkan sebagai “kakak kelas”, mereka beralih menjadi pelaku kekerasan. Tapi, posisi saya jelas. Saya menentang keras perundungan dan kekerasan. Saya tak sudi berada dalam gerbong yang sama dengan pelaku kekerasan.

Selain itu, para ustaz di ponpes juga kerap kali menggunakan kekerasan untuk membikin jera para santrinuya. Saya ditampar dengan keras oleh salah satu ustaz dikarenakan saya telat menghadiri upacara. Dengan mata melotot, si ustaz tampaknya menikmati proses penghukuman itu. Kekerasan menjadi bahasa utama di ponpes.

Sebenarnya negara telah berupaya untuk mencegah terjadinya kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan, salah satunya ponpes, dengan merumuskan Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2014 tentang Sekolah Ramah Anak serta Peraturan Menteri Pendidikam, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Sayangnya, banyak lembaga pendidikan yang belum menerapkan dua peraturan tersebut. Dalam Permen PPPA tentang Sekolah Ramah Anak menyebutkan bahwa lembaga pendidikan harus membuat kebijakan anti-kekerasan yang dibuat bersama oleh pendidik, peserta didik, dan pihak lain yang terlibat dalam pendidikan anak.

Dalam kebijakan itu juga lembaga pendidikan harus melarang segala bentuk kekerasan, seperti perundungan, larangan pemberian hukuman fisik, dan pemberian hukuman yang menyebabkan psikis peserta didik menjadi terganggu.

Sebelum saya mengenyam pendidikan di ponpes, saya membayangkan ketika hidup di ponpes akan tenang, aman, dan tenteram. Ponpes, dalam pikiran saya, sudah pasti berpegang teguh kepada Alquran dan Hadis. Kedua sumber ajaran Islam tersebut tidak mengajarkan kekerasan kepada sesama manusia. Misalnya saja dalam Surat Al-Maidah ayat 32, yang berbunyi: “Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.”

Selamat jalan, Bintang. Kami akan terus berusaha menghancurkan budaya kekerasan di ponpes. Ponpes seharusnya menjadi tempat yang nyaman untuk belajar. Orang tua menitipkan kami ke ponpes agar menjadi manusia yang cinta damai, bukan bernafsu melakukan tindakan keji. Istirahatlah dengan damai, Bintang. Cukup sudah budaya kekerasan di pondok pesantren.

--

--