Sungguh, Ini Buku Cerita
Buku cerita ini penuh pelajaran. Pelajaran dalam perjalanan. Perjalanan di dalam kenangan dan tantangan. Tantangan yang memberi rasa nyaman tanpa garansi aman. Garansi aman yang, bisa saja, bukan hanya angan.
Tidak ada tradisi membaca buku cerita sebelum tidur ketika aku kecil. Tidak ada, seingatku. Tapi bukan berarti pikiranku tidak penuh imajinasi. Toh hubungan pertemananku dengan buku-buku tetap bertumbuh hingga kini. Justru aku senang, karena tidak pernah mengenal aturan bahwa buku cerita itu harus lembaran penuh kata.
Seperti satu buku cerita kesukaanku ini.
Hari ini hari tenang. Hari tanpa rencana yang mengantarkanku pada acara
“membaca cerita”. Cerita yang sudah lama tertulis dan terkumpul, tapi sudah sekian lama tidak dikunjungi. Lembar demi lembar kubuka. Buku kecil bersampul hijau, penuh jejak stempel dan sticker warna warni. Buku yang — kata orang — sangat penting menjadi penanda. Buku yang kalau sampai berpindah tangan tanpa maksud, bisa berbahaya!
Tapi bagiku, ini adalah buku cerita tanpa kata.
Bukan, ini bukan buku matematika! Tidak ada tujuan untuk mencapai satu angka tertentu. Bukan, ini bukan album koleksi! Untukku, jejak stempel warna-warni itu bukan layaknya perangko bervariasi. Atau poster band-band musik yang aku tempel di dinding kamar saat remaja. Ya, beberapa dari mereka memang rupawan. Enak dipandang mata. Tapi untukku, setiap gambar punya cerita. Bahkan tanpa kuharus membuka album gambar lainnya, lalu-lalang kulihat gambar terputar seperti film klasik di kepala. Gambar-gambar yang tidak sempat — atau sengaja tidak — kuabadikan. Tapi mereka berkeras untuk berkemah selamanya di ingatan.
Kubuka satu halaman, dan kulihat gambar stasiun kereta. Ada aroma kuat minuman keras di sana. Tapi dua perempuan muda berhasil menyulapnya jadi penginapan penuh cerita mewah! Untuk satu malam koper-koper besar alih fungsi jadi dinding kamar. Satu-dua ketidakberuntungan (dari kehilangan — uang dan arah — sampai teriakan marah) tidak membuat petualangan 14 hari jadi cerita tragedi. Justru cerita di area trans-benua ini penuh pelajaran dan kenangan. Kenangan yang setia diiringi melodi angin semilir dari hijaunya taman-taman kota.
Di halaman lainnya, ada tangan muda-mudi saling menggenggam erat di dalam goa sejuk tersembunyi. Tidak perlu teknologi apapun untuk mengingat kerutan di sudut mata itu. Kerutan yang selalu terukir selaras dengan tawa renyah. Kerutan yang tidak pernah gagal secara ajaib mengirim gelombang bahagia. Bahkan dalam keadaan “dipenjara” dalam penginapan berjalan tanpa sistem pendingin. Selama 15 jam berada di atas 30 derajat celcius, tetap kerutan di sudut mata jadi hiburan utama. Jadi kenangan utama.
Dengan tema senada, di dua bab berbeda, aku lihat ada cerita lain berujung lain. Di satu halaman, tergambar lambaian kain semburat biru. Sehelai kain mengundang percaya. Percaya, yang tidak percaya, membawa belajar, yang tidak belajar. Tidak belajar, karena ingin percaya.
Aduh, bicara apa aku ini?
Ceritanya memang berbeda, meski ada repetisi belajar. Ada orang bijak berceloteh, “sampai betul selesai belajar, pelajaran akan terus diulang”. Mungkin memang belum selesai aku belajar, karena itu belum kudengar bel pulang sekolah. Yang aku dengar malah deburan ombak mengiringi kawanan kunang-kunang laut berenang berpendar di malam hari. Lumayan lah, sampai saatnya nanti aku dijemput pulang. Semoga sebentar lagi.
Gambar-gambar lain mengundang banyak aktor dalam cerita. Masing-masing cerita menghadirkan lebih dari sekedar antagonis dan protagonis. Masing-masing cerita bukan cuma membawa ria, tapi juga ujian. Bukan cuma olah raga, melainkan juga olah jiwa.
Ada beberapa gambar tempel yang ditempel dua kali di halaman berbeda. Yang pertama membuka pintu ke dunia baru, yang kedua membuka pintu menuju persaudaraan. Dua-duanya terjadi di musim panas, tapi memberi rasa nyaman seperti menyeruput coklat panas di bulan Desember.
Ada pula gambar yang dicap berkali-kali. Berkali-kali diulang. Diulang berkali-kali. Lagi dan lagi. Dan lagi. Mereka kerap diulang untuk mengisahkan satu perjuangan. Ketakutan yang berevolusi jadi kekuatan. Cerita tentang alasan dan pencapaian. Cerita bersambung memaknai kata ketulusan, yang jadi dorongan untuk tetap mengayuh dalam tanjakan.
Ah, sudah lama buku ini tidak kuselipkan di tas tanganku. Rindu juga rasanya akan cerita penuh tantangan. Rindu membuka peta ketidakpastian. Aneh memang. Ada rasa nyaman dalam tidak aman. Sama anehnya dengan rasa nyaman terhubung dengan mereka yang tidak punya garis terhubung dalam gambar pohon keluarga.
Buku cerita ini penuh pelajaran. Pelajaran dalam perjalanan. Perjalanan di dalam kenangan dan tantangan. Tantangan yang memberi rasa nyaman tanpa garansi aman. Garansi aman yang, bisa saja, bukan hanya angan.
Kusimpan dulu buku cerita ini di lemari.
Belum saatnya dia kembali diisi. Sekarang saatnya buku lain diisi cerita lain. Cerita yang bukan hanya berisi nyaman dalam tidak aman. Cerita yang mungkin, hanya mungkin, akhirnya berisi nyaman dan aman dalam perjalanan menantang. Cerita yang mengisahkan perjalanan mengantar rindu, yang padahal belum pernah dijalani.
Kusimpan dulu buku cerita ini di lemari.
Tidak berkunci.