A
5 min readJul 15, 2023

Bapak bukan lah sosok asing untuk seorang Shanaya. Bahkan jika boleh berbicara isi hati, Naya kepalang menganggap pria renta itu sebagai miliknya. Namun detik ini, ketika akhirnya sebelah tangan si gadis menggenggam kenop pintu ruang tidur yang ia tuju, gemuruh berpacu-pacu meruntuhkan kuat di sepasang lututnya.

Bergetar. Kaki Naya benar-benar bergetar.

Breathe, sayang,” Naya menoleh cepat saat suara Saka tiba-tiba berseru lembut di belakangnya. “Aku tunggu di luar dulu. Take your time.

Menorehkan senyum tipis, sang puan mengangguk lambat beriringan dengan hembusan napas dan tangannya yang sudah menekan gagang pintu. Terbuka. Seketika hawa sejuk dari kamar Bapak membuat deru jantung Naya semakin teraduk. Memberanikan diri untuk mendorong pintu ke arah dalam, cekat mendadak mencekik erat kerongkongannya.

Bapak tengah duduk memunggung di atas kursi roda.

Naya tidak langsung melangkah masuk. Untuk sekian detik, ia mematung dengan air mata yang berjatuhan tanpa ia rencanakan. Sama sekali Naya tidak menyangka, ternyata melihat punggung seseorang bisa terasa semenyakitkan ini.

Ruang tidur Bapak luas, bersih, dan terlihat sangat nyaman. Agaknya Bunda benar-benar merawat petakan itu dengan sedemikian rupa. Tidak terlihat ada satu pun sudut yang berdebu. Kaca dan cermin yang terpampang terlihat jernih. Alas lantai berbahan rotan terbentang hingga menyebabkan suara ketika akhirnya, telapak kaki Naya mencapai permukaannya. Bapak menoleh, dan untuk kedua kali, seluruh indera Naya berhenti bekerja.

Senyum manis milik Saka, sepasang mata jernih milik Tommy — benar-benar berasal dari Bapak. Dua perihal itu tengah tergulung menjadi satu dalam sebuah gurat hangat di wajah yang tengah memancar rindu. “Maaf ya, mbak Naya jadi lama nungguin Bapak.”

“Pak, nggak usah nggak usah. Bapak duduk aja nggak apa-apa.” Naya buru-buru menghampiri ketika Bapak hendak bangkit dari tempatnya.

“Lho, Bapak kan mau peluk anaknya? Mana bisa kalau sambil du — ”

Kalimat Bapak terputus. Tubuhnya yang semakin hari semakin kurus sontak membeku ketika Naya, tanpa berpikir, menunduk guna merentangkan dekap. Puan itu juga mengusap punggung ringkih Bapak, bertanya kabar dengan suara semanis madu, dan berakhir menumpu tubuh dengan lutut di atas lantai.

“Bapak sehat,” jawab Ardianto dengan senyum.

Sehat.

“Mbak bagaimana?”

Naya tersenyum. Mati-matian menahan haru. “Sama. Mbak juga sehat,” sahut Naya lembut. “Tadi mbak makan soto kudus Bunda, tapi Bapak katanya lagi nggak kepingin makan. Berarti sampai sekarang belum makan dong?”

“Sudah,” Bapak menunjuk piring bekas digunakan di atas nakas. “Tadi Bapak sudah makan di kamar. Kasihan kalian. Bisa-bisa hilang selera kalau Bapak juga ikut duduk di meja makan.”

Naya tersenyum. Hatinya sakit luar biasa mendapati fakta bahwa hidup terlalu kejam menghukum manusia dengan hati selapang Bapak. Meraih punggung tangan Bapak yang terkulai di atas paha, Naya lantas berseru seraya menahan air mata. “Kok Bapak mikirnya begitu? Kita semua pasti seneng kalau Bapak mau makan di meja makan.”

Hening. Suara dentuman dari jendela kamar yang terhempas karena tertiup angin bahkan tidak mengusik tatap keduanya. Dua pasang mata yang tengah memandang penuh kasih, benar-benar berdialog dengan begitu gaduh. “Maafkan Bapak ya, mbak Naya?”

“Nggak ada yang harus dimaafkan, Pak. Memangnya Bapak salah apa?”

“Tuhan sedang menghukum Bapak,” sepasang galaksi milik Bapak akhirnya mengilaukan duka. “Air mata Bunda yang pernah Bapak sebabkan berubah menjadi kutuk dari Tuhan. Bapak minta maaf, kalau mas Saka juga pernah buat nangis mbak Naya.”

Remuk. Seisi diri Naya benar-benar berhasil dibuat remuk.

“Bapak ini sudah tua. Pengobatan terus dilakukan, tapi tetap saja, Bapak ini sudah tua. Badannya capek.”

“Bapak — ”

“Mbak Naya bahagia nggak sama mas Saka?” Seruan lembut Naya buru-buru ia potong.

Air mata pertama di hadapan Bapak akhirnya menetes.

Naya mengangguk.

“Kalian sudah sama-sama lagi, kan?”

Air mata kedua kembali mengalir beriringan dengan kepala Naya yang juga kembali mengangguk cepat.

“Bagaimana ya Bapak bilangnya kalau Bapak ini sayang sekali sama mbak Naya? Bapak bahkan pernah bilang sama Bunda kalau Bapak cuma mau mbak Naya yang jadi anak Bapak.”

Air mata ketiga, lalu berakhir menjadi tidak terhitung.

“Bapak sudah sering bilang ini sama mbak Naya, tapi untuk terakhir kali, izinkan Bapak mengulanginya lagi ya?”

Naya menyeka pelupuk matanya, lalu mengangguk.

“Bapak pernah melakukan kesalahan, tapi kesalahan Bapak sama sekali tidak mengurangi kesetiaan mas Saka sama mbak Naya. Jadi Bapak harap, kalau nanti,” giliran suara Bapak yang tercekat. Kilauan di sepasang matanya berubah warna menjadi merah. “Kalau nanti, amit-amit, mas Saka menyakiti mbak Naya, Bapak yakin hal itu masih menjadi hukuman dari Tuhan untuk Bapak. Jadi, marahnya sama Bapak ya?”

Penilaian Naya masih tidak beranjak dari titik semula. Keluarga ini benar-benar luar biasa

“Pak, mbak Naya juga udah sering bilang ini, tapi mbak yakin kalau mas Saka nggak akan nyakitin mbak,” akhirnya Naya memberanikan diri untuk menggenggam punggung tangan Bapak lebih erat. “Mas Saka sayang banget sama mbak. Bahkan mas Saka selalu ada buat mbak. Bapak nggak usah khawatir.”

Bapak menunduk. Luar biasa tergugu Menyeka tangisnya dengan satu gerakan singkat, lalu si kepala keluarga mengangguk.

“Mas Saka masih sering banget cerita soal Bapak. Setiap hari, sampai hari ini, mas Saka selalu cerita soal Bapak sama mbak Naya. Kita juga masih mengimplementasikan hal-hal yang Bapak ajarkan di keseharian kita, mas Saka juga masih menganalogikan banyak hal melalui pemikiran-pemikiran indah Bapak untuk semua hal yang kita diskusikan. Mas Saka, masih dan akan selalu menghormati Bapak.”

Bapak tersenyum, beriringan dengan tetesan yang kembali terjun dari sepasang netra lelahnya. Lagi, beliau mengangguk dengan senyum.

“Kayak yang mbak selalu bilang, kalau pun nanti mas Saka menyakiti mbak, itu pilihan dia. Sama sekali nggak ada hubungannya sama Bapak.” Naya menarik senyum, lalu menyeka tangis yang semakin deras di wajah Bapak. “Dan mbak masih yakin Pak, mas Saka nggak akan pernah memilih itu, bahkan sekedar memikirkan untuk melakukan hal itu. Mbak selalu yakin. Bapak nggak usah khawatir, ya?”

Bapak semakin tergugu. Tangisnya pecah mendengar kalimat terakhir Naya. Bahu rentanya bergetar hebat, hingga membuat sepasang mata rusa yang sedari tadi menyaksikan dari rongga pintu, ikut basah karena haru.

Saka menghela napas lega. Untuk kesekian kali, Saka benar-benar menghembus napas lega sebab ia percaya, Shanaya masih menjadi jawaban dari seluruh doanya, Shanaya masih menjadi ganjaran untuk seluruh tangis dan luka, yang selama ini juga masih begitu betah bertengger di bahunya. []