Mangun

Hilman Handoni
2 min readOct 15, 2016

--

Saya kenal Romo Mangun seperti anak Sastra Indonesia lainnya: lewat Burung-Burung Manyar. Seingat saya, itu novel Indonesia (yang… hmhm sastrawi) yang mungkin paling awal saya baca. Dan novel ini punya kadar candu yang aduh. Memikat sejak awal, seingat saya. Di luar penceritaannya yang mengalir, ada satu hal yang menurut saya penting dan sangat membekas dalam hati saya: Soal kemanusiaan yang sungguh tak dapat dihalangi menembus batas-batas serdadu KNIL atau orang Republik. Menjadi Indonesia atau menjadi Manusia. Atau bisa menjadi keduanya?

Seperti kebiasaan saya, maka mulailah saya mencari buku-buku Romo Mangun yang lainnya. Durga Umayi lantas Burung-Burung Rantau (duh siapa tokoh perempuan yang energetik itu. Saya jatuh cinta padanya), yang semakin meneguhkan saya untuk menafsir sikap Romo Mangun: Bahwa kemanusiaan yang luhur itu melampaui sekat-sekat nasionalisme.

Ada beberapa buku nonfiksinya yang juga saya baca. Tapi saya lupa. Yang paling saya ingat rasanya kumpulan esai bercover ungu. Satu konsep dalam salah satu eseinya dalam buku itu yang saya ingat betul: Persatuan bukan persatean. Belakangan saya baru engeh bahwa istilah itu sebenarnya dipinjam dari Bung Hatta. Setumpuk esei dalam buku itu pada kesan saya menghimpun sikap Romo Mangun yang kurang lebih sama dengan sikapnya sebagai pengarang roman.

Tapi Romo Mangun tentu saja bukan sekadar itu. Berjuang melulu dengan pena dan mesin ketiknya. Tapi dia juga “pengusaha” sosial yang melulu ada dekat warganya — yang kecil, berbeda, dan sering betul di pinggir.

Dan saya siap untuk menziarahi Romo Mangun kembali.

--

--