Jangan Memaksakan Pertemanan

Intan Aprilia
6 min readJan 22, 2023

--

“Kamu kasihan sama dia atau memang mau temanan sama dia?”

Pertanyaan bokap itu bikin gue merenung dan berpikir.

Saat itu gue sedang bercerita soal hubungan pertemanan gue dengan beberapa orang. Ada yang dari dulu sampai sekarang masih dekat, ada yang sekarang justru jadi dekat, ada yang merenggang, bahkan ada yang sudah nggak pernah bertegur sapa sama sekali—hanya tahu kabar terbaru mereka lewat post di Instagram Story.

Pertanyaan bokap gue itu muncul karena gue menceritakan teman yang (gue pikir) nggak punya teman dekat lain. Jadi, gue merasa harus berteman sama dia. Makanya bokap bertanya apakah gue secara tulus mau berteman sama dia atau gue hanya mengasihaninya.

Jangan ditiru. Pertemanan bukanlah kewajiban dan hubungan nggak akan berjalan baik bila berlandaskan atas dasar rasa kasihan. Gue juga tahu bahwa teman gue itu pasti nggak suka kalau dikasihani.

Salah satu teman dekat gue juga pernah bilang, “Kalau bukan lo yang chat dia duluan, dia nggak bakal nge-chat lo, Tan.”

Lha… iya juga ya… Di situ gue jadi mikir, kenapa gue masih memaksakan pertemanan gue sama dia ya?

Nilai sebuah pertemanan

Photo by Vonecia Carswell on Unsplash

Sedari dulu, buat gue pertemanan adalah hubungan yang paling penting dalam hidup gue. Kalau menurut psikolog gue, ini terjadi karena memang gue nggak dekat secara emosional dengan orangtua, jadi gue lebih banyak cerita secara terbuka ke teman-teman.

Gue selalu menjadi orang yang mengajak kumpul dan membuka pembicaraan lewat WhatsApp. Akibatnya, nggak jarang gue frustrasi dan merasa kecewa saat harapan gue nggak terpenuhi. Mereka nggak salah, tapi gue terlanjur punya ekspektasi.

Di umur hampir 30 ini, gue pun menyadari kenyataan kalau nggak semua orang punya value yang sama soal pertemanan.

Pada dasarnya, bagi gue growth, honesty, respect, dan empathy adalah nilai utama di pertemanan.

Buat gue, ada beberapa pengingat yang bisa kita terapkan dalam hubungan pertemanan:

1. Jangan berteman karena sebuah agenda

Tulus. Bertemanlah tanpa ada agenda apa-apa, biarkan pertemanan terjadi secara natural.

Apa yang gue lakukan di atas adalah contoh sebuah agenda. Gue merasa harus berteman sama teman itu karena gue kasihan padanya, gue menganggap gue adalah teman yang baik karena menghabiskan waktu dengannya.

Cih, culas sekali.

Agenda ini bermacam-macam: berharap ditraktir kalau berteman dengan seseorang, berharap mendapat posisi tertentu, bahkan berharap akan jadi orang yang bahagia bila berteman dengan seseorang adalah sebuah bentuk agenda.

Pernah ada orang yang ternyata berteman sama gue karena dia menganggap sifat gue mirip dengan teman lamanya, jadi dia berharap gue bisa memberikan hal yang sama dengan temannya itu. Agendanya meleset, karena tentu saja gue dan teman lamanya itu adalah dua orang dengan kepribadian yang berbeda.

2. Kita bukanlah psikolog buat teman kita

“Gue emang lagi butuh tempat sampah, Tan.”

Bukan cuma sekali gue mendengar kalimat itu. Entah kenapa, gue sering banget dijadikan tempat curhat sama banyak orang, baik yang dekat maupun nggak.

Ada orang yang sudah berdamai bahwa dirinya adalah “tong sampah” dan menganggap bahwa fungsinya di dunia ya memang untuk menjadi tempat pelampiasan masalah orang-orang.

Sayangnya, gue bukan orang sebaik itu.

I can not stress this enough, salah satu red flag dalam pertemanan adalah ketika mereka terus mengeluh hal yang sama setiap hari, tapi menolak untuk melakukan perubahan atas kondisi tersebut.

Gue bukan orang yang sangat positif dalam menjalani hidup, tapi gue lelah sekali berteman dengan orang yang penuh kenegatifan dan amarah.

Gue beberapa kali berteman dengan tipe orang seperti ini. Dampaknya, energi gue habis terkuras setiap kali mengobrol dan bertemu mereka. Bukannya happy, suasana hati gue malah jadi kelabu.

Ini bukan berarti pertemanan harus selalu haha-hihi ya, tapi kita perlahan sadar kok kalau teman mulai menggerogoti jiwa kita.

Lama-lama kita jadi bete saat berinteraksi dengannya, karena kita hanya melanjutkan pertemanan akibat merasa mereka butuh bantuan kita. Mereka pun jadi sangat bergantung dengan keberadaan kita.

Ketika kita sudah memberi mereka masukan dan menyarankan mereka ke psikolog, tapi mereka nggak kunjung berubah, mungkin sudah saatnya kita take a step back dari pertemanan tersebut.

Ingat, orang nggak akan bisa berubah tanpa kesadaran dari dirinya. Ada kalanya kita harus egois dan memikirkan kesejahteraan mental kita sendiri.

3. Terapkan batasan dengan tegas

Kita boleh menolak saat nggak mau hangout. Jangan sampai kita memaksakan diri untuk jalan bareng cuma karena nggak enak hati.

Teman yang baik akan mengerti kalau ada kalanya kita butuh waktu untuk sendiri.

4. Belajar berteman dengan diri sendiri

Ini adalah sesuatu yang mulai gue pelajari sejak 2 tahun yang lalu, bahwa sendirian itu bukan berarti kesepian. Sekarang gue sudah nyaman mengobrol dan menghabiskan waktu dengan diri sendiri.

Perjalanan ini akan sulit dan panjang, tapi setelah kita nyaman berteman dengan diri sendiri, kita nggak perlu lagi memaksakan pertemanan cuma karena nggak mau merasa kesepian.

5. Saling menghargai waktu satu sama lain

Gue adalah orang yang sangat menghargai waktu, sehingga untuk bisa punya pertemanan yang langgeng, gue juga memerlukan teman yang sama-sama menghargai waktu.

Namun, ada saja teman-teman unik di lingkaran kita yang sepertinya nggak punya jam di rumah, kan?

Jadi, gue pun menyesuaikan diri. Gue sudah jarang—bahkan hampir nggak pernah—menginisiasi pertemuan dengan mereka, gue biarkan mereka yang memulai ajakan.

Gue juga menetapkan ekspektasi yang sangattttttt rendah soal jam yang sudah disepakati. Gue akan tetap datang sesuai dengan jam yang ditentukan, tapi gue sudah siap bila mereka telat datang.

Namun, gue menarik batas pada orang yang sudah lebih dari dua kali bail out secara tiba-tiba. Mereka yang tahu-tahu nggak jadi datang (biasanya dengan alasan yang wadidaw) dan baru mengabarkan saat gue sudah sampai di lokasi.

Nah, kalau itu mohon maaf, lebih baik besok-besok gue hangout sendirian saja.

6. Bertumbuh bersama

Dalam pertemanan, gue ingin kita semua sama-sama bertumbuh jadi manusia yang lebih baik. Bebas soal apa saja, baik soal pekerjaan, percintaan, atau kepribadian.

Misalnya, jadi orang yang lebih bijak mengelola emosi, lebih hemat dalam mengatur keuangan, lebih rajin olahraga, lebih menjejak dengan dirinya sendiri, akhirnya bisa memilih pasangan yang benar-benar tepat, dan masih banyak lagi contohnya.

Bukankah senang kalau kita semua sama-sama berkembang meski tujuan akhirnya berbeda-beda?

7. Nggak semua orang mau menghabiskan waktu dengan kita

Bisa jadi kita nggak punya masalah apa-apa sama mereka, hubungan kita baik-baik saja, tapi sesederhana kita nggak ada di top of mind-nya ketika mereka sedang memikirkan soal teman. Dan itu nggak masalah.

Bisa jadi pertemanan itu terjadi hanya karena histori masa lalu. Misalnya, dulu kita teman satu sekolah, jadi kita merasa harus available saat mereka mengajak kita bertemu, padahal sebenarnya sekarang kita sudah nggak cocok-cocok amat.

Bila hubungan pertemanan merenggang

Photo by Joshua Sazon on Unsplash

Saat pertemanan berubah, sudah tidak lagi sedekat dulu, atau terdapat perbedaan value, haruskah kita membicarakannya dengan teman kita?

Jawabannya sudah pasti; tergantung.

Gue pernah sangat gelisah soal hubungan gue dengan satu orang teman. Gue pun spiraling dan berpikir, “Apakah gue terlalu demanding? Apa dia sudah nggak mau lagi berteman dengan gue?”

Gue sadar betul itu adalah buah dari anxiety disorder gue, tapi gue nggak bisa mengabaikan pikiran-pikiran itu begitu saja.

Satu teman lain yang gue ceritakan tentang masalah itu bilang agar gue cut-off pertemanan, tapi gue nggak mau. Gue merasa gue dan dia masih bisa membicarakannya selayaknya orang dewasa. Psikolog gue pun setuju. Dia menyarankan bahwa kami harus sama-sama tahu value pertemanan masing-masing.

Setelah gue berbicara dengan terbuka mengenai pikiran dan perasaan gue, teman gue pun menjelaskan sisinya. Ternyata semua itu hanya kesalahpahaman dan kekhawatiran gue yang berlebihan. Sekarang gue sudah nggak lagi insecure terhadap hubungan pertemanan kami, karena kami sudah membicarakannya dengan jelas.

Outcome-nya bagus ya?

Namun, nggak semua orang bisa diajak berbicara dengan tenang seperti itu. Sebelum kita meluangkan waktu untuk mengobrol lebih dalam dengannya ada yang harus dipertimbangkan:

Seberapa berharganya pertemanan kita untuk kita menyisihkan waktu mengonfrontasinya? Apa pengaruhnya di hidup kita bila they’re no longer in the picture?

Jawab dulu pertanyaan di atas, sebab ini akan menjadi sebuah pembicaraan sulit yang membutuhkan dua orang berkepala dingin dengan emotional maturity level yang kira-kira sama.

Kalau kira-kira teman atau kita sendiri belum siap melakukan pembicaraan tersebut, ya nggak usah dipaksakan. Bisa jadi kesempatan untuk berbincang datang besok, tahun depan, atau nggak sama sekali. Nggak masalah, memang ada kalanya kita nggak perlu cari tahu alasan di balik sebuah kejadian.

Kita juga harus menyadari bahwa mungkin kita adalah pemeran antagonis di hidup orang lain.

Gue sudah beberapa kali menjauh, bahkan memutuskan hubungan pertemanan. Jadi, gue tahu kalau ada orang yang menganggap gue sebagai sosok yang jahat dan heartless.

Itu merupakan sebuah fakta yang mereka percaya, tapi fakta versi gue adalah gue menolak untuk memberikan terlalu banyak jiwa dan raga gue untuk hubungan satu arah.

Pelan-pelan beri jarak, bertemanlah secukupnya.

--

--

Intan Aprilia

banyak pikiran selama work from home. follow me on instagram @intanapriliaibr