The Nuruls: Cemoohan Classist dan Misogini
(Dikutip dari worldinikaswords.blogspot.com yang dipublikasikan pada 4 April 2023)
Sekian lama have no clue dan tidak nggople ke sebutan ‘The Nuruls’ yang wara-wiri di sosial media dan (sepertinya) berkonotasi negatif, jiwa kepo-ku akhirnya bangkit setelah kembali ramai di Twitter. Salah seorang selebtwit mencuit sudah belasan tahun menjadi korban pelecehan seksual sejak remaja hingga saat ini, di internet, karena bentuk tubuhnya. Dari sekian banyak respon, seorang cewek berhijab yang dianggap SA-enabler kemudian di-notice si selebtwit dan berlanjut dengan para fans yang melayangkan sindiran personal dan term ‘The Nuruls’ ke cewek tadi karena tampilan header-nya.
Sekarang kita akan fokus membahas term-nya dulu tanpa membenarkan tindakan pemilik akun Fafa.
Berikut asal-muasal penggunaan nama ‘Nurul’ dan definisinya menurut beberapa netizen:
“Ini tuh bermula dari satu tiktoker yg suka bikin konten lucu2an, dan salah satu karakter dia namanya Nurul dan emg sifatnya tuh sllu dibikin nyebelin dan ya jamet stereotip gitu dah. Skrg jadi menjalar ke twitter juga. Yakali org kompak²an mikir nama Nurul tanpa sebab.” — zqnqh
“Nuruls itu tipikal mbak-mbak sok Islami yang merasa dirinya paling benar dalam segala hal tapi standar ganda ke dirinya sendiri. Tipe babi no, pacaran yes. Biasanya pakai jilbab (meski tetep maksiat).” — kontolportable
“Cewek-cewek cringe, uneducated, low standard, might wearing hijab but always talk shits, etc. Lo bisa menjumpai Nuruls dengan mudah pas liat komenan Tik Tok Cipung Rafathar.” — robotgemes
‘Nurul’ dalam Bahasa Arab punya makna bagus yang berarti cerah dan bercahaya, tapi, ‘Nurul’ dalam konteks ini sudah mengalami peyorasi. ‘Nurul’ diasosiaskan dengan cewek berhijab yang besar di lingkungan Islam konservatif, sok alim, dan suka ikut campur urusan pribadi orang lain meski omongannya kontradiktif dengan dirinya sendiri yang masih bermaksiat. Misal salty ke orang yang nge-club padahal dia sendiri pacaran. Jaman ‘soju halal’ ramai di media sosial, istilah ‘Nurul’ juga sering disebut ketika cewek-cewek berhijab ingin ikut mencicipi meski menurut hukum Islam, sesuatu yang menyerupai—rasa atau aroma—makanan dan minuman yang memabukkan hukumnya juga haram. Sederhananya; munafik.
“Kenapa harus ‘Nurul’?”
Mungkin karena ‘Nurul’ dianggap nama khas ‘Islami’ dan common name di kalangan middle-class dibandingkan nama-nama seperti Adzkiya, Adiba, Queenza, atau Sybil kali ya? Classist dan cultural labelling banget.
Selain ‘Nurul’, ada ‘Naufal’ untuk versi cowoknya. Kalau di western sejenis Karen, Becky, Susan, Chad, Ken, dan Greg. Jauh sebelum istilah keduanya hitz, peyorasi nama untuk hal-hal berkonotasi negatif kayak ‘Ica’ (babi) dan ‘Bagas’ (babi ganas) sudah lebih dulu ada. Meski yang namanya ‘Nurul’ belum tentu cringe dan yang punya nasty behavior belum tentu namanya ‘Nurul’, pemilik asli nama ‘Nurul’ mulai banyak yang speak up di menfess. Mereka mengaku mulai risih, terganggu, bahkan tersinggung karena kemudian jadi bahan ledekan orang sekitar. Apalagi karena ‘Nuruls’ ini juga dicap uneducated, tidak melek isu-isu terkait perempuan, dan SA-enabler.
Ada juga ‘Ngabers’ untuk cowok yang dianggap seksis, patriarkis, mansplaining, & misoginis, tapi istilah ini diambil dari kata ‘bang’ yang bukan merujuk ke nama tertentu. Kenapa ‘Nurul’ beda?
Masih ingat sama definisi perempuan di KBBI yang dianggap misogini? KBBI I-IV dianggap misogini karena mencantumkan kata gabungan yang sifatnya peyoratif ( — jahat, — jalang, — nakal, — lacur, — simpanan, dll).
Nggakkah kamu merasa penggunaan ‘Nuruls’ untuk merepresentasikan hal-hal negatif pada cewek pun tindakan misogini?
Lebih miris kalau cemoohan seperti ini juga datang dari sesama cewek yang mengaku feminis dan sedang memperjuangkan hak-hak wanita akan rasa aman. Dengan membuat kita dan cewek lain ditempatkan di posisi superior dan inferior serta membenarkan stereotip yang beredar di society tuh sudah termasuk internalized misogyny.
‘Nuruls’ juga diidentikkan dengan motor Scoopy, helm bogo, seblak, Mie Gacoan, Janji Jiwa, Kopi Kenangan, dan selera fashion tertentu yang dianggep selera kampungan dan khas ‘mbak-mbak kabupaten’. Seakan-akan yang Starbucks, Sushi Tei, bermobil, dan kaya raya sudah pasti lebih melek isu-isu perempuan, lebih open-minded, dan bijaksana ketika bermedia sosial. Lagi-lagi classist dan cultural labelling banget. Come on, Alm. B. J. Habibie—kurang berkelas apa coba—aja suka olahan sederhana ikan kayak digoreng, dibakar, atau dijadikan sup. Pak Susilo Bambang Yudhoyono aja suka bakso! Tidak ada korelasi antara selera dan pola pikir.
“I am not even rich.”
Orang tidak harus kaya untuk jadi classist. Kamu bisa aja middle or even lower-class untuk ikut merendahkan orang lain. Wong sesama cewek saja bisa kok, apalagi sekedar kelasnya sama.
Menstereotip seseorang berdasarkan produk yang digunakan kondisi ekonomi dan kelas sosial tertentu is not funny at all.
Sebagai anggota sekte pemuja makanan pedes khas Bumi Pasundan, udang kejunya Gacoan, dan kopi susu + mentai toast Janji Jiwa, aku pun sewot. Kenapa si? Terjangkau? Karena semua kalangan pernah mencicipi? Karena ngopi jadi mainstream dan terkesan tidak lagi ber-hashtag ekskusif? Arogansi sejenis sebenernya bukan hal yang baru di budaya populer dan akhirnya mancing sekelompok orang merasa lebih superior dibanding yang lain karena masalah daya beli atau selera.
Your name or your food won’t degrade your value or class, but your words surely do, even if you’re wearing Loro Piana #ups