Duduk Bersama Duka
“It will get easier”
Gue kira gue sudah bisa mengontrolnya, tapi ketika menceritakan kenangan tentang sahabat gue semasa hidupnya, tenggorokan gue kembali tercekat, terasa air mata sebentar lagi akan jatuh.
Gue butuh beberapa kali menelan untuk menenangkan diri supaya nggak tiba-tiba menangis di sebuah restoran dimsum.
Menyusun lemari duka
Berduka adalah proses yang membingungkan buat gue.
Ada banyak perasaan yang terjadi bersamaan—sedih, patah hati, nggak berdaya, dan yang paling menggerogoti jiwa: rasa bersalah.
Semuanya jadi sesak, karena gue belum punya kotak penyimpanan untuk merapikan perasaan-perasaan itu.
Gue nggak tahu harus mulai dari mana, semuanya berjejalan. Saat gue pikir sudah cukup rapi, ada saja kejadian-kejadian yang bisa membuatnya berantakan. Gue jadi harus merapikannya lagi dari awal.
Gue sangat takut bahwa suatu saat gue akan melupakan suara sahabat gue. Gue pun mengorek-ngorek lagi kotak-kotak kenangan, mencari sisa rekam tawa dia yang menggelegar. (Saking kencangnya, dia pernah ditegur oleh guru Ekonomi kami, padahal beliau juga ikut tergelak mendengar suara tawanya. Semoga Pak Jamal diberi kesehatan sampai sekarang.)
Saat sedang linglung, gue bisa tiba-tiba menangis ketika lagi scrolling Instagram, saat jogging, di kamar mandi, bahkan gue pernah menangis di tengah perjalanan naik ojol.
Di tengah proses menulis tulisan ini, gue perlu rehat sebentar untuk mengizinkan diri gue menangis. Gue beberapa kali berhenti mengetik untuk mengatur emosi.
Lemarinya kembali berceceran.
Berteman dengan duka
“Wounds may heal, but the scars remain”
Sampai hari ini, lukanya belum sembuh, masih menganga lebar, perih saat nggak sengaja terkena benturan.
Pada awalnya, yang gue lakukan saat mengunjungi makamnya adalah meminta maaf. Gue terus-terusan meminta maaf atas sesuatu yang sudah nggak bisa diubah.
Gue sempat nggak mau datang ke makamnya selama beberapa waktu karena nggak kuat dikonsumsi oleh rasa sesak.
Psikolog gue pun memberikan saran bahwa ada cara lebih sehat yang bisa gue lakukan saat berkunjung, yaitu dengan mengekspresikan syukur.
Bersyukur dan berterima kasih atas semua hal baik yang dia bawa ke hidup kita. Percayalah, pasti banyak.
Pancing diri untuk buka dokumen-dokumen lama di otak, mungkin sudah berdebu, tapi masih utuh.
Kemudian bayangkan, kalau saat ini dia ada di samping kita, apa yang akan dia katakan pada kita? Bebaskan diri kita untuk berbincang-bincang hangat dengannya. Lalu, peluk dia sambil berpamitan.
Setiap kali rasa sedih dan rindu hadir, gue bisa kembali mengunjungi duka tersebut dengan lebih tenang. Saat duduk bersama duka, gue jadi bisa bertemu lagi dengan sahabat gue, mengobrol dengannya, dan kemudian memeluknya.
Dengan cara itu, gue bisa berdamai dengan rasa bersalah dan segala what ifs yang sebelumnya berkecamuk.
Dia memang sudah tiada, tapi memori baiknya masih banyak tersisa. Wajarkan ketidakberadaannya di hidup kita dengan kenangan-kenangan tersebut.
Tenang, nggak ada deadline untuk menyembuhkan duka. Perjalanan ini bukan perjalanan lurus satu arah, kadang kita merasa sudah baik-baik saja, tapi kadang lukanya akan nggak sengaja terbuka lagi.
Jangan jejalkan perasaan negatif yang muncul, rasakan saja. Biarkan diri kita bersedih dan merasa nggak berdaya. Kita nggak gagal, kita nggak lemah, seluruh emosi itu normal. Kita nggak sedang berkompetisi untuk menjadi manusia paling tangguh sedunia.
Setelah air mata mengering, kita obati lagi lukanya sedikit-sedikit.
Ulangi terus saat dibutuhkan.
Argi, terima kasih sudah jadi manusia dan sahabat yang baik. Gue bersyukur bisa menghabiskan banyak porsi hidup gue bersama lo.
Mulai dari panas-panasan Paskibra, rapat OSIS bareng, curhat-curhatan cinta monyet, makan sate kulit, minum Teh Sisri yang bikin batuk, lo yang selalu siap membantu dengan tulus, kita yang mengobrol di telepon sampai kuping panas, kita yang saling hafal nomor telepon rumah dan nomor handphone masing-masing, lo yang sengaja bikin gue nangis saat gue ulang tahun, gue yang mengunjungi tempat kerja pertama lo, dan masih banyak lagi.
Gue berjanji akan memberi tahu siapa pun yang mau mendengar betapa berharganya lo untuk gue.
Kapan-kapan kita ketemu lagi ya, Gi.