MARKETPLACE UNTUK GURU SEBAGAI SALAH SATU TIGA PILAR SOLUSI PERMASALAHAN REKRUTMEN TENAGA KEPENDIDIKAN

HMI Komisariat IP UPI
6 min readJun 8, 2023

--

Meninjau hasil Raker Komisi X DPR RI dengan MENDIKBUDRISTEK RI pada 24 Mei 2023,

Latar Belakang
Rabu, 24 Mei 2023 merupakan hari dimana Mas Menteri DIKBUDRISTEK RI — Nadiem Makarim — memaparkan langkah solutif ke depan hari dalam rangka menindaklanjuti problematika mendesak yang dihadapi oleh para guru honorer di Indonesia (DPR RI, 2023). Pada rapat kerja Komisi X DPR RI, elaborasi akan kondisi guru honorer/PPPK (P3K) menimbulkan cuatan panas dari para tenaga kependidikan, utamanya dari para calon guru yang berasal dari kampus pendidikan. Pasalnya, terdapat tiga pilar solusi yang akan dijalani mulai tahun 2024 dalam menjawab tantangan kecacatan sistem rekrutmen guru yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap sekolah-sekolah di bawah komando (sekolah negeri).

Tiga pilar tersebut antara lain:
1. Marketplace untuk guru
2. Perekrutan oleh sekolah
3. Penempatan pada formasi kurang peminat

Ketiga pilar tersebut tentu saling berhubungan satu sama lain, pilar kedua dan ketiga akan berjalan sesuai dengan keberlangsungan pilar pertama. Namun, yang menjadi keresahan di sini ialah penggunaan nomenklatur kata Marketplace yang dalam kasus ini, secara harfiah dapat ditafsirkan menjadi “penjual-belian guru”. Tentu guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi mutakhirnya Mas Menteri di sini mengolah pikir dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru, apakah Marketplace ini dapat dijadikan sebagai ruang talenta yang akan membuahkan insight positif atau justru negatif?

Dari laporan singkat Rapat Kerja/Rapat Dengan Pendapat Komisi X DPR RI dengan MENDIKBUDRISTEK RI, komisi X mendesak untuk pemerintah pusat meng-uji banding-kan substansi kebijakan serta perincian komprehensif dalam sebuah rancangan grand design terlebih dahulu. Keberlanjutan dari hal ini akan disampaikan paling lambat pada 7 Juni 2023.

Pandangan
Sebagai organisasi yang eksis di tengah instansi perguruan tinggi berlatarbelakang pendidikan, dibekali dengan akal yang mumpuni untuk andil berkontribusi dalam menyumbangsih opsi solusi yang dapat menjadi salah satu langkah pembuktian peran aktif mahasiswa bagi kemakmuran bangsa. Berdasarkan pendeknya jarak pandang kacamata yang dimiliki, untuk meningkatkan kesejahteraan guru tidak tetap (GTT) mendapatkan haknya secara layak, dibutuhkan pengalokasian dana pendidikan yang transparan juga tertuju sesuai dengan kebutuhan, tidak ada pengurangan pun perlebihan yang nonsense. Karena, tidak dapat dipungkiri, keberjalanan roda pendidikan akan bergantung pada mengalirnya pendanaan dari pusat yang pasti. Pun berdampak pada kian menurunnya ketidakseksian profesi guru pada pemuda-pemudi Indonesia karena berbagai hal, seperti:
1. Tidak ada kepuasan pribadi untuk para guru
2. Tidak ada timbal balik materil sepadan dengan jasa yang dikerahkan
3. Sistem dan kurikulum yang terus berubah secara signifikan
4. Ketidaklinearan kompetensi terhadap kebutuhan SDM pada setiap satuan pendidikan
5. Ketidakadilan pada strata guru senior dan muda

Hal-hal tersebut yang mencederai stigma preferable karir para pemuda-pemudi dalam menggaet profesi yang lebih pasti. Proses pemulihan akan sangat amat berat langkahnya, dibutuhkan suatu formulasi yang notabenenya langsung menyentuh hingga sendi-sendi masyarakat. Sehingga, tembakan dari konstruk solutif akan terarah dan tepat sasaran.

Lantas, bagaimana? Apa yang harus dibenahi terlebih dahulu? Mengapa “guru” semakin tidak ada marwahnya dalam negeri permai nan masyhur ini?

Proses rekrutmen membawa andil besar juga terhadap kualitas pun “muka” guru di masyarakat. Hematnya, tahapan-tahapan seleksi untuk seseorang menjadi guru, sebagai salah satu jasa yang sangat vital dalam masyarakat, seharusnya dikemas dalam suatu sistem yang lebih kompleks dan berbobot. Sedang di Indonesia, kekrusialan kebutuhan akan para tokoh tanpa tanda jasa ini diatur kelegalan dalam Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008, dimana guru merupakan bagian dari ASN. Per hari ini, sistem yang mengelola perihal ini ialah Seleksi Guru PPP3 (P3K) yang menitikberatkan pada klasifikasi kategori pelamar yang mekanisme seleksinya berpatok pada passing grade melalui tes tertulis beserta wawancara. Penilaian dilihat dari rubrik yang menentukan bobot dengan segala halnya dalam format “angka”. Sependek pemahaman kami sebagai mahasiswa/I yang masih perlu banyak belajar, angka merupakan suatu ciptaan judgemental manusia dalam kepragmatisan hidup. Likuiditas potensi orang jika ditilik dari angka yang bersifat ajeg, dirasanya akan terasa kurang komprehensif dan holistik dalam menuju ketercapaian tujuan pendidikan.

Berbeda dengan sistem rekrut guru di Finlandia dan Singapur, dari opini publik pada Edvolution “How To Be a Teacher in Finland, Singapore, & China: A Comparison”, dapat ditarik konklusi bahwa dari ketiga negara tersebut, mengusung dan mengaplikasikan sistem seleksi guru memang tetap menggunakan sistem merit, namun seperti contoh di Finlandia, tes yang harus diikuti oleh para pelamar harus melalui tahap assessment terlebih dahulu untuk dapat mengikuti tes tersebut. Tes yang harus dikerjakan pun berupa hasil analisis dan interpretasi lima sampai dengan delapan artikel jurnal selama tiga jam. Lalu di Singapur, ketika lolos tes dan kemudian wawancara, sang pelamar sebelum sah ditetapkan menjadi guru, haruslah terlebih dahulu mengikuti proses kursus monitoring yang setiap pelamarnya akan mendapatkan seorang mentor dan reporting officer (Gomes, 2022). Ketika proses seleksi ini memberikan impression yang bermanfaat dan empowered kepada seluruh pelamar, hal tersebut tentu akan berdampak pada kualitas guru ke depan hari pun juga dengan pandangan masyarakat terhadap profesi guru itu sendiri (NCEE, 2016). Hal ini yang sepatutnya Indonesia coba untuk lirik dan inovasikan di Bumi Pertiwi ini. Standar yang tercetak nantinya, akan kian merevolusi kondisi keprofesian guru.

Keberlanjutan dari sektor ini harus ditindaklanjuti kesinambungannya dengan berbagai faktor. Memang tidak akan instan, namun bahwasanya ketika memang di kemudian hari, Indonesia ini ingin terus terpuruk pada kestagnansian pendidikan, utamanya pada para tenaga pendidik (guru), Indonesia akan perlahan hancur. Dengan diusungnya berbagai solusi dari Mas Menteri terhadap penyelesaian problematika gaji guru honorer/GTT yang mengalami ketidakadilan, apakah layak penggunaan nomenklatur kata dikomersialisasikan menjadi marketplace? Retorika yang digunakan eks-businessman ini dirasa kurang cocok jika dihadapkan dengan dunia keilmiahan.

Lagi-lagi memang pada akhirnya pengelolaan dana yang optimal dan tertuju lah yang menjadi mesin penggerak dari keseluruhan ini untuk dapat terwujudkan.

Kesejahteraan individu pada masing-masing guru harus menjadi prioritas utama dalam pengawalan pencerdasan bangsa. Oleh sebab itu, diperlukan sistem yang memang sedari awal apabila seseorang mengikhtiarkan dirinya untuk menjadi seorang guru, seluruh rangkaian dari pembekalan hingga pemakmuran berlangsung secara fair, sehingga tidak akan adanya perasaan ataupun pandangan tidak mengenakan. Karena ketika seorang guru setengah hati dalam mengerahkan jasanya, hal tersebut akan sangat fatal pada pembenihan cikal-cikal penerus bangsa Indonesia.

Hasil Kajian dan Simpulan
Setelah diskusi serta melihat kondisi empirik yang terjadi bahwasanya memang substansi dari isu berkembang tentang marketplace untuk guru ini bukan berbicara hanya soal nomenklatur kata marketplace-nya saja yang terdengar seperti “jual beli” atau “transaksi” guru semata. Tetapi poin substansi isu ini yang seharusnya menjadi refleksi per hari ini ialah:
- Pertama: Perbaikan sistem rekrutmen guru yang seharusnya lebih masif karena masih kurangnya jumlah tenaga pendidikan saat ini.
- Kedua: Kesejahteraan guru agar selarasnya pemenuhan angka kebutuhan tenaga pendidik di Indonesia serta kedepannya profesi guru akan dianggap urgent dan diminati lebih banyak calon.
- Ketiga: Peningkatan kualitas guru secara pembinaan dan terus berkelanjutan yang membuat terjaminnya kualitas guru di Indonesia yang pada akhirnya masifnya jumlah guru yang sejahtera akan diikuti dengan terjaminnya guru secara kualitas dan kuantitas yang ada.

Pada akhirnya Indonesia sendiri akan mempunyai sistem rekrutmen guru yang efektif efisien dan fair. Tak lupa sistem yang efektif efisien dan fair akan membawa kita pada pemenuhan jumlah kebutuhan guru di Indonesia. Serta guru akan dianggap sebagai suatu profesi yang memang pada hakikatnya selalu vital karena sebagai fondasi bangsa, akan lebih banyak diminati karena dijamin kesejahteraannya oleh negara. Dan setelah terjamin secara kesejahteraan hidup, guru berfokus untuk meningkatkan kualitasnya demi terciptanya output yang ideal atau dengan kata lain siswa yang berkualitas untuk menjadi generasi hebat yang akan melanjutkan nafas dari bangsa Indonesia ke depan hari.

HIDUP PENDIDIKAN INDONESIA!

Referensi
-
DPR RI. (2023). Rapat Kerja/Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR RI (Bidang: Dikbudristek, Pora, Parekraf, dan Perpusnas) dengan Kemdikbudristek RI, Kemendagri RI, KemenPAN-RB, dan Reformasi Birokrasi RI. Jakarta: Sekretariat Komisi X DPR RI.
-
Gomes, M. T. (2022). How To Be a Teacher in Finland, Singapore, & China: A Comparison. https://myedvolution.com/how-to-be-a-teacher-part-1-selection/
- The National Center on Education and the Economy. (2016). Policy Brief — Empowered Educators. USA: Stanford.

--

--