Radio dan Mimpi

HR
9 min readApr 17, 2022

--

Ketika kita sedang mengejar mimpi, ada banyak cara untuk mencapai mimpi itu. Percayalah, ketika masih kecil, yang ingin aku lakukan hanyalah bermain untuk klub Atlético Mineiro. Jika aku tidak bisa melakukan itu, maka setidaknya aku bisa bermain secara profesional di klub lain dan membantu keluargaku.

Tapi aku tidak pernah menjadi salah satu dari pesepakbola yang selalu berhasil, kau tau? Bahkan, saat berusia 19 tahun, aku bahkan hampir tidak bermain sepak bola. Lalu, apa yang aku lakukan dengan hidupku? Bekerja di pabrik permen.

Aku tidak bercanda. Itu kenyataan. Banyak pemain yang sudah bermain untuk tim nasional Brasil di usia itu, bukan? Ya, aku bekerja di sebuah pabrik selama 2 setengah tahun hingga tahun 1996.

Aku tahu apa yang kau pikirkan. Bagaimana bisa seseorang berubah dari pekerja pabrik menjadi pemenang Piala Dunia 2002 dalam enam tahun?

Aku tahu, itu seharusnya tidak terjadi. Dan percayalah, ini adalah cerita yang luar biasa.

Masa Kecil

Aku dibesarkan di desa bernama Luciânia, di negara bagian Minas Gerais, di mana mayoritas penduduknya adalah buruh. Ayahku biasa menebang tebu. Suatu hari, dia mengajakku bekerja dengannya. Akan ada perayaan untuk menandai akhir musim, dan dia ingin aku melihatnya. Aku masih ingat betul betapa kerasnya ayah bekerja.

Dia ada di sana di bawah terik matahari, berkeringat dan bekerja keras. Aku merasa sangat kasihan padanya. Dan aku baru saja memutuskan bahwa aku tidak menginginkan kehidupan itu untuknya. Juga tidak menginginkan kehidupan itu untukku kelak.

Di keluarga kami, aku adalah anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara, yang berarti bahwa suatu hari nanti aku akan bertanggung jawab untuk mengurus keluarga. Dan jika hanya tinggal di desa, coba tebak seperti apa masa depanku?

Dan aku tahu aku harus mengubahnya. Tetapi dimana? Bagaimana? Yang ku tahu hanyalah desa ini.

Desa Luciânia. (http://www.estacoesferroviarias.com.br/)

Salah satu dari sedikit koneksi yang ku miliki dengan “dunia luar” adalah sebuah radio. Ayah adalah penggemar berat klub Atlético Mineiro, kami kadang menghabiskan waktu berjam-jam mendengarkan permainannya lewat radio. Terkadang sinyalnya sangat lemah sehingga aku harus menempelkannya telingaku.

Toninho, Nelinho, Reinaldo..

Wow!

Nama-nama itu membentuk imajinasi ku sebagai pendukung Atlético Mineiro. Sejujurnya, aku sangat ingin pergi ke Stadion Mineirão untuk melihat mereka (Atletico) bermain. Bayangkan saja bagaimana rasanya bermain seperti mereka? Bayangkan juga bagaimana rasanya menjadi seperti mereka?

Tentu saja, itu tampak mustahil. Mereka mungkin bermain di planet lain. Stadion Minerão versi ku adalah lapangan tanah di samping sekolah dekat dengan jalur kereta api. Disana aku dan temanku biasa bermain dengan bola plastik.

Ini terdengar lucu, karena aku memiliki seorang teman bernama Jaquinha, dan pernah sekali dia berkata padaku,

“Wah, suatu hari kau akan bermain untuk Atlético.”

Tentu saja aku tidak percaya padanya. Aku hanya berpikir dia gila. Dunia itu terlalu jauh, man.

Pada tahun 1989, ketika aku berusia 12 tahun, ayahku dan para pekerja lainnya dipaksa oleh serikat pekerja untuk mogok, dan kebanyakan dari mereka kehilangan pekerjaan. Jadi keluarga saya pindah ke wilayah Lagoa da Prata. Di sana aku memiliki lebih banyak kesempatan untuk bermain sepak bola di turnamen amatir.

Gilberto Silva dan sang ayah. (instagram.com/gilbertosilva)

Kemudian, suatu hari ketika aku berusia 15 tahun, aku meninggalkan tempat tinggalku, di pedalaman Minas Gerais, untuk pertama kalinya. Aku akan berangkat ke kota, melakukan pertadingan uji coba di Belo Horizonte melawan klub akademi Atlético Mineiro.

Aku merasa seperti sedang dalam perjalanan menuju mimpiku. Semuanya begitu mengasyikkan. Ketika melihat Belo Horizonte, mataku rasanya keluar. Aku lulus di sesi pertama dari seleksi. Aku juga lulus di seleksi berikutnya. Aku tinggal sampai hari terakhir.

Dan kemudian.. mereka tidak menerima ku.

Astaga, itu brutal. Tapi sejujurnya, aku tidak punya banyak waktu untuk memikirkannya. Karena tidak lama kemudian, aku diterima di akademi klub América Mineiro.

Tiba-tiba seluruh penolakan terlupakan. Aku sangat berterima kasih. Aku merasa seperti menuju karier yang layak, dan seluruh keluarga ku merayakannya. Akhirnya aku memiliki kesempatan untuk membantu orang-orang yang paling ku sayangi.

Tidak ada lagi panen. Tidak ada lagi bekerja di bawah terik matahari.

Aku mulai tinggal mandiri di akademi klub America di daerah Contagem. Tapi tak lama kemudian aku rindu rumah. Perjalanan ke rumah hanya tiga jam tapi kami tidak memiliki mobil, dan karena ayah tidak mampu membayar biaya perjalanan bus, aku tidak dapat mengunjungi mereka.

Kesehatan ibu saya kemudian mulai menurun drastis.

Aku berpikir, aku tidak kembali untuk membantu keluarga, dan sesuatu yang buruk terjadi, aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri.

Keluarga Gilberto Silva. (theplayerstribune.com)

Jadi setelah lima bulan, aku kembali ke desa. Aku kembali tanpa apa-apa. Kembali ke titik awal. Saat itulah aku kembali mengambil pekerjaan di pabrik. Aku harus membantu orang-orang tercinta, bukan?

Tapi setelah lebih dari dua tahun di sana, aku merasa ingin satu kesempatan lagi. Aku ingin kesempatan lain untuk kembali bermain di klub America. Bukannya mereka yang mengusirku. Tapi akulah yang memilih pergi.

Jadi aku kembali ke klub untuk mencoba lagi. Aku sangat termotivasi. Saat itu umurku sudah 19 tahun. Aku tahu itu adalah kesempatan terakhir. Alhamdulillah, empat bulan kemudian, aku berhasil menjadi pemain profesional di América.

Man, itu adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Aku hampir tidak bisa mempercayainya.

Mimpi

Pada tahun 1999, ketika kontrak bersama América akan berakhir, klub Cruzeiro mencoba untuk mengontrak ku. Mereka memiliki skuat hebat yang baru saja finish di peringkat kedua Kejuaraan Brasil, dan mereka menawari melalui agen dengan tawaran gaji yang akan mengubah hidupku.

Jadi aku menandatangani prakontrak dengan Cruzeiro. Tapi cerita itu bocor ke pers. América mengetahuinya, dan hidupku berubah menjadi rumit. Mereka tidak ingin aku pergi ke Cruzeiro. Mereka menciptakan kekacauan besar yang benar-benar mengejutkan.

Aku kembali ke rumah ayahku dan bersembunyi. Lalu aku berkata padanya, “Aku tidak akan pernah bermain sepakbola lagi. Ini bukan yang ku inginkan. Aku hanya ingin perdamaian.”

Ketika mulai mereda, aku dipanggil untuk bertemu Marcus Salum, presiden klub America. Yang mengejutkan, Alexandre Kalil, direktur klub Atlético Mineiro, juga ada di sana. Cruzeiro memiliki tim yang hebat, tetapi Atlético adalah klub idolaku. Bagaimanapun, pada tahun 2000, aku akhirnya mendapat hak istimewa untuk menandatangani kontrak dengan Atlético.

Aku punya sedikit rahasia. Aku memiliki kebiasaan setiap kali bermain di Stadion Mineirão. Ketika tiba di stadion, aku bisa melihat lautan penggemar di gerbang masuk. Di ruang ganti, aku bisa mendengar para penggemar dengan jelas karena gerbang itu tepat di sebelah ruang ganti dan mereka akan melewatinya untuk menuju ke tribun.

Aku akan membuka jendela hanya untuk mendengarkan lagu-lagu mereka. Sejujurnya, emosi itu membasuhku. Meski itu adalah rutinitas ketika bermain melawan Atlético. Jadi dapatkah kau bayangkan apa artinya ketika aku benar-benar bermain untuk Atlético? Saat Mineirão menjadi stadionku? Saat lautan manusia menyanyikan lagu mereka untuk timku?

Pendukung Atlético Mineiro di Mineirão. (instagram.com/atletico)

Astaga, aku masih merinding memikirkannya. Itu adalah mimpi. Tidak hanya untukku, tetapi juga untuk keluargaku di rumah, yang penuh dengan pendukung Atlético Mineiro. Dua setengah tahun bermain untuk Atlético adalah beberapa hal yang paling bahagia dalam hidup saya.

Kesuksesan

Dengar, aku tidak pernah menyangka bahwa suatu hari aku akan terbang di atas Brasilia dikawal oleh lima pesawat tempur dari angkatan udara Brasil. Tapi juga tidak pernah percaya bahwa aku akan menjadi bagian dari tim juara Piala Dunia.

Piala Dunia pertama yang kuingat adalah tahun 1986. Kami punya TV di rumah, tapi layarnya hanya hitam putih, jadi aku tidak bisa membedakan tim mana yang bermain. Aku bahkan tidak tahu di mana Meksiko berada!

Tapi ketika komentator berteriak, “BRASIIIL!”, Aku merasakan banyak emosi. Sepertinya jantungku mulai berdetak dengan ritme yang berbeda saat pertama kali mendengarnya. Jika seseorang mengatakan kepadaku bahwa 16 tahun kemudian aku akan menjadi juara dunia, aku akan bertanya kepadanya apakah mereka adalah teman masa kecilku, Jaquinha.

Sejak Piala Dunia 2002 di Jepang dan Korea Selatan, sebelum smartphone populer, sulit bagi kami (pemain Timnas Brasil) untuk memvisualisasikan dengan tepat apa arti permainan kami bagi rakyat Brasil. Jadi Felipão (pelatih Timnas Brasil) mempunyai ide. Sebelum final melawan Jerman, dia menunjukkan kepada kami sebuah video di mana sebuah desa adat di Brasil menonton salah satu pertandingan kami dan merayakan gol.

Mereka sangat bergembira! Itu luar biasa. Dan itu membuat kami bersemangat. Kami telah berada disini selama hampir 50 hari, di sisi lain dunia. Kami jauh dari keluarga dan teman-teman kami. Sekarang kami tinggal beberapa jam lagi untuk bisa memenangkan Piala Dunia.

Ketika selesai menonton video itu, kami merasa yakin bahwa kami akan membawa trofi itu kembali ke Brasil bersama kami. Itulah yang terjadi. Saat peluit akhir dibunyikan, kami semua berlarian seperti orang gila. Dan saya ingat sebuah kamera datang untuk merekam. Aku sangat emosional, dan berpikir tentang bagaimana keluarga ku akan merayakannya.

Aku berucap, “Bu, aku kembali! Sebagai JUARA DUNIA!”

Merayakan Penta, gelar juara Piala Dunia yang kelima. (instagram.com/gilbertosilva)

Pesta juara berlangsung sepanjang malam, dan tak lama setelah itu kami naik pesawat pulang. Kemudian saat pesawat kami berada di ketinggian, mendekati wilayah ibukota Brasilia, aku melihat jet tempur muncul di sebelah kami di langit.

Saat itu aku merasa sangat bangga menjadi orang Brasil. Sebelum Piala Dunia itu, aku telah mendengar tentang patriotisme. Sekarang aku telah mewakili negaraku, Brasil, di pentas dunia. Dan aku telah melakukannya bersama para pemain idola ku.

Atas: Dida, Edmilson, Kleberson, Gilberto Silva, Lucio, Cafu. Bawah: Ronaldinho, Ricardinho, Zagallo, Roberto Carlos, Ronaldo, Ze Roberto. (instagram.com/gilbertosilva)

Ketika kami mendarat di Brasilia, aku lupa apa itu kelelahan. Kami naik di atas bus besar dengan sound system raksasa dan melewati kerumunan manusia yang sangat banyak. Sumpah, aku belum pernah melihat begitu banyak orang dalam hidupku. Aku hampir takut!

Ada ratusan ribu orang di jalanan untuk menyambut pulang juara dunia lima kali. Orang-orang memanjat pohon dan rambu lalu lintas. Itu gila. Saat itulah aku akhirnya mengerti bahwa aku telah menjadi bagian dari mimpi sebuah negara.

Beberapa hari berselang, aku memutuskan untuk kembali mampir ke pabrik tempat dulu aku bekerja. Staf disana melakukan segala yang mereka bisa untuk melihatku. Mereka datang dengan sepeda, truk bahkan kuda, haha!

Tapi salah satu perayaan yang paling mengharukan adalah ketika aku kembali ke Belo Horizonte. Atlético Mineiro mengirim truk pemadam kebakaran untuk menjemputku di bandara! Ketika tiba di klub, aku disambut oleh presiden klub, Ricardo Guimarães, dan ketika aku memasuki tempat berlatih, aku melihat para staf telah menyiapkan spanduk khusus dengan namaku di atasnya.

Aku bertemu dengan beberapa orang luar biasa di Atlético Mineiro. Para penggemar mungkin mendukung tim ini dengan luar biasa, tetapi orang-orang di belakang layar sama pentingnya dengan mereka. Dalam banyak hal, kami bermain game bersama. Aku berbicara tentang orang-orang seperti mendiang Walter, kitman kami. Abel dan Edu, tukang pijat. Dan banyak lagi.

Orang-orang ini mungkin tidak setenar Toninho, Isidoro dan Reinaldo, tetapi mereka juga mendapatkan tempat mereka dalam sejarah Atlético Mineiro. Jadi dari lubuk hati saya, saya katakan kepada mereka semua: Terima kasih.

Kau dapat membayangkan betapa sulitnya bagiku untuk meninggalkan Atlético Mineiro tahun itu. Aku akan menjalani sembilan tahun petualangan di Eropa (2002–2011).

Gilberto Silva dan Patrick Vieira di Arsenal pada musim 2004. (Getty Images)

6 tahun yang luar biasa bersama klub Arsenal (Inggris). Bermain bersama para pemain bintangnya Stadion Highbury di London. Dan 49 pertandingan tak terkalahkan pada musim 2004.

Kemudian gelar juara Liga Yunani 2010 bersama klub Panathinaikos.

Dan selanjutnya pulang ke Brasil menuju klub Grêmio pada 2011, dan kemudian kembali ke Atlético Mineiro pada tahun 2013.

Aku selamanya berterima kasih kepada Atlético atas pentingnya bagi hidup ku dan keluargaku, dan tidak ada yang akan menghapus cinta dan terima kasihku kepada klub ini. Aku masih ingat ketika masih bermain untuk Grêmio, Atlético menginginkanku untuk kembali. Aku meminta saran kepada istriku, Janaina. Dia berkata, “Dengarkan apa yang hatimu katakan padamu.”

Aku menghabiskan beberapa hari untuk memikirkannya, dan ingatanku membawa nya dalam perjalanan kembali ke masa lalu.

Ayah saya sedang memotong tebu di kebun.

Keluargaku penggemar Atlético Mineiro.

Mendengar permainannya lewat siaran radio.

Kata-kata Jaquinha.

Dan akhirnya aku memberi tahu Janaina, “Kami akan kembali ke Belo Horizonte.”

Bersama trofi Copa Libertadores. (instagram.com/gilbertosilva)

Kami kemudian memenangkan kejuaraan Libertadores 2013. Kau mungkin tahu apa yang terjadi. Pertandingan-pertandingan knockout yang menegangkan, kekalahan di final pertama di Paraguay dan kemenangan penalti di final kedua di Mineirão. Atlético Mineiro menjadi jawara Amerika Selatan untuk pertama kali dalam sejarah klub. Dan aku menjadi bagian dari sejarah itu!

Keluargaku berpesta di rumah. Stadion Mineirão meledak dengan sukacita. Para penggemar kami merayakannya di depan TV mereka, di seluruh Brasil.

Dan di suatu tempat di Lagoa da Prata, pedalaman Minas Gerais, aku berpikir bahwa setidaknya ada satu anak laki-laki kecil yang sedang berlari dengan gembira, setelah mendengarkan permainan kami di final lewat radio.

--

--