Sudah tiga hari lamanya sepasang Kakak beradik itu menapakkan kakinya di Negara orang. Singapore. Hanya untuk menuruti apa yang diinginkan oleh Dito, sebagai kado ulang tahunnya hari ini.
Menonton balapan seperti ini sungguh menjadi pengalaman baru bagi keduanya, khususnya Hadley yang sama sekali tak pernah tertarik pada dunia mobil ataupun motor. Dito pun hanya mengikuti perjalanan GP ini dengan cara menonton melalui streaming.
Beberapa hari lalu Dito berpesan bahwa Hadley cukup diam saja dan duduk menemani dirinya, pesan Dito benar-benar dilakukan oleh perempuan cantik berumur dua puluh empat tahun itu. Hadley hanya duduk dan menatap ribuan orang menyorakki setiap mobil yang melaju di atas kecepatan rata-rata itu melintas.
Seusai tiga hari berlalu, mereka masih ada waktu selama kurang lebih dua hari untuk menetap di Singapore. Sengaja untuk berlibur singkat.
Malam ini, malam terakhir mereka berada di Singapore sebelum harus kembali lagi ke Jakarta esok hari. Keduanya memilih untuk tidak pergi ke mana-mana karena merasa sudah cukup untuk berjalan-jalan selama hampir kurang lebih satu minggu.
“Pengen coffee gak sih, gue pengen deh,” Celetuk Hadley.
“Biasa aja. Beli lah,”
Hadley dengan buru-buru menekan aplikasi google maps di ponselnya dan mengetikkan tujuannya yang paling dekat. Pupilnya menyipit sembari tangannya memperbesar maps. “Empat menit gas or no?” Tanyanya begitu memahami rute perjalanannya.
“Ya gas lah?” Tanya Dito tanpa memalingkan pandangannya dari ponsel yang sedang menampilkan beberapa video yang ia ambil ketika menonton balapan beberapa hari lalu.
Hadley mengangguk dan akhirnya beranjak dari posisi tengkurapnya. Merapihkan bajunya sebelum mengambil sebuah outer miliknya yang ia gantungkan di gantungan baju. “Mau ikut gak?” Tanyanya.
Dito menjawab dengan gelengan singkat.
“Oke, kalau nitip chat,”
Sebelum benar-benar membuka pintu, Hadley menghadap ke Dito kembali. “Menurut lo sepi apa rame?”
“Sepi, udah malem gini,” jawab Dito dengan percaya diri.
Akhirnya Hadley benar-benar hilang di balik pintu dan memulai perjalanannya untuk membeli segelas coffee hangat malam ini. Matanya selalu berbinar di sepanjang perjalanan karena merasakan sensasi yang berbeda ketika berada di sini. Nyaman, tenang, dan membuat dirinya merasa enggan untuk kembali ke Jakarta esok hari.
Dari jauh matanya dapat menangkap tempat tujuannya ramai luar biasa. Seketika raut wajahnya berubah menjadi datar, tidak seperti yang Hadley bayangkan. Rencana duduk di area outdoor dan menikmati angin malam pun gagal total.
Tak ingin membuat usahanya sia-sia, ia tetap berdiri untuk mengantre satu gelas signature chocolate. Sangat berbeda dari ucapannya yang menginginkan coffee sebelumnya.
Setelah mendapatkan segelas chocolate hangat di tangannya, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri menelisik segala arah berharap ada sebuah meja dan kursi untuk ia singgahi sebentar malam ini.
Gotcha!
Satu meja dan dua kursi kosong telah Hadley temukan, kakinya melangkah lebar dan sedikit agak berlari agar tidak didahului oleh orang lain.
Hadley letakkan segelas chocolate hangat dan menyamankan duduknya, menikmati kesendiriannya dengan menatap jalanan. Hadley tidak pernah senyaman ini berada di luar sendirian ketika di Jakarta, pasti ada saja yang hanya sekadar menyapanya atau mengajaknya berfoto.
Selebgram Ibu Kota kalau kata Dito.
Ponselnya bergetar dan menampakkan pesan dari adiknya yang ia tinggalkan di Hotel sendirian. Dito memesan sebuah coffee.
Detik demi detik, menit demi menit telah dilalui Hadley ditemani segelas chocolate hangatnya. Saatnya untuk kembali ke Hotel. Namun sebelum itu, Hadley beranjak terlebih dahulu untuk memesankan pesanan Dito, meninggalkan sisa chocolate hangatnya di meja, berniat akan kembali.
Begitu selesai memesan, Hadley melangkah kembali ke mejanya sambil memasukkan kembali kartu debitnya ke dompet tanpa menatap ke arah depan.
Sampai di meja pun Hadley langsung mendudukan dirinya tanpa mengecek terlebih dahulu.
“Hello?” Sapaan itu terdengar di telinga Hadley yang menunduk sibuk dengan dompet kecilnya.
Kepalanya mendongak perlahan, pupil matanya membesar begitu mendapatkan sesosok laki-laki telah duduk di hadapannya. Matanya pun beralih ke meja, gelas miliknya yang sebelumnya sendirian sekarang ada temannya, punya si laki-laki yang tiba-tiba duduk di hadapannya.
Begitu sadar ada yang salah, Hadley menoleh ke belakang dan ke segala arah untuk mencari meja yang sebelumnya ia singgahi.
“Hello? Hei?” Laki-laki di hadapannya menegurnya kembali.
Laki-laki di hadapannya benar-benar terlihat sedang menutupi identitasnya, topi hitam yang bertengger di kepalanya itu bahkan hampir menutupi matanya. Rahang tegas dan hidung bangirnya yang terlihat itu membuat Hadley terkesiap.
“Ya?”
“Is it yours?” Tanya laki-laki itu sambil menunjuk segelas chocolate hangat yang meninggalkan noda lipstick di ujung gelasnya.
“Yes. It’s mine,”
“Oh! I’m sorry, i thought it was an empty seat,”
“No prob, i’m leaving soon,”
“Okay, thanks,”
Hadley mengangguk dan menatap gelas chocolate hangatnya. Begitu pula dengan laki-laki di hadapannya yang sekarang sibuk menunduk dengan ponselnya.
Ketika sedang melamun, ponselnya berdering menampilkan nama Dito yang menelponnya. Hadley segera menggeser layarnya ke kanan.
“Halo?”
“Sabar dong, rame banget ini,”
“Sepuluh menit,”
“Ya,”
Kepala laki-laki di hadapannya mendongak, menatap Hadley intens, walaupun Hadley tak dapat menemukan di mana kedua mata lawan bicaranya tadi, Hadley dapat merasakan jika dirinya sedang ditatap olehnya.
“Why? Did i disturb you?” Tanya Hadley pelan.
Lelaki itu menggeleng. “Are you from Indonesia?”
“Ya, why?”
“Me too,” jawaban singkat itu membuat Hadley menutup mulutnya, terkejut.
“Serius? Dari mana?” Tanya Hadley memastikan. Suaranya pun berubah sedikit antusias ketika mendapatkan fakta bahwa laki-laki yang baru saja ia temui berasal dari Indonesia.
“Jakarta, kamu?”
“Sama! Jakarta juga,”
“Kenapa aku nggak asing sama kamu ya? Public figure? Or something?” Tanya laki-laki di hadapan Hadley.
Hadley meringis. “Gimana ya ngomongnya, duh, bukan public figure yang beneran kayak Raffi Ahmad atau kawan-kawannya, sih,”
“Selebgram?” Potong Lelaki itu sebelum Hadley melanjutkan ucapannya.
“Ya something like that,”
“Kerja di sini?”
Hadley menggeleng cepat. “Bukan, nemenin adik nonton F1,”
Tanpa sepengetahuan Hadley, pupil mata lelaki di hadapannya melebar sekian detik.
Obrolannya terpotong ketika nama Hadley dipanggil oleh barista karena pesanan miliknya telah selesai.
Hadley pun meraih gelasnya dan pamit untuk melesat terlebih dahulu. “Eh udah dipanggil, pulang duluan ya. Glad to meet you..?”
“Nathan. Nathanael Asher.”