Literature Recommendation #2: The End of History?

INKA KOMAHI UGM
3 min readMar 11, 2023

--

Penulis: Falah Mar’ie Amanullah, Muhammad Ilyan Faris, dan Achmad Fauzan Rafi

Fukuyama, F. (1989). The End of History? The National Interest, 16(16), 3–18. https://www.jstor.org/stable/24027184

Sejarah kehidupan manusia tamat? Pertanyaan serta rasa kebingungan yang meliputi mungkinlah hal pertama yang terlintas di pikiran anda ketika membaca judul tulisan Fukuyama, “The End of the History?”. Dengan judul yang terbilang lumayan janggal tersebut, Fukuyama bermaksud untuk menyampaikan ide — berakar dari pemikiran Hegel — bahwa perkembangan sejarah manusia merupakan suatu proses dialektik. Oleh karena itu, dengan berhentinya proses dialektik tersebut maka sejarah manusia akan turut berhenti. Itulah poin utama yang Fukuyama coba angkat dalam tulisannya. Lantas, muncullah pertanyaan, apa yang membuat proses dialektik tersebut berhenti?

Seiring berjalannya waktu, ideologi yang dianut manusia akan memudar. Lunturnya ideologi yang dianut manusia sebagai pedoman menyebabkan ideologi tidak lagi ideal untuk dipakai sebagai penuntun hidup manusia. Ideologi yang telah luntur ini menjadikannya tidak lagi ideal untuk dipakai sebagai pedoman hidup manusia. Sebagai contoh, dua ideologi besar saat itu — fasisme dan komunisme — telah mengalami kemunduran. Fasisme runtuh setelah kekalahannya pada perang dunia kedua; komunisme memudar setelah isu kelas tidak lagi menarik dibuktikan dengan menurunnya angka pemilih partai komunis di negara-negara Eropa. Padahal, kedua ideologi ini digadang-gadang sebagai ideologi yang sangat berpengaruh bagi dunia. Beberapa ahli menyebut titik hilangnya ideologi itu disebut sebagai the death of ideology.

Ideologi mati ketika manusia tidak lagi berdialektika. Dialektika berjalan ketika adanya pertentangan atas suatu proposisi tertentu (dalam hal ini adalah ideologi). Hasil dari perdebatan antara dua proposisi akan melahirkan inovasi dalam perkembangan ideologi tersebut sehingga ketika dialektika berhenti inovasi ideologi pun juga berhenti. Fukuyama menilik bahwa kematian ideologi-ideologi tersebut akan membuahkan masalah baru bagi dunia. Masalah tersebut akan berupa konflik antarnegara, kekerasan, perang, terorisme, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, manusia akan berfokus dan berkutat pada masalah kompleks dan tidak bekerja menuju masa depan yang lebih sejahtera. Manusia tidak lagi berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan mereka tetapi hanya sekadar menceritakan dan mengagungkan kehebatan mereka di masa lalu. “Tidak ada lagi kesenian atau filsafat, tetapi hanya museum sejarah manusia” ujar Fukuyama. Hambatan yang “mengakhiri” perjalanan manusia disebut sebagai the end of history. Meski melihat berbagai hambatan yang mengancam manusia dengan the end of history yang diusungnya, Fukuyama — dengan pandangannya yang ambivalen terhadap kondisi dunia — tetap optimis bahwa manusia akan berhasil mengentaskan kompleksitas masalah yang menimpanya dan mengawali lembar baru perjalanan sejarah mereka di muka bumi.

Kritik terhadap esai ini cukup banyak dan berat sejak konsepsi awalnya pada tahun 1989. Argumen kritik utama berlandas dari kenyataan dunia, bahwasanya prediksi Fukuyama mengenai liberalisasi dunia pasca perang dingin tidak benar. Samuel P. Huntington, dalam esai dan kemudian bukunya “The Clash of Civilisations” (1993), berargumen bahwa pasca perang dingin, konflik global akan berlandaskan dari konflik peradaban. Dimana katalis konflik akan kembali menjadi ideologi seperti pada masa lampau, yakni berbasis etnisitas, identitas, dan budayalah — bukan liberalisme barat (Huntington, 1993). Argumen Fukuyama terdengar terlalu optimis serta naif, dan gagal dalam memprediksi naik daunnya islam radikal, populisme, serta otoritarianisme (Dueer, 2013).

Fukuyama sendiri telah menjawab kritik terhadap tesisnya dalam esai singkatnya lima tahun setelah rilisnya “The End of History.” Beliau menegaskan bahwa para kritiknya seringkali keliru dalam peleburan argumen empiris dan normatif yang terdapat dalam karyanya (Fukuyama, 1995). Serta dalam buku “Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment” (2018) beliau mengklarifikasi bahwa “The End of History” kurang menekankan pentingnya politik identitas dan identitas budaya. Namun, beliau tetap bersikeras dalam pemahamannya bahwa liberalisme adalah masa depan manusia (Fukuyama, 2018).

“The End of History” — mengesampingkan kritik-kritiknya — tetap dapat menjadi bahan bacaan awal yang baik dalam mendalami ilmu mengenai neoliberalisme dan kondisi global pasca-perang dingin. Literatur ini cukup asik dengan kritiknya yang menjadi pemanis menarik dalam pendalaman ilmu dan diskusi mengenai masa depan konflik dunia. Kami menyarankan anda untuk membaca literatur ini, serta membaca kritik terhadapnya, kemudian tinjaulah keduanya, dan kemudian jawablah: apakah benar ini akhir dari sejarah?

Referensi

Fukuyama, F. (1995). Reflections on the End of History, Five Years Later. History and Theory, 34(2), 27. https://doi.org/10.2307/2505433

Fukuyama, F. (2018). Identity. Farrar, Straus and Giroux.

Glen M.E. Duerr. (2013). Huntington vs. Mearsheimer vs. Fukuyama: Which Post-Cold War Thesis is Most Accurate? E-International Relations. https://www.e-ir.info/2018/04/22/huntington-vs-mearsheimer-vs-fukuyama-which-post-cold-war-thesis-is-most-accurate/

Huntington, S. P. (1993). The Clash of Civilizations? Foreign Affairs, 72(3), 22–49.

--

--

INKA KOMAHI UGM

Official blog of Departemen Intrakurikuler dan Akademik, Korps Mahasiswa Hubungan Internasional UGM | instagram: @komahiugm email: akademik.komahiugm@gmail.com