i am just afraid if you get sick.

neea
4 min readJul 13, 2023

--

Gedung health center yang berada di samping gedung rektorat memang tidak ramai. Hanya ada beberapa mahasiswa yang mengantre untuk diperiksa atau mahasiswa yang akan berolahraga di pusat gym dilantai tiga. Mei duduk di kursi tunggu dengan jaket tebal yang menyelimutinya. Ini bukan kali pertama dirinya datang berobat karena begadang atau bahkan tidak tidur untuk mengerjakan tugas.

Ting.

Satu pesan masuk yang cukup membuat Mei kaget, ‘Dimana?’ pesan singkat yang kirimkan oleh kekasihnya. Bagi Mei, ini adalah saat yang tidak tepat untuk berbohong. Namun, Mei lebih memilih untuk tetap berbohong bahwa dirinya berada di kamar kosnya. Tentu pilihan Mei tersebut berakhir memperkeruh keadaan, Mei yang semula tidak ingin kekasihnya khawatir justru berakhir memantik kemarahannya. Beberapa saat setelah pesan yang Mei kirimkan hanya dibaca, Mei lantas memejamkan mata untuk meringankan beban di kepalanya hingga terdengar seseorang duduk disampingnya. Mei membuka matanya dan mendapati Dwiki duduk tanpa menoleh atau berniat menyapanya. Hingga Mei dipanggil ke dalam ruangan, Dwiki mengikutinya tapi masih setia dengan diamnya.

“Jangan keseringan begadang, ya. Obatnya nanti dihabiskan. Khusus yang ini diminum sebelum makan,” ucap Dokter yang terlihat sudah hafal dengan keluhan yang Mei sampaikan. Mei hanya mengangguk, Dwiki justru yang terdengar antusias mendengarkan semua penjelasan yang Dokter tersebut berikan mulai dari makanan apa saja yang bagus untuk dikonsumsi atau tidak.

Dwiki dan Mei masih setia dengan diamnya hingga mobil yang mereka tumpangi telah sampai di halaman kos milik Mei. Dwiki tetaplah Dwiki yang akan selalu membukakan pintu mobilnya untuk Mei. Mei mengira bahwa Dwiki akan segera pulang setelah mengantarkannya pulang. Namun, dugaan itu salah. Dwiki mengambil satu kantung plastik yang penuh dengan aneka buah-buahan, camilan dan minuman yang Mei sukai. Kapan dia membelinya? Batin Mei. Hingga Mei membuka pintu kamarnya, Dwiki dengan cepat masuk dan meletakkan barang bawaannya di atas meja. Mei masih memandangi Dwiki yang dengan cekatan membersihkan kamarnya. Tumpukan kertas ujian yang berserakan, laptop, catatan, plastik cemilan yang kosong atau bahkan gelas bekas kopi yang menemaninya tidak tidur semalaman. Dwiki sibuk dengan pekerjaannya dan Mei masih setia memandanginya. Mata Mei mulai memanas melihatnya.

Kemarahan seseorang yang selalu menunjukkan sisi aneh dan hangat seperti sebuah mimpi buruk bagi Mei. Terlebih hal yang memantik kemarahan tersebut karena dirinya tidak cukup baik dengan dirinya sendiri. Wajar jika Dwiki marah kepadanya. Namun, semarah-marahnya Dwiki dia akan tetap peduli kepadanya. Mei menangis.

Dwiki segera mencuci tangan dan menghampiri kekasihnya yang belum beranjak dari belakang pintu kamarnya. “Cup, cup, bocilku. Maafin aku, ya. Sudah diamin kamu,” ucap Dwiki sambil memeluk Mei. Bukannya tenang, Mei tangis Mei justru semakin pecah. “Sayang, ada yang sakit?”

“Hati aku. Kamu harusnya marahin aku. Bukannya nemenin aku berobat, bersihin kamarku, beliin aku buah, cemilan atau bahkan mesenin makan. Harusnya aku lebih sayang sama diri aku sendiri. Tapi justru … aku sayang kamu, aku bingung mau ngomong apa,” jawab Mei dengan suara yang terbata-bata ditengah tangisnya. Dwiki sesekali mencium puncak kepala kekasihnya dan mengusap punggungnya agar lebih tenang. “Aku minta maaf karena nggak dengerin kamu buat cepet tidur. Harusnya aku …”

“Cup, cup, udah sayang. Istirahat, gih. Kamu denger dokternya bilang apa, kan? Istirahat yang cukup. Minggu depan masuk minggu ujian. Tempat tidur kamu udah aku beresin, ayo.” Dwiki sedikit melepaskan pelukannya. Melihat bahu Mei yang masih bergetar, Dwiki kembali memeluknya. Mungkin ini yang lebih Mei butuhkan. Dwiki mengingat betapa terkejutnya saat salah satu temannya yang hendak berolahraga di pusat gym health center mengirimkan sebuah foto bahwa Mei sedang mengantre untuk diperiksa dengan jaket tebalnya. Mengetahui jawaban bohong dari Mei lantas membuat dirinya yakin bahwa Mei sengaja tidak ingin memberitahunya. Sejujurnya Dwiki tidak ingin marah, hanya saja ketika mengetahui Mei tidak tidur semalaman untuk mengerjakan tugas membuatnya berpikir betapa tidak bergunanya dia. Sikap diamnya tadi justru membuat Mei semakin merasa bersalah, Dwiki juga merasa bersalah karena telah melakukannya.

“Nggak mau, aku mau duduk di sini sama kamu.” Mei justru memilih untuk duduk diatas karpet bulu miliknya bersama Dwiki.

“Aku ambilin selimut sekalian aku buat minuman hangat dulu, ya. Habis itu makan, soalnya bubur ayam kesukaan kamu bentar lagi sampai. Oke?” Mei mengangguk. Kadang mei berpikir apakah benar Dwiki anak terakhir dalam keluarganya. Semua hal yang Dwiki tunjukkan kepadanya sangat berbeda dengan definisi anak terakhir yang sering Mei dengar. “Selimut kamu gede banget, bisa buat satu RT,” Dwiki kembali dengan candaannya.

Dwiki dengan telaten menemani Mei makan dan menyiapkan segala sesuatu agar Mei mau meminum obat-obatan yang telah diberikan oleh dokter. Mei sudah beranjak menuju tempat tidurnya. “Jangan pulang, tidur di sini aja, sama aku,” ucap Mei. Dwiki yang semula menonton anime kesayangannya –boruto– lantas menjedanya.

“Aku temenin sampai tidur ya, sayang. Habis itu aku pulang. Kalau mau tidur bareng nanti aja ah, kalau udah nikah. Kenapa bocilku jadi manja banget kalau lagi sakit gini?” Ada raut sedih pada wajah Mei ketika Dwiki menolaknya. Menyadari hal tersebut, Dwiki menghampiri Mei. Merapikan rambut panjang Mei yang berantakan. “Jangan sedih, dong. Nanti aku beneran nggak pingin pulang. Nanti kalau ada apa-apa kamu langsung telpon aku ya.”

“Iya,” jawab Mei sambil membenarkan posisi tidurnyanya.

“Tidur, gih.” Dwiki masih merapikan rambut Mei. Membelainya lembut.

“Kamu nggak marah sama aku?” Tanya Mei tiba-tiba.

“Marah, besok kalau udah sembuh bakal aku marah-marahin sampai kamu bosen dengerinnya.” Mei kembali sedih. “Nggak, cil. Aku bercanda. Mau aku sayang-sayang aja, deh.”

Butuh waktu yang lama hingga Mei benar-benar lelap dalam tidurnya. Dwiki berusaha melepaskan genggaman tangan Mei dengan hati-hati. Kalau tidur ternyata anteng, batin Dwiki. Sudah satu jam lamanya Dwiki memandangi kekasihnya yang sudah terlelap. Dwiki beranjak dari tempat duduknya, mencium kening Mei dan menutup pintu dengan pelan. Ditemani dengan lampu tidur lebay dan aroma citrus yang kuat, semoga tidurmu lelap dan cepat kembali sehat.

neea.

--

--

neea

I write this story to remember all the good things in my life.