eFishery Adalah Konten Dewasa
Setiap perusahaan pasti punya singkatan soal kumpulan value yang diyakini. Contoh saja BUMN punya values yang mungkin kita kenal dari video Pak Erick Thohir di mesin ATM. AKHLAK adalah Amanah, Kompeten, Harmonis, dan seterusnya.
eFishery juga begitu, tiap hurufnya mengandung penjelasan value tersendiri. Sayangnya saya bukan karyawan teladan seperti Bob. Jadi tentu saja saya gak hafal. Satu-satunya yang saya hafal hanya huruf F nya itu, yakni farmer first karena memang betul, setiap review kuartal pasti kita disinggung untuk memikirkan ulang seberapa keras kita bekerja untuk berpihak kepada petani. Tapi saya gak mau bahas mendalam lagi di tulisan ini, karena bukan kapabilitas saya. Pekerjaan saya tidak berhubungan langsung dengan petani.
Konten Dewasa
Alih-alih menjabarkan value, justru saya ingin punya usul. Usul tersebut pastinya personal atas apa yang saya rasakan ketika bekerja selama dua tahun disini. Layaknya cita-cita eFishery yang provokatif, ingin mengganti protein utama dari ayam ke ikan, values pun harus provokatif dong. Dan bagi saya yang cocok itu adalah “menyediakan konten dewasa”.
Konten dewasa sudah lekat ke khalayak umum sebagai video syur. Padahal banyak hal yang hanya dimengerti oleh orang dewasa bukan ke arah situ saja, berkeluarga dan bertetangga misalnya.
Dulu sewaktu kecil saya selalu menganggap enteng pemberian buah tangan karena bagi saya saat itu oleh-oleh adalah sebuah pelicin untuk basa-basi agar lebih ramah (semacam formalitas). Padahal ketika sudah dewasa akhirnya saya merasakan ada sedikit kehangatan disitu, tak hanya bagi penerima tetapi juga bagi si pemberi, karena sedikit pengorbanan dari segi uang dan waktu yang patut dihargai.
Nah, value “menyediakan konten dewasa” yang saya usulkan adalah sebuah upaya mendobrak stigma negatif tersebut. Karena setiap harinya ketika bekerja saya selalu disajikan konten-konten yang hanya dimengerti orang dewasa dan itu hal yang baik.
Awal Masuk dan Probation
Menurut Ben Horowitz di bukunya ‘What You Do Is Who You Are’,
“Kultur perusahaan bukanlah hal yang diceritakan oleh founder dan senior level di sebuah meeting ketika berusaha mengajarkan ke anggota terbarunya. Tetapi cara terbaik untuk mengetahui sebuah kultur perusahaan adalah dengan menanyakan value yang dirasakan oleh karyawan di hari-hari pertama ia bergabung.”
Bagaimana saya dulu bergabung agak lucu juga kalau diingat. Saya melamar sebagai Data Analyst padahal belum bisa coding dan gak jago statistik. Setelah menunggu beberapa minggu, akhirnya saya memberanikan diri menulis surel ke Head of Technology (Mas Ahmad 'Ans' Syuhada) dengan agak tengil seperti ini:
Beberapa hari dari surat tersebut dikirim, akhirnya saya dapat test kemudian diterima sebagai anggota tim Data. Asumsi saya waktu itu interviewer-nya sedang ngantuk sehingga lengah dan salah ambil keputusan. Belakangan saya baru tahu memang kebutuhan hiring saat itu untuk mengisi role Data Analyst untuk membantu CEOO. Sehingga lebih mengutamakan orang yang mengerti lebih banyak konteks bisnis daripada pemrograman dan statistik. Dan dari test yang dikumpulkan terlihat bahwa saya mewakili kebutuhan tersebut.
Setelah masuk, tiga bulan pertama saya bekerja bersama buddy, namanya Bang Khai. Karena Khai tahu saya belum bisa SQL, maka saya disuruh belajar dulu selama dua minggu. Ia kasih akses ke sebuah platform belajar berbayar. Lalu selama dua minggu tersebut saya sama sekali gak pernah di tes pemahamannya, sudah sampai mana. Justru saya ditanya “Udah siap ngerjain task?” lalu saya terima task tersebut. Sedangkan didalam hati saya bilang “Inilah tempat orang-orang bebas yang gak punya tanggung jawab.” secara konotatif positif dan negatif.
Pindah ke Bali dan Dipercaya Sebagai Lead
Di pertengahan April tahun lalu, istri saya ditawarkan bekerja di sebuah brand pakaian di Bali. Tentu saja saat itu kami ragu menerima tawaran itu karena saya bekerja di Bandung (eFishery belum full WFH saat itu). Saya berani saja ngaku duluan ke Mas Ans, siapa tahu responnya positif seperti waktu melamar kerja.
Waktu sesi one-on-one, bukan hanya saya yang punya kabar besar. Nyatanya waktu itu saya diproyeksikan untuk jadi Lead Data Analyst, tapi izin ke Bali juga dibolehkan. Lha, saya bingung dong, baru setahun bekerja, nantinya dari jarak jauh pula saya manage tim. Gimana caranya!?
Lalu kami diskusi singkat. Saya penasaran kenapa pilihannya harus saya dan Mas Ans bernegosiasi mengenai scope tanggungjawab yang bisa diambil, sebelum full jadi lead.
Ia bilang saya punya kemampuan abstraksi yang cocok untuk lead ketimbang individual contributor yang jago (disini keduanya sama dihargainya dan punya track masing-masing). Alasannya dari pekerjaan saya selama setahun tersebut saya lebih banyak masuk di isu strategis dan isu tim. Contohnya dari dua analisis saya, yang satu berusaha menghilangkan OKR level individual untuk company wide yang kedua saya berargumen dan bernegosiasi untuk mengubah cara hitung metrics utama di salah satu bisnis unit yang ada agar relevan dengan kondisi yang sedang terjadi.
Lalu sebagai gantinya atas keraguan saya, saya dicoba untuk pimpin sebagian kecil dari tim dulu, yaitu memperbanyak produksi narrative analytics, sebelum mengorganisir keseluruhan aspek yang ada.
Bekerja dengan Fresh Graduate
Tepat setahun kemudian tim saya sudah punya 10 anggota. Baru saja kemarin, saya ngobrol one-on-one dengan Bima, anggota termuda di tim kami yang baru saja lulus kuliah di tahun lalu. Tema besarnya dia khawatir dengan performa dia selama ini yang kurang baik. Padahal sebaliknya saya merasa dia cukup punya kapabilitas dan malahan sudah di atas ekspektasi.
Merefleksikan dari teori management yang saya rujuk, ternyata kekhawatiran Bima berasal dari task yang ia pegang, tingkat ambiguity dan uncertainty-nya relatif tinggi untuk seusianya. Saya memang terlalu cepat menambahkan challenge kepada anak-anak muda di tim. Menurut kebiasaan tim kami, orang baru akan dibimbing dengan supervisi ekstra hanya di tiga bulan pertama. Artinya kamu akan dikasih tahu apa yang dikerjakan, gimana caranya dan kapan setiap proses harus dikerjakan agar selesai tepat waktu. Tapi setelah itu masing-masing individu akan dibebaskan untuk cari tahu kebutuhan user sendiri, breakdown problem dan mencari solusi yang tepat sendiri. Dan kalau ada sebuah masalah kami ekspektasikan untuk mengungkapkannya sendiri. Pokoknya mandiri kayak Bang Caca Handika.
Dari situlah saya baru sadar, kita terbiasa memperlakukan sesama seperti orang dewasa yang punya navigasi sendiri untuk menjalankan hidupnya.
Sintesis
Setelah dua tahun bekerja, salah satu value di eFishery yang saya baru sadari adalah soal mendistribusikan tanggung jawab dan aspirasi dalam berkarya. Tanggung jawab tidak terkonsentrasi berdasarkan hirarki, tapi ke level individual. I guess it’s not organization malfunction, it’s just because our DNA was different.
Begitulah konten dewasa versi kami, isinya bukan video syur. Tapi asupan sehari-hari soal tanggung jawab, kebebasan berkarya dan keleluasaan dalam berkomunikasi.
Untuk para pelamar dan peminat disana. Percayalah guys, benefit WFH itu baru permukaan, lebih dalam lagi kamu akan diperlakukan dewasa selamanya,