Nihilisme Nietzsche & Shakespeare, dan Absurditas Camus

Nabil Rahabibie
4 min readDec 9, 2021

--

cтудент-нигилист, Ilya Repin

Pukul 12 malam, jam dinding berdetak kencang menandai pergantian hari. Penulis berbisik-bisik kepada diri sendiri, tidak lupa kaki disandarkan di meja selama menulis artikel ini. Beberapa menit kemudian, kedua ibu jari harus dimainkan sembari mata terpejam selama beberapa menit, memikirkan ide-ide gila yang sebelumnya pernah terjadi di dalam sejarah umat manusia, ironisnya dianggap oleh beberapa orang sangat arkais dan bodoh. Tulisan yang masih buntung, hasil malam-malam sebelumnya yang belum tuntas gelapnya.

Tulisan ini berbicara mengenai ide gila Nietzsche, diceritakan dari Shakespeare, dan dicerna oleh Camus. Kumpulan orang yang memang gila terhadap idenya sendiri. Nihilisme mewakili orang-orang yang tertindas, orang-orang yang dibungkam, orang-orang yang dimutilasi, dan orang-orang yang sedang rebahan seperti saya.

Pada awal abad kesembilan belas, Friedrich Jacobi menggunakan kata “nihilisme” untuk mencirikan idealisme transendental secara negatif. Namun, kata itu baru dipopulerkan setelah kemunculannya dalam novel Fathers and Sons karya Ivan Turgenev (1862) di mana ia menggunakan “nihilisme” untuk menggambarkan saintisme kasar yang dianut oleh karakternya Bazarov yang mengkhotbahkan total negation creed.

Di Rusia, nihilisme diidentikkan dengan gerakan revolusioner yang terorganisir secara longgar (C.1860–1917) yang menolak otoritas negara, gereja, dan keluarga. Dalam tulisan awalnya, pemimpin anarkis Mikhael Bakunin (1814–1876) menyusun permohonan terkenal yang masih diidentikkan dengan nihilisme: “Let us put our trust in the eternal spirit which destroys and annihilates only because it is the unsearchable and eternally creative source of all life–the passion for destruction is also a creative passion!” (Reaksi di Jerman, 1842). Gerakan ini menganjurkan tatanan sosial berdasarkan rasionalisme dan materialisme sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan kebebasan individu sebagai tujuan tertinggi.

Dengan menolak esensi spiritual manusia demi esensi materialistis semata, nihilis mencela Tuhan dan otoritas agama sebagai antitesis terhadap kebebasan. Gerakan itu akhirnya memburuk menjadi etos subversi, penghancuran, dan anarki, dan pada akhir 1870-an, seorang nihilis adalah siapa pun yang terkait dengan kelompok politik klandestin yang menganjurkan terorisme dan pembunuhan.

Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk Friedrich Nietzsche. Bagi Nietzsche, tidak ada tatanan atau struktur objektif di dunia ini kecuali apa yang kita berikan. Menembus fasad yang menopang keyakinan, nihilis menemukan bahwa semua nilai tidak berdasar dan alasan-alasan tersebut tidak berdaya. “Setiap kepercayaan, setiap mempertimbangkan sesuatu yang benar,” tulis Nietzsche, “pasti salah karena tidak ada dunia yang benar”. Runtuhnya suatu makna, hal-hal seperti relevansi, dan tujuan ini jelas akan menjadi the most destructive global conflict in history, yang merupakan serangan total terhadap realitas dan tidak kurang dari krisis terbesar umat manusia:

What I relate is the history of the next two centuries. I describe what is coming, what can no longer come differently: the advent of nihilism. . . . For some time now our whole European culture has been moving as toward a catastrophe, with a tortured tension that is growing from decade to decade: restlessly, violently, headlong, like a river that wants to reach the end. . . . (Will to Power)

Penulis menyadari bahwa sosok Nietzsche sudah terbiasa melihat entitas kuno yang hancur di depan matanya. Berabad-abad sebelum masa sekarang. Selama Renaisans, William Shakespeare dengan fasih merangkum perspektif nihilis baru yakni nihilis eksistensial. Dalam perikop terkenal pada bukunya “Macbeth”, dia menyuruh Macbeth mencurahkan rasa jijiknya terhadap kehidupan:

Out, out, brief candle!
Life’s but a walking shadow, a poor player
That struts and frets his hour upon the stage
And then is heard no more; it is a tale
Told by an idiot, full of sound and fury,
Signifying nothing.

Benang merah dalam sebuah literatur eksistensialis adalah bagaimana caranya kamu mengatasi penderitaan emosional yang timbul dari konfrontasi kita dengan ketiadaan, dan mereka mengeluarkan energi besar untuk menjawab pertanyaan apakah bertahan hidup itu mungkin. Jawaban mereka adalah “Ya” yang tentu saja dapat memenuhi syarat, menganjurkan formula komitmen baru yang penuh gairah dan ketabahan tanpa ekspresi. Dalam retrospeksi, itu adalah anekdot yang diwarnai dengan keputusasaan karena hidup di dunia yang absurd sama sekali tiada pedoman, dan terhadap segala tindakan apa pun yang bermasalah. Komitmen penuh gairah, baik itu untuk penaklukan, penciptaan, atau apa pun, itu sendiri tidak ada artinya.

Ini adalah situasi yang tidak masuk akal. Menulis dari perspektif pencerahan yang absurd, Albert Camus mengamati bahwa penderitaan Sisyphus, yang dikutuk untuk perjuangan abadi yang tidak berguna, adalah metafora yang luar biasa untuk keberadaan manusia (The Myth of Sisyphus, 1942).

Camus, seperti para eksistensialis lainnya, yakin bahwa nihilisme adalah masalah paling menjengkelkan di abad kedua puluh. Meskipun ia berargumen dengan penuh semangat bahwa individu dapat menanggung efek korosifnya, karya-karyanya yang paling terkenal mengungkapkan kesulitan luar biasa yang ia hadapi dalam membangun kasus yang meyakinkan. Camus berpendapat bahwa setiap orang memiliki tangan berdarah karena kita semua bertanggung jawab untuk membuat keadaan menyesal menjadi lebih buruk dengan tindakan bawaan dan kelambanan kita.

Berangkat dari keputusasaan bodoh tersebut, apakah konsep nihilisme adalah hal pokok bagi manusia dibandingkan dengan konsep absurditas? Atau mungkin ini hanyalah ilusi kita sebagai kaum pemuja serba instant di zaman reformis seperti sekarang? Bodoh sekali ya kawan.

Sudah lebih dari satu abad sejak Nietzsche mengeksplorasi nihilisme dan implikasinya bagi peradaban. Seperti yang dia prediksi, dampak nihilisme pada budaya dan nilai-nilai abad ke-20 telah menyebar, tenor apokaliptiknya menelurkan suasana suram dan banyak kecemasan, kemarahan, dan teror. Menariknya, Nietzsche sendiri, seorang skeptis radikal yang sibuk dengan bahasa, pengetahuan, dan kebenaran, mengantisipasi banyak tema postmodernitas. Sangat wajib untuk dicatat, bahwa dia percaya kita bisa dengan harga yang mengerikan akan bekerja melalui nihilisme. Jika kita selamat dari proses penghancuran semua interpretasi dunia, kita mungkin dapat menemukan jalan yang benar bagi umat manusia:

I praise, I do not reproach, [nihilism’s] arrival. I believe it is one of the greatest crises, a moment of the deepest self-reflection of humanity. Whether man recovers from it, whether he becomes master of this crisis, is a question of his strength. It is possible. . . . (Complete Works Vol. 13)

Nihilisme adalah bentuk kehampaan dunia. Hanya secarcik puisi dalam bingkaian kertas antara nasab “nihilisme” seorang Friedrich Nietzsche, William Shakespeare, Albert Camus dan absurditas dunia melalui nihilisme.

--

--

Nabil Rahabibie

marx — writer who are not talented at writing, but are able to voice what should not be voiced.