AI Tak Bisa Gantikan Peran Ulama. Ini Penjelasan Dosen Informatika Umsida
Dunia kini tengah mengalami kegandrungan tersendiri dengan munculnya Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan ChatGPT. Ini karena AI memiliki kemampuan untuk menjawab pertanyaan atau perintah dari penggunanya hanya dengan mengetik sejumlah kalimat tanya atau perintah.
Ya, dengan menggunakan AI seperti ChatGPT, pengguna hanya perlu mengetikkan sejumlah kalimat, untuk kemudian ChatGPT memberikan jawaban yang komprehensif layaknya seorang pakar di bidangnya, dan ia menguasai semua bidang pengetahuan.
AI mampu memahami, menjawab pertanyaan, atau melaksankaan perintah yang sifatnya basic hingga advance tentang ilmu pengetahuan bahkan membuat karya sastra seperti puisi layaknya penyair hebat.
Lebih jauh, AI ini juga bisa mendesain sebuah gambar imajinatif sesuai pesanan dengan kecepatan yang luar biasa. Mengalahkan seniman yang perlu waktu lama untuk membuatnya.
Namun, apakah benar bahwa AI adalah “ciptaan” manusia yang memuncaki invensi atau temuan manusia?
“Munculnya Teknologi AI tidaklah jauh berbeda seperti kemunculan teknologi-teknologi lainnya. Seperti lahirnya teknologi pesawat terbang, telepon, internet dan jaringan telekomunikasi 5G,” ungkap Irwan Alnarus Kautsar PhD dosen Program Studi (Prodi) Informatika, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) yang menyampaikan AI adalah temuan layaknya temuan lainnya.
Namun memang fenomena AI kali ini dirasa beda dengan yang sebelumnya. Sebagian besar contoh AI yang kita dengar dewasa ini — mulai dari komputer yang bermain catur hingga mobil yang mengendarai sendiri. Dengan menggunakan teknologi ini, komputer dapat dilatih untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu dengan memproses sejumlah besar data dan mengenali pola dalam data.
“Teknologi AI ini sebenarmya merupakan sebuah konsep teknologi yang mana manusia mendesain sedemikian rupa agar mesin tersebut dapat belajar mandiri (Indpendent Learning Machine) dan memberikan luaran/output berdasar data-data lampau yang sudah tersimpan di database dan/atau data-data yang diolah berdasar perhitungan statistik (Data Sainsm),” tutur Irwan menjelaskan cara kerja AI semacam ChatGPT.
Meski demikian, melihat fenomena AI yang semakin canggih, memunculkan pandangan lebih jauh tentang banyaknya peran para pakar yang diambil alih oleh AI, termasuk boleh jadi termasuk peran ulama dalam mengatasi persoalan keagamaan.
Namun, berbeda dengan pandangan awam tersebut, pak Irwan menjelaskan bahwa sebenarnya AI tersebut tidak akan mampu menggantikan peran manusia di masa depan dalam hal menangani hal baru. Ini karena AI tersebut tidak dibekali dengan kemampun problem solving manusia.
“AI akan memberikan output sesuai kasus eksisting dengan nilai bobot yang serupa. AI tidak memiliki keampuan untuk befikir kreatif karena AI = Program Komputer = Do as Programmed,” ujar Pak Irwan menambahkan penjelasan tentang cara kerja AI.
Dengan penjelasannya tentang AI tersebut, Pak Irwan pun meluruskan opini publik bahwa AI bisa menggantikan peran-peran keagamaan yang ada pada ulama.
“Insya Allah jawaban dari AI sepertinya tetap merujuk fatwa ulama. Sehingga peran ulama tidak dapat digantikan,” ujarnya menandaskan.
“Sehingga kedepan, peran-peran kecil dan berulang (seperti perhitungan, pencarian data dan informasi) dapat dipermudah oleh komputer sehingga manusia dapat lebih cepat dan akurat dalam mengambil keputusan,” tambahnya.
Pak Irwan menegaskan, bahwa sebagai umat muslim, wajib mempercayai bahwa dibukanya ilmu dunia seperti teknologi AI ini pasti dengan ijin Allah Azza wa Jalla.
“Ibroh yang didapat adalah perkembangan AI ini merupakan ujian dari Allah Azza Wa Jalla, apakah manusia meningkatkan kualitas ibadahnya atau tidak. Mengingat perkembangan teknologi memungkinkan manusia lebih banyak memperoleh kemudahan pada aspek waktu, energi dan sebagainya,” ungkap pak Irwan.
Sejatinya patut disyukuri sebagai sarana mempermudah ibadah umat muslim. Seperti pesawat terbang mempermudah safar dalam rangka ibadah haji. Telepon, internet mempermudah silaturahim dan silaturahmi.
Irwan menjelaskan bahwa AI memungkinkan mesin untuk belajar dari pengalaman, menyesuaikan input-input baru dan melaksanakan tugas seperti manusia. Dengan demikian, sebenarnya AI tidaklah seperti yang digambarkan oleh orang awam akan menggantikan peran-peran para pakar, lebih-lebih peran ulama dalam bidang keagamaan.
Dalam hal ini AI sebenarnya tidaklah secerdas manusia karena tidak didesain untuk problem solving.
“Insya Allah begitu,” pungkas pak Irwan.
Penulis: Kumara Adji
Editor: Kumara Adji