Konsultasi ke Psikolog Bukanlah Sesuatu yang Mengerikan

Intan Aprilia
6 min readApr 28, 2020

--

“Ngapain ke psikolog? Emangnya gue gila?” adalah anggapan yang masih sering kita dengar sampai sekarang.

Meski di zaman serba digital ini kesehatan mental sudah mendapatkan perhatian lebih, tapi banyak orang masih beranggapan bahwa pergi ke psikolog adalah hanya buat kita yang gila.

Namun, bukankah kita semua tidak ada yang benar-benar waras?

Dilansir dari situs resmi Kementerian Kesehatan, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018 menunjukkan bahwa lebih dari 19 juta penduduk di atas 15 tahun terkena gangguan mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk di atas 15 tahun mengalami depresi. Bahkan, 7 dari 1.000 rumah tangga terdapat anggota keluarga dengan skizofrenia/psikosis.

Mengejutkan? Gue rasa nggak.

Gue sendiri didiagnosis dengan Generalized Anxiety Disorder (GAD) pada 2018. Gue diberikan diagnosis oleh psikiater, tapi gue konsultasi lagi dengan psikolog di 2019 dan dia juga memberikan diagnosis yang sama.

Masih ada stigma negatif saat kita konsultasi ke psikiater atau psikolog. Akibat stigma negatif ini, banyak orang yang memilih untuk mendiagnosis diri sendiri (self diagnose) berdasarkan artikel-artikel yang mereka baca di internet, atau malah mengabaikan berbagai gejala yang sudah mereka rasakan.

Gue sempat menceritakan pengalaman gue pergi ke psikiater dan ke psikolog di Instagram Story. Tujuannya adalah supaya orang tahu kalau mereka nggak sendirian, betapa pentingnya untuk kita berkonsultasi ke tenaga ahli, dan memberitahu mereka kalau nggak ada yang perlu ditakutkan, kok.

Soalnya, banyak yang membalas Instagram Story gue dengan cerita mereka. Ada yang merasakan gejala depresi, gejala kecemasan, tapi takut ke psikolog. Ada juga yang malah bertanya ke gue, “Gue kenapa ya?”

Pertanyaan seperti itu tentunya nggak bisa gue jawab, karena gue bukan psikiater/psikolog. Gue sendiri nggak mengerti dengan kondisi gue, makanya gue pergi mencari bantuan profesional.

Oleh karena itu, di sini gue mau bercerita tentang pengalaman gue ke psikiater dan psikolog, supaya kalian nggak ragu lagi untuk melakukan konseling.

Perbedaan psikiater dan psikolog

Photo by Lesly Juarez on Unsplash

Sebelumnya, kita harus tahu perbedaan psikiater dan psikolog, karena masih banyak dari kita yang nggak tahu kalau dua profesi ini berbeda.

The Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrists punya penjelasan yang gampang dimengerti.

Psikiater menangani berbagai perawatan seperti perawatan psikologi, terapi stimulasi otak, pengobatan, dan mengecek efek obat-obatan pada tubuh kita.

Psikiater biasanya merawat orang dengan kondisi yang kompleks, seperti depresi akut, schizophrenia, bipolar disorder, serta orang yang mencoba dan memiliki pikiran untuk bunuh diri.

Sedangkan, psikolog fokus membantu orang dengan kondisi yang bisa dibantu dengan terapi psikologi. Misalnya, gangguan perilaku, kesulitan belajar, depresi, dan kecemasan.

Kalau masih bingung, kalian bisa pergi ke dokter umum dan meminta rekomendasi apakah lebih baik ke psikiater atau ke psikolog.

Pengalaman ke psikiater

Photo by christopher lemercier on Unsplash

Di 2018, gue merasa tingkat kecemasan dalam diri gue sudah nggak normal karena sudah sampai mengganggu fisik. Akhirnya, gue memutuskan untuk ke psikiater atau psikolog.

Kenapa saat itu gue memilih psikiater? Gampang saja, karena dekat rumah.

Jadi di dekat rumah, gue punya rumah sakit langganan. Melalui website mereka, gue mencari apakah ada dokter kejiwaan, tapi mereka hanya punya psikiater.

Karena mager mencari informasi lagi, gue memutuskan untuk langsung booking appointment dan pergi ke sana setelah pulang kantor.

Ternyata, orang yang mengantre untuk berkonsultasi ke psikiater tuh banyak, lho! Gue sempat ngobrol sama ibu dan mas di sebelah gue. Si ibu depresi dan si mas mengalami insomnia.

Kalian pasti pernah ke dokter saat sedang sakit panas atau sakit tenggorokan kan? Nah, sebenarnya sistemnya sama saja.

Psikiaternya bertanya, apa keluhan gue, apa yang gue rasakan. Gue pun bercerita panjang, lalu dia bertanya-tanya untuk mendukung diagnosisnya. Setelah panjang lebar, dia pun mendiagnosis gue dengan GAD.

Psikiater memberikan gue dua jenis obat, yakni obat antidepresan dan anticemas. Gue diminta minum sekali sehari. Kalau kecemasan nggak juga berkurang, dia mengharuskan gue untuk memeriksakan diri lagi.

Saat itu gue mengeluarkan biaya sekitar Rp500.000 sudah termasuk biaya obat dan dokter. Durasi konsultasinya nggak begitu lama, kurang lebih 45 menit.

Minum obat tersebut memang bikin kecemasan gue hilang, tapi gue jadi sangat drowsy dan lemas. Tapi sebenarnya pilihannya, milih cemas terus atau lemas sedikit?

Pengalaman ke psikolog

Photo by Green Chameleon on Unsplash

Lho, kan sudah pernah ke psikiater, kenapa harus ke psikolog lagi?

Jadi setelah setahun dari psikiater, gue mengalami serangan kecemasan paling parah yang pernah gue alami. Gue akan ceritakan ini di waktu lain.

Gue berpikir kalau gue butuh treatment, butuh perawatan yang bisa menjaga kecemasan gue ini kalau tiba-tiba muncul di saat yang nggak terduga, bukan sekadar obat yang sifatnya sementara meredam.

Kriteria gue dalam mencari psikolog ada 2; dekat dari kantor/dari rumah dan reviewnya bagus. Gue pun menemukan Smart Mind Center di Alam Sutera dan langsung bikin janji untuk dua hari kemudian.

Prosesnya sama, gue menceritakan apa yang gue alami dan psikolog memberikan beberapa pertanyaan. Tapi, pertanyaan-pertanyaannya jauh lebih mendalam dan personal.

Psikolog sempat mengira gue mengalami Obsessive Compulsive Personality Disorder (OCPD), tapi setelah mengulik lebih jauh, dia mendiagnosis gue dengan GAD.

Bedanya, kali ini gue diajarkan cara meditasi, juga menghitung dan mengatur pernapasan. Jadi kalau tiba-tiba gue cemas, gue sudah tahu bagaimana cara mengatasinya.

Gue juga diberikan peer untuk menuliskan kejadian setiap kali gue merasa cemas. Cukup nulis di note handphone saja kok. Gue konsultasi lebih dari satu jam.

Dia meminta gue datang satu minggu sekali sampai gue bisa menghadapi kecemasan tersebut.

Di pertemuan kedua, gue melaporkan peer yang sebelumnya diberikan dan kami berdua kembali menelaah kecemasan-kecemasan yang gue rasakan dalam seminggu itu.

Dia sepertinya melihat underlying issue di diri gue dan mengajak melakukan hipnoterapi.

Hipnoterapi adalah pengalaman paling mind blowing yang pernah gue alami. Karena bakal kepanjangan kalau menceritakan hipnoterapi, lebih baik gue nanti membuat tulisan terpisah mengenai ini ya.

Pada pertemuan kedua itu, psikolog menganggap bahwa gue sudah bisa menangani kecemasan gue dengan cukup baik, sehingga dia menyarankan gue kembali kalau mengalami serangan kecemasan lagi.

Per satu sesi psikolog, biayanya Rp650.000. Mahal ya? Gue juga sedih pas bayar. Tapi selama ini kita juga bisa kan mengeluarkan biaya yang nggak sedikit untuk nongkrong dan belanja online, masa mengeluarkan uang untuk kesehatan mental yang lebih baik nggak bisa?

Hal penting yang harus diperhatikan

Photo by Jake Melara on Unsplash

1. Carilah bantuan. Jangan mendiagnosis diri sendiri karena pikiran malah bakal makin nggak karuan.

2. Dokter kejiwaan bisa dibayar menggunakan BPJS. Kalau kalian belum merasa rela mengeluarkan uang sebesar itu, bisa konsultasi online. Ada aplikasi Riliv dan Halodoc yang melayani konsultasi secara online.

3. Harus bikin janji terlebih dahulu. Psikolog gue hanya menerima 4 pasien setiap harinya, dengan durasi konsultasi sekitar 1–2 jam, tergantung terapi yang diberikan.

4. Gue pergi ke psikiater dan psikolog sendirian karena malas kalau ditemani orang lain.

Tapi, kalau kalian takut untuk pergi sendiri, ajaklah nyokap, bokap, saudara, pacar, atau teman dekat.

Namun, pastikan kalau mereka adalah orang yang bisa menerima isu kesehatan mental dengan pikiran terbuka. Jangan sampai kalian malah jadi tambah tertekan karena mereka memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu di saat kalian belum siap.

5. Nggak usah gengsi, nggak usah sok tahu. Ceritakan dengan detail apa yang kalian alami dan rasakan. Berikan juga pertanyaan-pertanyaan kalau kalian penasaran atau ingin tahu lebih lanjut.

6. Jangan defensif atau denial. Kalian harus datang ke psikiater atau psikolog dengan pikiran terbuka. Terima diagnosis yang diberikan dan fokus pada bagaimana cara menghadapinya.

Menurut gue, kesadaran untuk mengakui ada yang salah sama kita dan sadar kalau kita membutuhkan bantuan adalah sebuah keberanian.

The first step is always the hardest, tapi percayalah itu semua sepadan dengan rasa lega dan bantuan yang nantinya kita dapatkan.

--

--

Intan Aprilia

banyak pikiran selama work from home. follow me on instagram @intanapriliaibr