Menuju Puncak

Oleh Fransiska Dimitri

Pertama sekali saya masuk Mahitala, ada frasa seperti ini yang selau digaung-gaungkan… “Hati-hati kalo mimpi di Mahitala, hati-hati kejadian”.

Wawancara Bakal Tim WISSEMU. Di momen ini untuk kesekian kalinya, diingatkan : “Hati-hati bermimpi”. Sumber foto dari Audy Tanhati

Bagi seorang Dee-dee yang baru saja berhasil masuk ke dalam organisasi pencinta alam idamannya, tentu saja frasa tersebut membangkitkan semangat menggebu-gebu. Artinya, apapun yang saya cita-citakan pasti akan tercapai, kan? Tapi frasa tersebut justru memberikan dampak berbeda bagi Dee-dee yang baru saja berhasil menyelesaikan puncak ke-7 dalam rangkaian 7 Summits, Gunung Everest.

Hari sepertinya sudah cukup siang di tanggal 17 Mei 2018. Saya tiba di Camp 3 Everest jalur utara, dan terduduk di sebuah batu. Setelah melepaskan tangan dan pengaman saya dari genggamannya, Pemba mulai melanjutkan tugasnya : membersihkan campsite grup kami. Rekan-rekan Sherpa yang lain juga melakukan hal yang sama dalam ritme yang sangat sigap. Tenda-tenda grup kami sudah tidak ada lagi. Sehelai matras tertiup ke sana kemari, entah milik tenda yang mana. Sejauh saya melempar pandangan, tidak banyak wajah yang familiar di sini. Hanya beberapa rekan Sherpa dari grup kami.

Pemba — Shirdar kami dan bukan Pemba ‘pasangan’ saya, menyodorkan segelas minuman yang baru dituangkan dari termos. Saya sentak menerima, meniup dan meneguk kopi yang nyatanya sudah dingin. Sambil menunggu wajah familiar lain tiba di Camp 3, saya terus-terusan menghirup dan meniup gelas kopi di tangan kemudian hilang dalam lamunan.

Menunggu di Camp 3, setelah turun dari Puncak Everest

Mencoba mengingat apa yang terjadi 10–12 jam ke belakang. Saya baru mengkonsumsi 4–5 butir permen dan mungkin kurang dari 500ml air selama pendakian menuju puncak hingga sekarang. Gelas kopi saya letakan atas pertimbangan menjaga sistem pencernaan agar tidak rewel untuk kurang lebih 10–12 jam yang akan datang. Tapi tetap melamun, dan tidak sepenuhnya sadar akan realita. Cukup dingin tapi tidak terlalu.

Ada rasa perih yang muncul dari pergelangan tangan kanan. Pelan-pelan saya membuka sarung tangan liner dan menarik bagian tangan downsuit dari pergelanganl untuk mencari sumber rasa tadi. Terlihat bekas melepuh di pergelangan bagian dalam. Rupanya saat rappelling di 2nd Step, tangan saya terbeset tali. Namun baru terasa sekarang.. mungkin karena tadi saya sedang dalam fight mode. Rasanya keren juga, seperti luka perang. Ya, kan? Luka perang saat berjuang di Everest. Heroik betul! Demikian bujukan saya di dalam hati, dengan harapan saya tidak rewel mengeluh kesakitan.

Luka melepuh di pergelangan kanan saat rappeling di 2nd Step. (foto diambil setelah sampai EBC)

Saya belum juga sepenuhnya sejajar dengan realita. Masih dalam usaha menangkap ingatan yang sepotong-sepotong akan setengah hari yang lalu.

Rabu, 16 Mei 2018

Kami disambut Pasang dan Pemba Ketika tiba di Camp 3 (8.300mdpl). Saya tidak tahu persis jam berapa kami tiba. Jam tangan yang berada beberapa layer dibawah permukaan baju, membuat saya malas memastikan waktu kami memulai perjalanan atau tiba di tujuan. Rasanya waktu-waktu tersebut tidak juga relevan.

Hari masih siang. Saya merasa lebih berenergi dibandingkan hari sebelumnya saat kami tiba di Camp 2 (7.900mdpl). Pasang dan Pemba mengarahkan pada tenda kami. Setelah meletakan tas agar lebih leluasa bergerak, saya melanjutkan untuk melihat sekitar. Mencoba merekam keadaan yang ada dalam lensa kamera dan ingatan.

Ke arah utara terlihat Camp 2, sedikit di bawah kami. Lalu North Col/ Camp 1 dan juga puncak Changste yang embelah 2 cabang lembah Rongbuk : East Rongbuk Glacier, lokasi Advance Basecamp (6.400 mdpl) ; dan Rongbuk Glacier, lokasi Everest Basecamp. Selebihnya hanya sedikit puncak-puncak dengan es di pucuknya, sisa-sisa glacier, dan tanah/pasir kecoklatan. Menegadah ke sisi Barat Daya, ada Everest yang berdiri gagah. Gelisah, takut, atau antusias dan haru telah bercampur jadi tarikan nafas dalam dan cukup berat.

Hilda duduk di dalam tenda kami di Camp 3. Puncak Everest terlihat di belakang.

Setelah puas menyerap semuanya, kami siap masuk ke dalam tenda dan mulai mengatur posisi yang kondusif. Semua barang diletakan sesuai urutan pengunaannya.

Lepas dari Camp 1, budaya berkumpul untuk briefing menjadi sulit dilakukan. Tentunya dengan pertimbangan efisiensi energi pendaki di area kemah yang curam. Sehingga penyampaian informasi dilakukan oleh pemandu ke masing-masing tenda. Kenro, salah satu pemandu kami, kedapatan tugas menghampiri kami. Beberapa butir informasi yang disampaikan dan langsung kami tuangkan dalam buku catatan, guna memudahkan kapasitas kerja otak kami di Death Zone.

4 pm there will be hot water for dinner

9 pm hot water for breakfast

11.30 pm start the climb to summit

Use brand new can, with 4L/m

Angka- angka pada istilah yang tidak relevan, seperti makan malam di jam 4 sore dan sarapan di jam 9 malam.

Tidak banyak yang bisa dilakukan. Mengatur ulang posisi barang di dalam tenda untuk kesekian kalinya, atau duduk termenung sambil menikmati jatah oksigen yang tersisa untuk hari ini. Ada rasa nyaman sekaligus asing, kepala yang ringan sekaligus berat… Mungkin mabuk karena kekurangan atau kelebihan oksigen, saya tidak bisa menyimpulkan. Dan hanya mencoba menikmati.

Jam makan malam tiba, begitu juga air panas yang dibuatkan Pasang dan Pemba di dalam termos. Kami menyeduh nasi dan pilihan sup instan asal Jepang. Hidangan siap, dan kami makan dengan lahap. Tidak lupa dengan minuman hangat sebagai penutup makan malam.

Seperti naik gunung pada umumnya : kegiatan yang remeh temeh dilakukan di rumah, terasa sangat nikmat saat dilakukan di hutan atau gunung… Kali ini kami melakukannya 8000an meter dari permukaan laut, di Zona Kematian. Nikmat yang berkali lipat dilengkapi dengan tubuh kami yang berjuang melawan shut down.

Makan nasi seduhan dan menikmati oksigen sisa di Zona Kematian

Untuk kesekian kalinya, kami mengatur ulang posisi barang di dalam tenda dan bersiap untuk tidur. Namun tidur menjadi sulit di ketinggian ini, atau mungkin juga gelisah karena hari yang menunggu di saat kami bangun.

Suara angin halus yang membelai tenda, suara pendaki di luar yang masih berkegiatan , dan suara nafas kami di dalam masker oksigen terdengar jelas. Namun yang paling mengganggu adalah suara-suara di dalam kepala saya, memainkan belasan skenario terburuk yang mungkin terjadi pada perjalanan kami nanti.

Nyatanya saya berhasil lelap dalam tidur, entah sejak kapan atau berapa lama.

Jam sarapan tiba, begitu juga sapaan Pasang yang membangunkan. Kami terbangun. Sekedar kaget pada kesadaran sudah cukup menyerap energi saat ini. Sehingga kami tidak bergerak sigap menerima termos. Butuh beberapa saat hingga salah satu dari kami membuka sebagian kecil resleting pintu tenda dan menerima dua buah termos. Kami menyeduh nasi dan pilihan sup instan asal Jepang. Hidangan siap, dan kami menguyah dengan sangat perlahan. Tidak lupa dengan minuman hangat untuk membantu mendorong makanan.

Kali ini kami tidak menikmati ritual makan. Hanya jadi perjuangan memasukan makan ke dalam perut, sebelum ada perlawanan dari dalam.

Di tengah perlawanan ini, mendadak saya mendapat visualisasi Coca Cola kaleng yang dingin berbulir embun lengkap dengan bunyi bukaan kaleng dan aroma Coca cola yang terasa sangat nyata. Seperti dibangunkan pada kenyataan yang menggebu-gebu dan muncul rasa mengidam yang kuat. Tanpa pikir panjang, saya tetapkan Coca Cola menjadi misi besar hari ini. Bergerak konstan dan sigap, agar mencapai puncak dan menghampiri Coca Cola dingin di Advance Bascemp (ABC) secepat dan seaman mungkin.

Kami lolos ritual makan. Semua yang diseduh, sukses masuk ke tempat-tempat yang seharusnya.

Setelahnya kami berbenah, mulai dari alat makan dan alat tidur. Perlahan memastikan bendera-bendera dan angklung sudah masuk ke dalam tas, memastikan kamera dan batere cadangannya berada dekat dengan panas tubuh , memastikan permen dan makanan ringan diselipkan di setiap kantong Downsuit, memastikan google dan kacamata hitam berada di head ransel, kemudian memastikan kantung kemih kami kosong sebelum menggunakan Downsuit. Semua di lakukan di dalam tenda. Tentunya bergantian dan saling memberikan ruang yang cukup bagi yang membutuhkan.

Bergeser pada benda personal… saya melipat torniket ekspedisi Kak Dion, dan meletakannya bersamaan dengan bendera-bendera. Dan jam tangan analog Timex, yang tidak lagi saya gunakan sepanjang perjalanan Everest, namun telah menemani perjalanan saya dari Carstensz hingga gunung ke-7 tanpa absen. Beberapa token yang punya nilai sentimentil pada pendakian-pendakian selama ini.

Saya dan Hilda sudah dengan tabung oksigen baru yang terhubung dengan masker kami masing-masing. Saatnya meninggalkan kehangatan tenda dan menghadapi malam yang gelap dan dingin.

Ayo Dee, keluar sekarang biar cepet minum Coca Cola!

Bujukan dalam hati pada diri saya yang sempat menolak untuk keluar.

Selebihnya Gerakan saya lebih mengalir dan sedikit lebih sigap.

Gelap gulita dengan titik-titik cahaya headlamp yang sudah berbaris di atas kami. Pasang ‘mengambil’ Hilda dan Pemba ‘mengambil’ saya. Sekarang Pemba adalah pasangan saya, dan Pasang pasangan Hilda. Pasang memimpin Hilda dan Pemba memimpin saya. Kami langsung bergerak bergabung dengan barisan titik headlamp yang sudah memulai perjalanan lebih dulu dari kami. Tepat pukul 11.30 malam waktu Nepal, kami meninggalkan tenda.

Pemba bergerak sangat sigap, dan saya mengikuti sekuat tenaga. Seperti biasa beberapa meter di awal perjalanan, saya berjuang menyesuaikan diri dengan kondisi dan ritme yang diperlukan. Memasang dan melepaskan cowstail (pengaman) dengan sarung tangan mitten cukup memakan waktu. Namun hanya menggunakan liner juga terlalu dingin. Walaupun Pemba tetap aman dan stabil dengan sarung tangan wol nya. Gerakan saya tersendat-sendat, dan cukup melambat.

Deedee! Fokus, jangan nyusahin Pemba, jangan membahayakan Pemba, gerak yang sigap dan… COCA COLA!!!

Bersambung…

--

--

2 Perempuan, 1 Perjalanan, 7 Gunung

Kisah 2 langkah kecil menyusuri gunung-gunung tertinggi di dunia oleh F. Dimitri & Mathilda