Di Acara Konsolidasi Pimpinan, Prof Mu’ti Bahas Hubungan Buya Hamka, Bung Karno, dan Muhammadiyah

Umsida Menyapa
4 min readJan 15, 2024

--

Dok Humas Umsida

Dalam acara konsolidasi Pimpinan dan Gerakan Muhammadiyah yang merupakan kolaborasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) dengan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo, turut menghadirkan sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Dr Abdul Mu’ti MEd.

Dalam pemaparan materinya, Prof Mu’ti menjelaskan tentang perjuangan Buya Hamka, seorang tokoh Muhammadiyah, sastrawan, filsuf, dan penulis. Menurutnya, film ini sangat cocok terutama bagi seseorang yang sedang berjuang dan berdakwah di persyarikatan Muhammadiyah.

Bentuk perjuangan Buya Hamka

“Yang menariknya lagi di film tersebut, bagaimana seorang Buya, seorang ulama yang luar biasa, sangat peduli dengan keadaan umat dan bangsa. Bagaimana Buya Hamka ikut berjuang melawan upaya agresi Belanda di Sumatera Barat, dan bagaimana berjuang lewat media dengan membuat penerbitan berbagai tulisan seperti Panji Masyarakat,” ucap salah satu cendekiawan Islam Indonesia itu.

Lihat juga: Kolaborasi dengan PDM, Umsida Gelar Konsolidasi Pimpinan dan Gerakan Muhammadiyah Sidoarjo

Selain itu, lanjutnya, bagaimana beliau juga berjuang melalui politik. Kemudian, beliau juga seorang sahabat baik Bung Karno saat perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan. Lalu tanpa ada proses pengadilan, Buya Hamka di penjara dengan alasan politik karena membuat tulisan yang mengkritik keras kebijakan politik Bung Karno.

Diketahui bahwa pada tahun 1960-an, di Indonesia memang sedang terjadi ketegangan politik yang luar biasa antara Bung Karno dan berbagai kelompok umat Islam, terutama dengan pimpinan Masyumi. Lalu, ada pula ketegangan dengan kelompok yang dianggap bertentangan dengan Bung Karno yang akhirnya dibubarkan, salah satunya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Prof Mu’ti melanjutkan, “Walaupun versinya ada dua. HMI mengatakan tidak bubar, tapi membubarkan diri. Sedangkan versi pemerintah, HMI dibubarkan oleh Bung Karno. Sementara HMI dibubarkan, Muhammadiyah mendirikan (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Nahdlatul Ulama (NU) mendirikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),”.

Poin perjuangan Buya Hamka

Dok Humas Umsida

Sekum PP Muhammadiyah yang pernah belajar di School of Education, Flinders University of South Australia tersebut memetik poin menarik dari sosok Buya Hamka. Beliau merupakan ulama yang tidak hanya sebagai ulama murni yang hanya menyampaikan taklim-taklim. Tapi juga concern dengan kehidupan keumatan dan bangsa. Kemudian, ia mendapatkan tiga poin menarik yang menurutnya perlu disampaikan.

“Yang pertama, bagaimana Buya tetap tegar dengan sikap dan pandangan politiknya walaupun mendapatkan tekanan yang luar biasa. Yang kedua, beliau tetap produktif walau sedang dipenjara. Bahkan atas saran istrinya, Siti Raham, Buya Hamka melanjutkan menulis tafsir Al Azhar selama di penjara. Dan yang ketiga, walaupun beliau di penjara Bung Karno tanpa mengetahui kesalahannya, tapi ketika Bung Karno wafat, yang mengimami jenazah beliau adalah Buya Hamka,” ujarnya.

Lihat juga: Support Perkembangan Akademik Mahasiswa, Umsida Bangun Fasilitas Terbaik

Dari peristiwa ini, Prof Mu’ti menyimpulkan bahwa seseorang boleh memiliki perbedaan haluan politik dan pengalaman politik yang pahit. Tapi tentang ukhuwah dan persaudaraan, tidak bisa goyah dan rusak karena perbedaan politik itu.

Keterkaitan perjuangan Buya dan Muhammadiyah

Dok Humas Umsida

Perjuangan Buya Hamka tersebut berkaitan dengan Muhammadiyah. Pada saat Muhammadiyah sedang mengalami ketegangan politik yang luar biasa dengan Bung Karno. Yang tahun-tahun itu secara politik, Bung Karno memang sangat dekat dan dikelilingi oleh mereka yang berhaluan komunis. Dan karena itu memang ketegangan para tokoh khususnya Masyumi sangat luar biasa. Selain Buya Hamka, Kasman Singodimedjo, seorang Jaksa Agung Republik Indonesia juga dipenjara.

Prof Mu’ti melanjutkan cerita tentang keterikatan Bung Karno dan Muhammadiyah. Walau secara politik, tutur Prof Mu’ti, relasi Bung Karno dengan banyak tokoh muslim cukup renggang, namun secara pribadi beliau tidak pernah memusuhi Muhammadiyah. Hal ini terlihat saat peristiwa setengah abad Muhammadiyah tahun 1962 yang digelar di Gelora Bung Karno. Beliau dilarang datang oleh orang-orang sekitarnya. Namun Bung Karno tetap beranjak ke acara tersebut.

“Beliau bahkan menyampaikan pidato yang berjudul Makin Lama Makin Cinta yang berisi tentang bagaimana visi dan pandangan keagamaannya. Menjelaskan bagaimana menjadi anggota Muhammadiyah, termasuk mengeluh karena tidak pernah diminta iuran oleh Muhammadiyah,”.

Salah satu bagian dari pidatonya itu, Bung Karno berpesan agar ketika wafat, beliau bisa diselimuti bendera Muhammadiyah.

Lihat juga: Bentuk Karakter Mahasiswa Demi Wujudkan Wajah Masa Depan Bangsa

Satu lagi representasi hubungan baik antara Bung Karno dan Muhammadiyah adalah ketika beliau mendapatkan gelar doktor honoris causa dari Universitas Muhammadiyah Jakarta.

“Jadi walaupun dalam kondisi politik dengan para tokohnya cukup keras, namun ikatan Bung Karno dengan Muhammadiyah tetap baik,” tegas Prof Mu’ti.

Penulis: Romadhona S.

--

--