Gita Sav, Childfree, dan Narsistik

Ika Rakhmah
7 min readOct 7, 2023

--

(Dikutip dari worldinikaswords.blogspot.com yang dipublikasikan pada 9 Februari 2023)

Photo by Halfpoint on Istockphoto

Sampai kemarin, terhitung sudah 3 hari #Gitasav (lagi-lagi) trending di Twitter, buntut balasan komentar dia yang mengaitkan anti-aging dan tidak punya momongan. Beberapa orang mungkin kenal Mbak Cantik dari buku Rentang Kisah, dari adaptasi movie-nya dengan judul yang sama, dari blog-nya, dan sisanya dari pemberitaan media tentang pilihan Kak Gita dan suami untuk childfree di akhir 2021 lalu.

Statement by GitaSav on Instagram

Menurutku, pilihan Kak Gita untuk childfree sejuta persen hak dia sebagai individu.

Aku tim yang percaya kalau marriage dan ‘menjadi ibu’ IS NOT FOR EVERYONE.

Orang dengan kondisi keluarga yang tidak utuh selama 20 tahun, 6 tahun bully-an jaman SD, stigma masyarakat terkait anak broken home, dan unstable mentally sepertiku akan berpikir ribuan kali untuk menikah. Anak berbeda dengan kambing. Mereka tidak hanya perlu diberi makan dan tempat tinggal yang layak. Orang tuanya harus belajar parenting, memperbaiki diri karena nantinya dijadikan teladan, dan sederet tanggungjawab berat lagi mulia lain. Apalagi mendekati akhir zaman, dunia sudah semakin gila. Pencabulan bocah TK yang belakangan ramai, tiga pelakunya adalah anak berumur 8 tahun loh. Rasanya lalai sedikit saja, anak-anak kita bisa jadi gangster. Atau pem-bully. Atau minimal seperti mas-mas berknalpot brong yang setiap lewat bikin aku istighfar.

Aku selalu punya ketakutan kalau nantinya anakku harus mengalami ‘mimpi buruk’ yang sama dan berakhir dengan membuat skenario terlalu jauh. Diberi tugas menulis puisi tentang ayah, bingung. Mengisi angket penghasilan ayah, bingung. Belum lagi kekhawatiran bagaimana kalau sampai dia merasa tidak bangga lahir dari rahimku? Bagaimana kalau alergiku menurun dan aku disalahkan? Bagaimana kalau aku tidak mampu memberi penghidupan yang layak? Bagaimana kalau aku dan suami harus berpisah, lalu tidak kuat menanggung semuanya sendiri?

Membahas anak, ada juga story WA teman yang kukenal deket hampir setiap hari diisi cecaran mertua karena belum hamil setelah 6 tahun pernikahan. Beliau seenaknya menumpahkan kekecewaan ke si menantu, meski ada kemungkinan infertil dari pihak suami. Mau tidak mau, apa yang kusaksikan menambah pertimbanganku sampai ke pemikiran, “Apa kalau nikah, gue sama duda cerai mati anak satu aja ya?” hanya demi mengurangi tekanan yang nantinya kuterima dari orang-orang.

Kapan punya anak?” pun masuk ke daftar pertanyaan sensitif yang aku hindari bersama topik lulus, kerja, dan menikah ketika berbasa-basi.

Padahal tujuan Allah memasangkan pria dan wanita dalam ikatan pernikahan yang sebenarnya sudah tertuang jelas dalam surat Ar-Rum (21); memberikan rasa tentram dan kasih-sayang sebagai tanda kekuasaan Allah S.W.T untuk kemudian menjadi teman ibadah sepanjang hayat, bukan untuk punya anak. Orang-orang yang salah kaprah jadi lancang, jadi diskriminatif ke pasangan yang tidak (atau belum) bisa punya momongan karena alasan medis, dan mengonfrontasi pasangan yang memilih tidak punya anak dengan berbagai pertimbangan.

Jangan punya anak hanya demi memenuhi tuntutan sosial atau karena sudah menikah.

“Kenapa ya, ide childfree ini banyak dateng dari pihak perempuan. Takut nggak ramping kah?”

Takut ke sistem patriarki di Konoha lebih tepatnya. Toddler kurus yang disalahkan emak-nya. Anak bandel yang disalahkan (lagi-lagi) emak-nya meski kewajiban mendidik harusnya diemban bersama. Gilanya, di kasus perselingkuhan, tidak jarang si istri disalahkan karena dianggap kurang bisa menjaga penampilan atau kurang dalam melayani. ‘Rujakan’ pun lebih sadis ke wanita simpanan dibanding ke pihak pria.

Lahiran caesar saja kadang dipermasalahkan loh meski sama-sama sakit! Memang pernah cowok khitannya laser, iris gunting, atau bedah standar dibahas-bahas? Tidak kan?

Yang disayangkan dari Kak Gita adalah dia lupa status ‘public figure’ yang disematkan di bio IG-nya tuh sangaaaaaaat berat konsekuensi dan tanggungjawabnya. Ada opsi lebih bijaksana yang aslinya bisa dia pilih. Jawab saja ‘terima kasih’ atau berhubung dia cosmetic chemist, bisa dikaitkan dengan kandungan skincare dan perawatan wajah. Bisa juga bilang istirahat cukup, pola hidup sehat, makan makanan bergizi, hindari alkohol dan merokok atau sejenisnya agar tidak menyulut netizen sensi. Selesai.

Beberapa netizen beranggapan kata ‘you’ yang dipakai Kak Gita membuat para mamah merasa kalimat itu ditujukan ke mereka. Kadang salah pemilihan kata sedikit aja, bisa berimbas ke multitafsir atau membuat orang lain jadi salah persepsi. Lain kepala, lain juga argumennya. Ada yang merasa kalau Kak Gita trying too hard to show off to the society and get the validation that she’s happy with her decision when no one actually cares (lagi). Yang lebih ekstrim, beberapa menuduh Kak Gita ‘paedophobia’. Yang pro-Gita balas salty ke ibu-ibu yang dianggap mencari teman sependeritaan pasca punya anak.

Kemarahan netizen kali ini sepertinya buntut panjang dari kontroversi dia yang sudah-sudah such as Popo, LGBTQ+ serta isu Qatar, dan stunting. Well, yang terakhir memang agak ironis si berhubung Kak Gita pernah presentasi topik yang sama di launching Hidup Sehat hasil kerja sama antara RuangGuru, Rumah Indofood, dan FKM Universitas Indonesia. Buatku pribadi, cercaan yang berkaitan dengan medical condition such as ‘idiot’, ‘autis’ dan ‘stunting’ memang sudah cross the line si.

Dulu, sebelum disibukkan dengan tugas akhir, aku sempat follow up tentang Kak Gita. Seingatku pun, di tahun 2015 dia pernah berangan-angan di blog-nya tentang bagaimana anak dia nantinya akan dididik dan disekolahkan. Dua anak, di sekolah negeri untuk belajar kesederhanaan, dan tarbiyah setiap Jum’at ceunah. Lho, kok sekarang beda?

Aku jadi merasa ada yang janggal. Ke-kepo-anku berakhir dengan membaca buku (cuplikan doang si di TikTok soalnya nggak punya heheh…), blog lama, website dia yang baru, dan wawancara kak Gita bareng Great Mind. It all finally started to make sense!

Di sini aku tidak akan menghakimi tulisan Kak Gita atau ibunya (dari POV Kak Gita) karena hubungan antar manusia tuh kompleks. Apalagi, ini hanya sepenggal cerita dari satu sudut pandang.

Wanita bisa aja menjadi biological mother, tapi belum tentu bisa jadi sosok ‘ibu ideal’. Emak-nya Norma Risma contoh nyatanya hiiihhhhhhh gedek pisan aing teh. A house doesn’t make a home ketika peran individu di dalamnya menjadi disfungsional. Kita harus belajar mengakui, tidak semua orang tumbuh di ‘Keluarga Cemara’ seperti frasa khas masyarakat TikTok.

Berdasarkan wawancaranya bersama greatmind.id, Kak Gita merasa bertendensi besar menuruni Narcissistic Personality Disorder (NPD) dari sang ibu. Dia mengaku dibesarkan dengan rasa takut berlebihan ke beliau, tidak diberi ruang untuk privacy-nya, dicibir ketika marah, dan kondisi lain yang membuat dia merasa hubungan mereka tidak harmonis. Kak Gita merasa dilahirkan hanya karena kedua orang tuanya ingin punya anak, bukan sebuah berkah seperti kata orang kebanyakan. Makanya, dia merasa tidak mampu secara mental dan kondisinya ‘tidak ideal’ untuk memiliki momongan.

Interview by Marissa Anita on Greatmind

Setelah melewati pemikiran panjang dan diskusi dengan banyak pihak, dia memilih untuk tidak mengambil peran menjadi ibu.

Yang perlu di-underline di sini adalah keputusan childfree itu atas kesepakatan bersama suaminya (Kak Paul) dan diterima dengan besar hati oleh keluarga, termasuk si ibu. Di luar itu, kak Gita tetap sayang dan berterima kasih ke beliau karena sudah membesarkan dan mendidiknya semampu beliau meski tidak jarang harus melewati kondisi serba sulit.

Who hurted you, girl?” tidak selalu pertanyaan sia-sia.

Luka batin dia valid dan berpengaruh besar ke cara dia memandang persoalan. Sampai di sini pun, aku merasa menjadi lebih bisa memahami—dan sedikit memaklumi, may be?—sudut pandang Kak Gita. Itulah pentingnya tabayyun.

Just a sarcasm jokes’ mungkin agak sulit diterima sebagai alasan munculnya komentar pembuat huru-hara itu, tapi coba posisikan diri sebagai Kak Gita. Keputusan yang harusnya ranah sangat personal dan tidak diambil secara impulsif (lagi-lagi) diikut-campuri netizen seperti September 2021 lalu. Kata-kata yang dianggap kasar di story dan di live Instagram, bisa jadi salah satu bentuk coping mechanism setelah (lagi-lagi) dikonfrontasi dan disudutkan. Apalagi, banyak jari manusia yang keterlaluan sampai menuduh dia infertil, paedophobic, dan ngata-ngatain fisik. Tentang agama? Who are we to judge?

Aku sendiri bertemu langsung dengan orang-orang yang kuanggap belum siap—entah suatu hari bakal siap atau nggak, wallahualam—menjadi orang tua. Contohnya hari Minggu ketika bantu jaga toko keluarga, datanglah sepasang suami-istri dan sang anak yang sepertinya masih toddler. Ayahnya tidak merasa sayang merogoh kocek di atas 30.000 untuk mendapatkan sebungkus rokok Sampo*rna Mild, tapi si adek hanya dibelikan kental manis dengan harga tidak sampai seperempat! Pandanganku tentu akan berbeda kalau kondisinya mereka serba kekurangan, bukan salah prioritas.

Ada cerita lain zaman Covid sedang parah-parahnya. Orang tuanya memakai masker buat menembus kerumunan pasar pagi. Eh, bayinya dibawa dengan stroller tanpa perlindungan padahal sistem imunnya masih sangat rentan. Kan bisa ditinggal di rumah. BAYI LOH BAYI! Kadang kasusnya jaket. Orang tuanya rapet-anget, anaknya ditaruh depan tanpa jaket saat bepergian sore atau malam hari.

Di Indonesia juga sempat ramai cerita bayi 6 bulan meninggal setelah dibawa motoran Tegal-Surabaya demi menonton pertandingan bola. Ada juga kasus bayi 3 tahun meninggal hipotermia setelah dibawa mendaki Gunung Soputan. Belum lagi Ria Ricis yang notabene influencer memberi teladan jelek sampai dikritik. Bapaknya nyetir jetski satu tangan, ibunya megang tongsis dan dalam kondisi tidak siap kalau hal si anak jatuh. Tanpa gendongan, tanpa pelampung, di paling depan, saat angin laut lumayan kencang, dan resiko Shaken Baby Syndrome karena ombak lumayan besar HANYA untuk konten di umur yang masih tujuh bulan. Wes tah

Kalau kalian belum siap berkorban dan menahan diri dari hal-hal yang beresiko membahayakan anak dan menjadikan bayi itu prioritas di atas kesenangan kalian, saranku mending tunda dulu buat punya momongan.

Di balik kontroversinya, Kak Gita juga punya sisi inspirasional loh, terutama sebagai cewek yang vokal dengan isu dan diskriminasi perempuan meski kadang kita sebagai puan sendiri tidak sadar. Dia juga sering berbagi konten ‘Beropini’ di Youtube channel-nya. Hal yang perlu diingat adalah tidak ada sosok sempurna yang sepenuhnya ideal untuk dijadikan panutan selain Rasulullah S.A.W. Cukup cuplik hal-hal baik dari Kak Gita untuk diteladani seperti independent-nya, skill dia survive di negeri orang, bermusik dia, prestasi akademik dia, kecintaan dia membaca dan berbagi ilmu, gitu-gitu deh.

Well, kalau buatku pribadi si, anti-aging paling manjur bukan Retinol atau childfree. Teteup duit dan supporting system yang solid.

--

--

Ika Rakhmah

Mengetik hal random tengah malam sebagai pengalihan dan untuk mengarsipkan kenangan. Menyukai hujan, gunung, laut, dan air terjun sekaligus.