Perubahan Iklim

Indranafi
3 min readDec 2, 2022

--

Apa itu Perubahan Iklim? Penyebabnya apa ya?

Halo Sobat antusias Energi! Pada episode ini kita mencoba membahas mengenai sebuah fenomena yang tentunya sudah tidak asing di telinga kita karena sebagian dari kita sudah merasakan dan mengetahuinya. Namun, tidak ada salahnya saya ulas di medium ini. Bagi kalian yang ingin menambah wawasan yuk simak hingga akhir ya.

Krisis iklim atau dapat dinamakan pemanasan global adalah perubahan iklim dan pola cuaca dalam jangka panjang. Hal ini dapat dirasakan secara langsung oleh manusia dengan kenaikan temperatur bumi hingga saat ini mencapai 1.1 derajat Celsius. Fenomena yang terjadi yaitu perubahan ekstrem pada temperatur bumi dan intensitas air hujan sehingga mengakibatkan kekeringan panjang, dan banjir bandang. Jika kita ukur lebih detail, kekeringan ini juga menyebabkan gagal panen, punahnya flora dan fauna, kelangkaan air bersih, mencairnya es di kutub utara, naiknya permukaan air laut, dan terganggunya keanekaragaman hayati. Bencana alam yang terjadi secara non-alamiah pada hidrometeorologi juga berkaitan dengan aktivitas magma di dasar gunung berapi sehingga dapat memicu adanya gunung meletus, dan gempa vulkanik. Pada akhirnya, kerugian ini akan berdampak pada perekonomian secara mikro maupun makro. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memprediksi kerugian Indonesia hingga tahun 2045 akan terjadinya perubahan iklim sebesar 115 triliun rupiah.

(Gambar Perubahan Iklim dari Wikipedia)

Tanpa disadari gejalanya sudah ada pada tahun 1900 karena revolusi industri dengan kemajuan teknologi mesin industri. Tentunya era ini bermanfaat bagi manusia karena banyak aktivitas dalam kehidupan sehari-hari dapat diselesaikan lebih efektif, efisien, dan mendorong kemajuan ekonomi dunia. Seperti: penggunaan internet, alat elektronik, otomasi industri, dan lain sebagainya. Akan tetapi, sadarkah kalian bahwa inovasi dan terobosan tersebut mengemisikan gas rumah kaca yang menginisiasi terjadinya krisis iklim?

Ya, perlu diketahui bahwa peralatan canggih tersebut dapat menghasilkan gas emisi berupa CO2, CH4, NO2, SO2, dan lain-lain. Gas ini terakumulasi di atmosfir membentuk sebuah lapisan bernama gas rumah kaca sehingga dapat menangkap pantulan sinar matahari yang menyebabkan temperatur bumi menjadi lebih panas. Jika pada kondisi normal, matahari berguna untuk menjaga bumi agar tetap hangat seperti: fotosintesis pada tumbuhan sehingga memproduksi oksigen yang bermanfaat untuk manusia sebagai pernapasan, menjemur pakaian agar cepat kering, dan membantu memperkuat sistem imun tubuh kita melalui vitamin D yang diproduksi pada T-sel darah kita sedangkan sebagiannya dikembalikan ke atmosfir.

Selain didorong oleh kemajuan industri, sebagian besar gas rumah kaca (GRK) disumbangkan oleh aktivitas pertambangan untuk eksplorasi bahan bakar fosil berupa minyak bumi, gas alam, dan batubara. Bahan bakar ini selanjutnya turut berkontribusi pada GRK karena menghasilkan emisi yang besar yang digunakan sebagian besar untuk memproduksi listrik dan kebutuhan industri pengolahan logam, mineral, dan petrokimia. Besaran jejak karbon yang dihasilkan adalah 900 gCO2/KWh, 756 gCO2/KWh, dan 400 gCO2/KWh masing-masing untuk batubara, minyak bumi, dan gas alam.

Kemudian sektor transportasi turut berkontribusi pada besaran GRK ini yaitu sebesar 27%. Penggunaan moda transportasi dengan bahan bakar fosil seperti: bensin, diesel, dan gas serta tingkat emisi bahan kendaraan pada Euro 4 di Indonesia tentunya berakibat pada kualitas udara yang buruk. Jika dibiarkan berlarut-larut ini akan mengganggu sistem pernapasan manusia sehingga bidang kesehatan akan mengalami dampaknya tidak hanya organ paru-paru tetapi bisa menjalar ke otak dan pencernaan.

Sektor selanjutnya yang tidak kalah penting adalah sampah plastik dan sisa makanan yaitu sekitar 9%. Tahukah kalian bahwa sampah yang tidak diolah akan mengemisikan gas metana ke udara? Gas metana ini 25 kali lebih berbahaya daripada CO2 lho! Karena kandungan hidrokarbonnya lebih merusak. Industri pengolahan limbah dan sisa makanan melaporkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia menghasilkan 67.8 juta ton sampah dengan 44.13% diantaranya tidak dapat dikelola dan didaur ulang. Hal ini dikarenakan tercampurnya sampah antara organik dan anorganik sehingga tidak dapat dilakukan daur ulang dan langkah selanjutnya adalah ditimbun atau dibakar menggunakan proses pirolisis yang tentunya berdampak negatif pada kualitas udara.

Nah kawan, berdasarkan organisasi internasional di bidang perubahan iklim memaparkan bahwa bumi akan mengalami peningkatan suhu sebesar 1.5 derajat Celsius pada tahun 2030 jika usaha untuk dekarbonisasi saat ini belum ambisius dan tekat yang belum kuat. Mengetahui dan menyadari sumber gas rumah kaca yang sebenarnya adalah bagian dari perilaku kita oleh karena itu mari kita menjadi solusi dari masalah yang kita timbulkan sendiri yaitu dengan melakukan aktivitas rendah emisi karbon. Perubahan secara revolusi ini sudah saya bahas pada diskusi sebelumnya sehingga mohon dibaca ya!

Sekian dari ulasan ini, jika ada kekurangan mohon dimaafkan dan berikan saran terbaik di kolom komentar ya. Terima kasih dan sampai jumpa di bahasan berikutnya!

--

--

Indranafi

Hi, my name is Nafi. Welcome to my account and enjoy reading 😊