Tragedi Rohingya: Nilai Kemanusiaan Harus di Atas Segalanya

HmI UNNES
9 min readJan 4, 2024

--

Oleh: Raihan M. Hatta

Tidak ada penderitaan yang lebih menyakitkan daripada ketika kemanusiaan diabaikan. Tragedi yang melanda Rohingya merupakan salah satu contoh paling menghancurkan dari pengabaian ini. Di tengah-tengah konflik yang berkepanjangan, ratusan ribu orang Rohingya terus menjadi korban dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang mengerikan. Rohingya merupakan sebuah komunitas etnis minoritas yang beragama Islam dan telah mendiami wilayah Myanmar — sebuah negara yang didominasi oleh mayoritas penganut agama Buddha — selama berabad-abad.

Pada 2017, ada serangan bersenjata dan pelanggaran HAM yang parah memaksa ribuan warga Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Mereka melakukan perjalanan yang sulit dan berbahaya, melintasi hutan dan laut Teluk Benggala, untuk mencapai tempat aman di Bangladesh. Saat ini, lebih dari 960.000 orang telah menemukan perlindungan di sana, terutama di wilayah Cox Bazar yang menjadi kamp pengungsi terbesar di dunia. PBB menggambarkan Rohingya sebagai “minoritas yang paling tertindas di dunia” (UNHCR, 2023).

Tidak bisa dimungkiri bahwa krisis yang dihadapi oleh Rohingya bukan cuma sebuah tragedi kemanusiaan, tetapi juga refleksi menyakitkan dari kegagalan masyarakat internasional dalam menanggapi dengan tegas dan efektif terhadap pelanggaran HAM yang terus berlangsung. Perlakuan terhadap Rohingya telah mencapai tingkat yang tidak dimungkiri diterima: dari pembunuhan massal dan pemerkosaan hingga pengusiran paksa.

Meskipun sejumlah negara dan organisasi telah memberikan bantuan dan dukungan kepada para pengungsi Rohingya, hal itu tidak mencukupi untuk mengatasi eskalasi konflik dan menderita yang berkepanjangan. Tidak cuma itu, sikap pemerintah Myanmar yang menolak mengakui Rohingya sebagai warga negara telah memperburuk situasi. Kebijakan diskriminatif terhadap kelompok ini, termasuk pembatasan hak-hak dasar, seperti kewarganegaraan, telah menciptakan lingkungan yang memaksa mereka hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian yang berkepanjangan.

Orang-orang Rohingya secara praktis tidak diakui sebagai warga negara berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982, sehingga mereka tidak memiliki status kewarganegaraan yang diakui secara resmi. Kekejaman yang terjadi pada tahun 2017 adalah hasil dari penindasan sistemik, diskriminasi, serta kekerasan yang telah dilakukan oleh negara selama bertahun-tahun terhadap etnis Rohingya (Human Right Watch, 2022). Kepergian mereka bukanlah pilihan, tetapi merupakan upaya untuk menyelamatkan diri dari ancaman yang nyata dan kekerasan yang tak terbayangkan. Namun, dalam pencarian perlindungan, mereka sering kali dihadapkan pada batasan dan hambatan yang menghalangi upaya mereka untuk mendapatkan perlindungan yang layak dan kehidupan yang layak.

Tragedi Kemanusiaan yang Serius

HAM merupakan hak yang fundamental bagi setiap individu, yang mencakup hak untuk hidup dalam semua aspek kehidupan, baik politik, hukum, ekonomi, sosial, maupun budaya. Hak-hak ini merupakan kebutuhan dasar yang harus diberikan kepada setiap individu dan kelompok masyarakat tanpa memandang perbedaan etnis, agama, atau jenis kelamin. Prinsip ini sejalan dengan Pasal 2 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948.

Pada intinya, Pasal 2 dari DUHAM menyatakan bahwa setiap individu berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi tersebut, tanpa memandang perbedaan seperti ras, warna kulit, agama, bahasa, atau latar belakang lainnya. Prinsip-prinsip ini tidak cuma mencakup hak-hak dasar seperti hak untuk hidup, kebebasan berpendapat, dan keadilan, tetapi juga memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang, berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, dan memperoleh perlindungan yang setara di mata hukum, tanpa diskriminasi apa pun (OHCHR).

Pelanggaran serius terhadap Hak Asasi Manusia melanggar kewajiban yang bersifat universal dalam hukum internasional. Prinsip HAM ini berlaku bagi semua orang dan negara (erga omnes), sehingga ketika terjadi pelanggaran, itu menjadi bagian dari kewajiban internasional yang mengharuskan negara bertanggung jawab. Pelanggaran HAM sering terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan dan kelalaian negara dalam memenuhi kewajiban tersebut.

Hal Ini bisa terjadi baik karena negara tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan (pelanggaran oleh kelalaian) maupun karena melakukan tindakan yang melanggar prinsip-prinsip HAM (pelanggaran dengan melakukan tindakan tersebut). Di antara pelanggaran yang terjadi adalah perlakuan yang dilakukan oleh Pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya, yang salah satunya dipicu oleh gerakan Rohingya Elimination Group pada tahun 2012 dengan tujuan menghapus kaum Rohingya dari wilayah Arakan (Arifin & Lestari, 2019).

Tragedi Rohingya merupakan pelanggaran HAM yang serius. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, yang diadopsi melalui Resolusi Majelis Umum PBB 260 A (III) pada 9 Desember 1948, mengategorikan pelanggaran HAM terkait pembersihan etnis sebagai kejahatan khusus. Pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya diperkuat oleh laporan yang disusun oleh pelapor khusus dari Komisi Tinggi HAM, yang didasarkan pada Flash Report United Nations Human Rights tanggal 3 Februari 2017. Laporan tersebut mencatat serangkaian pelanggaran yang mencakup eksekusi tanpa proses peradilan atau pembantaian, termasuk penembakan acak, penculikan paksa, penahanan sewenang-wenang, pemerkosaan massal, kekerasan seksual, kekerasan fisik, penjarahan, penghancuran harta benda, serta diskriminasi dan penganiayaan berbasis etnis dan agama (Yuliartini & Mangku, 2019).

Pelanggaran serius terhadap HAM, seperti yang terjadi dalam tragedi Rohingya, bukan cuma menimbulkan penderitaan yang tak terbayangkan, tetapi juga mencoreng prinsip-prinsip kemanusiaan yang fundamental. Pemerintah Myanmar telah terlibat dalam serangkaian tindakan yang melanggar hak-hak dasar dan kebebasan individu, terutama terhadap etnis Rohingya. Laporan-laporan investigasi dan dokumentasi dari berbagai lembaga, termasuk laporan dari Komisi Tinggi HAM dan PBB, menunjukkan bahwa pelanggaran yang terjadi termasuk pembantaian, pemerkosaan massal, penahanan sewenang-wenang, penghancuran harta benda, serta tindakan diskriminatif dan penganiayaan berdasarkan etnis dan agama.

Pentingnya memastikan bahwa prinsip-prinsip HAM dihormati dan ditegakkan tidak bisa diabaikan. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide secara tegas mengakui pelanggaran terkait pembersihan etnis sebagai kejahatan khusus yang harus diperangi dan dihukum. Pemerintah Myanmar harus bertanggung jawab atas tindakan yang telah merenggut hak-hak dan kehidupan ribuan orang, serta mendorong kebijakan yang melanggar prinsip-prinsip HAM.

Nilai Kemanusiaan Harus di Atas Segalanya

Dalam menghadapi tragedi ini, masyarakat internasional harus bersatu dengan tekad yang bulat untuk menekankan pada pentingnya mengutamakan kemanusiaan di atas segalanya. Diperlukan respons yang tegas dan terkoordinasi untuk menjamin keamanan, kesejahteraan, dan hak asasi manusia bagi Rohingya. Tanpa langkah yang nyata dan berkelanjutan, mereka akan terus menjadi korban yang terpinggirkan dan terlupakan dalam koridor kebijakan global, sehingga menambah tragisnya cerita kemanusiaan yang harus menjadi perhatian dunia.

Memahami esensi kemanusiaan yang melekat pada prinsip moral dan etika universal adalah mengakui bahwa setiap individu, tak peduli latar belakangnya, memiliki hak yang sama untuk dihormati. Kemanusiaan bukan sekadar nilai, melainkan kewajiban moral yang tak terelakkan bagi umat manusia. Sebagai komunitas global, beban tanggung jawab terhadap Rohingya menjadi sebuah panggilan bersama. Solidaritas masyarakat dunia, termasuk Indonesia, sebagai manusia tercermin dalam tindakan bersama demi melindungi yang terpinggirkan, menjunjung tinggi HAM yang menjadi dasar keadilan sosial.

Hal ini bukan sekadar perlindungan terhadap hak-hak dasar, seperti kebebasan dan keadilan, melainkan investasi dalam mencegah terulangnya tragedi serupa pada masa depan. Dengan menghargai kemanusiaan, manusia tak cuma membuka jalan menuju perdamaian global, tapi juga menyuarakan martabat hidup untuk semua, tanpa diskriminasi atau penindasan. Islam pun senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, Allah Swt dalam Q.S. Al- Isra [17]: 70 telah berfirman,

۞ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ

Artinya: Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.

Selain itu, di dalam Q.S. Al-Ḥujurāt [49]: 13, Allah Swt pun menegaskan bahwa,

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.

Nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam melandaskan prinsip-prinsip moral dan etika dalam berbagai aspek kehidupan. Ajaran-ajaran Islam menuntun umatnya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai yang menjamin hubungan yang adil dan penuh kasih sayang. Keadilan, sebagai fondasi utama, mengajarkan perlakuan yang sama dan adil bagi semua tanpa pandang bulu. Kemanusiaan menegaskan bahwa setiap individu memiliki martabat yang sama, yang harus dihormati dan dilindungi. Kebaikan menjadi panggilan untuk berbuat baik kepada sesama manusia, hewan, dan lingkungan.

Islam pun senantiasa mendorong keterbukaan, tidak merugikan orang lain, dan hidup dalam keteraturan yang mencerminkan kebebasan, tetapi tetap memperhatikan kebebasan orang lain. Kepedulian terhadap kondisi sosial, politik, dan lingkungan sekitar pun menjadi nilai yang dianjurkan, seiring dengan keseimbangan dalam menjalani kehidupan yang tidak berlebihan. Kejujuran juga diprioritaskan sebagai landasan untuk bersikap jujur dan tidak menipu dalam hubungan sesama manusia. Semua nilai-nilai ini membentuk landasan moral bagi umat Islam untuk hidup dalam harmoni, adil, dan penuh rasa kemanusiaan.

Dalam konteks tragedi Rohingya, nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam menjadi panggilan moral yang amat penting. Perintah Allah Swt dalam Al-Qur’an untuk memuliakan setiap manusia, tanpa memandang latar belakang, menegaskan perlunya perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia Rohingya yang teraniaya.

Islam menekankan kesetaraan dan keadilan di antara umat manusia. Sikap bertakwa yang ditekankan dalam Al-Qur’an dan hadis menggambarkan bahwa yang paling mulia di sisi Allah Swt adalah mereka yang bertakwa kepada-Nya. Menghadapi tragedi kemanusiaan yang sedemikian parah di Rohingya, maka umat Islam dan seluruh umat manusia, diingatkan akan pentingnya bertindak sebagai satu komunitas yang terpadu untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Kemanusiaan harus ditempatkan di atas segalanya dalam upaya memberikan bantuan, perlindungan, serta mendesakkan tindakan internasional yang tegas demi mengakhiri penderitaan yang dialami oleh Rohingya.

Pesan Islam tentang kemanusiaan menuntut umat manusia untuk bersatu dalam solidaritas yang kokoh untuk melindungi dan menghormati HAM tanpa pandang bulu, termasuk hak-hak mereka yang terus menderita dalam tragedi yang tak terbayangkan ini. Ini bukan hanya tanggung jawab Muslim, tetapi tanggung jawab moral bersama umat manusia yang berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Pada intinya, menegakkan kemanusiaan di atas segalanya bukan cuma memberi bantuan kepada yang membutuhkan, tetapi juga mengangkat nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar bagi setiap individu di seluruh dunia.

Perlu Ada Tindakan Konkret

Saat ini, dunia sedang tidak baik-baik saja. Telah terjadi tragedi kemanusiaan yang menyayat hati, yakni tragedi kemanusiaan di Rohingya. Tragedi ini telah menyebabkan banyak orang Rohingya mengungsi dari kampung halaman mereka di Myanmar. Mereka terpaksa meninggalkan rumah dan harta benda mereka untuk menyelamatkan diri dari kekerasan dan penganiayaan oleh rezim yang ugal-ugalan. Tragedi kemanusiaan di Rohingya merupakan pelanggaran HAM yang serius, maka perlu ada langkah yangs serius dan konkret pula.

Pemerintah Myanmar telah melakukan diskriminasi dan kekerasan terhadap orang Rohingya selama bertahun-tahun. Kekerasan terhadap etnis Rohingya pun semakin meningkat dan menyebabkan ratusan ribu orang Rohingya mengungsi ke banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Kerja sama internasional dan tekanan dari komunitas global pun sangatlah penting dalam menegakkan keadilan untuk korban-korban Rohingya. Diperlukan langkah-langkah konkret dan tegas untuk memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM diadili sesuai dengan hukum internasional.

Hal ini tidak hanya tentang memberikan keadilan bagi para korban, tetapi juga untuk mengirimkan pesan kuat bahwa pelanggaran HAM tidak akan ditoleransi dalam komunitas global yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Kehadiran warga Rohingya di Indonesia menimbulkan kontroversi. Ada yang berpendapat bahwa Indonesia tidak perlu bertanggung jawab karena tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Namun, Indonesia juga memiliki kewajiban moral untuk melindungi pengungsi yang melarikan diri dari penganiayaan.

Tentu, sebagai negara yang memiliki landasan moral yang tinggi, Indonesia dihadapkan pada tugas kemanusiaan untuk melindungi Rohingya yang mengalami penganiayaan dan kekerasan serta membutuhkan perlindungan internasional. Meskipun belum secara formal terikat oleh konvensi tersebut, prinsip-prinsip kemanusiaan dan moralitas harus tetap menjadi pijakan utama dalam menanggapi tragedi kemanusiaan ini.

Secara normatif, Indonesia telah mengakui hak pengungsi untuk mendapatkan perlindungan. Indonesia juga telah meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM terkait. Selain itu, Indonesia juga telah lama melaksanakan prinsip non-refoulement, yaitu tidak mengembalikan atau mengirim pengungsi ke suatu wilayah yang mana keselamatannya terancam. Indonesia pun telah berpengalaman dalam menangani pengungsi, seperti pada krisis di Indochina pada tahun 1970-an hingga 1980-an (Riyanto, 2023).

Pada akhirnya, tanggung jawab utama untuk mengurus pengungsi ada pada negara setempat. Namun, masyarakat internasional dapat membantu manakala negara yang bersangkutan tidak memiliki kapasitas yang diperlukan. Indonesia dapat mengambil beberapa langkah penting dalam menangani pengungsi Rohingya.

Dengan mengembangkan aturan operasional yang komprehensif yang secara khusus mengatur perlindungan bagi pengungsi dan pencari suaka di Indonesia. Selanjutnya, meningkatkan kerja sama dengan organisasi internasional, seperti UNHCR, guna mendapatkan bantuan yang diperlukan dalam menangani pengungsi ini.

Selain itu, peningkatan kesadaran masyarakat dunia, termasuk Indonesia, terkait pentingnya melindungi pengungsi juga menjadi langkah kunci dalam memberikan dukungan yang lebih luas. Dengan mengambil langkah-langkah ini, warga dunia, khususnya Indonesia bisa menegaskan komitmennya dalam melindungi pengungsi Rohingya dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang merupakan hak fundamental manusia.

Jadi, tragedi kemanusiaan Rohingya di Myanmar telah menimbulkan penderitaan yang serius, sehingga penting untuk menempatkan kemanusiaan di atas segalanya dalam menegakkan prinsip-prinsip HAM. Tidak cuma dalam memberikan bantuan, tetapi juga menghormati dan melindungi hak-hak dasar setiap individu. Kehadiran pengungsi Rohingya di Indonesia menyoroti kewajiban moral untuk memberikan perlindungan dan bantuan. Langkah-langkah konkret, tekanan internasional, serta kesadaran masyarakat dunia menjadi kunci dalam memberikan dukungan dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.

Referensi

Arifin, R. & Lestari. (2019, November 17). PENEGAKAN DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA DALAM KONTEKS IMPLEMENTASI SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 5(2).

Human Right Watch. (2022, Agustus 24). Myanmar: Tidak Ada Keadilan dan Kebebasan bagi Rohingya Setelah 5 Tahun Berlalu. Human Rights Watch. Retrieved Januari 2, 2024, from https://www.hrw.org/id/news/2022/08/24/myanmar-no-justice-no-freedom-rohingya-5-years

OHCHR. (n.d.). OHCHR | Universal Declaration of Human Rights — Indonesian. ohchr. Retrieved Januari 2, 2024, from https://www.ohchr.org/en/human-rights/universal-declaration/translations/indonesian

Riyanto, S. (2023, Desember 13). Pengungsi Rohingya di Antara Kewajiban Kemanusiaan dan Hukum. Kompas.id. Retrieved Januari 2, 2024, from https://www.kompas.id/baca/opini/2023/12/12/pengungsi-rohingya-di-antara-kewajiban-kemanusiaan-dan-hukum

UNCHR. (2023, Agustus 23). Rohingya Refugee Crisis Explained. USA for UNHCR. Retrieved Januari 2, 2024, from https://www.unrefugees.org/news/rohingya-refugee-crisis-explained/

Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2019). Tindakan Genosida Terhadap Etnis Rohingya Dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional. Cakrawala Hukum, 21(1).

*Tulisan ini merupakan perspektif dari kader HmI UNNES

--

--

HmI UNNES

Akun resmi Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Universitas Negeri Semarang (UNNES). Dikelola oleh Divisi PTKP HmI Soshum UNNES.