Perjalanan Pengampunan, Memaafkan Mereka yang Kita Kira Tidak Pantas Mendapatkannya
Gue rasa kita semua pernah merasa kecewa dan marah yang teramat sangat pada seseorang, hingga rasanya begitu sulit untuk memberikan maaf pada orang tersebut. Boro-boro maaf, melihat dan membayangkan mukanya saja bukan main malasnya! Huh!
Rasanya pengin orang itu juga ikut merasakan sakit dan kekecewaan yang sama—bahkan lebih—dari yang kita alami. Apalagi seringkali, mereka nggak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sudah menyakiti kita. Kita jadi makin marah dengan fakta tersebut.
Kita lalu menceritakan perilaku orang itu pada sahabat, orangtua, pacar, dan siapa pun yang mau mendengarkan. Ada orang yang susah percaya, karena masa sih ada orang yang bisa berperilaku separah itu? Kita pun berusaha meyakinkan mereka dengan mengulangi beberapa bagian cerita.
Setelah memuntahkan semua itu, apa yang kita rasakan? Apakah lega?
Gue rasa nggak, karena kita belum bisa mendapatkan closure di balik “Kenapa dia bisa melakukan hal itu?”
Kita tidak membutuhkan validasi dari orang lain, tapi kita butuh jawaban.
Sayangnya, kita harus menelan pil pahit bahwa jawaban tersebut nggak akan kita dapatkan dari mereka. Soalnya, kita sudah memutuskan kontak dengan orang itu, kita bahkan sudah nge-mute mereka di WhatsApp dan akun media sosial lainnya, bahkan juga nge-block agar tidak lagi terganggu dengan bayang-bayangnya.
Orang tersebut juga biasanya bukan tipe orang yang bisa berkomunikasi dengan baik selayaknya orang dewasa normal. Jadi, pupus sudah harapan bahwa kita bisa mendapatkan closure darinya. Tapi nggak masalah, kita sudah nggak lagi berhubungan dengannya, jadi seharusnya kita sudah terbebas darinya, iya kan?
Sayangnya lagi, hidup kita tetap tidak tenang. Kita kira dengan membuat boundaries, kita akan terbebas dari rasa sakit hati. Namun, seberapa keras kita berusaha melupakan, krenyit-krenyit di dada masih terasa saat teringat orang itu. Amarah dan kekecewaan juga kembali muncul ke permukaan saat bersinggungan dengan topik soal dirinya.
Di sinilah saatnya kita mulai menerapkan perjalanan pengampunan.
Perjalanan pengampunan demi hati yang tenang
Gue meminjam istilah “perjalanan pengampunan” dari buku Haemin Sunim yang berjudul The Things You Can See Only When You Slow Down. Bab Perjalanan Pengampunan dimulai dari halaman 124–137.
Pembahasan serupa kembali disentuh olehnya di buku kedua berjudul Love for Imperfect Things. Kali ini berada di halaman 192–209 pada bab Saat Pengampunan Terasa Sulit. Di buku kedua ini juga ada contoh konkret tentang perjalanan pengampunan supaya kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas.
Pada dasarnya, perjalanan pengampunan adalah perjalanan untuk memaafkan orang yang menyakiti atau mengecewakan kita.
Terdengar sulit dan mustahil, tapi gue berhasil melakukannya di awal tahun ini untuk dua orang sekaligus. Sekarang gue sudah nggak lagi merasa benci dan marah ketika mendengar nama mereka, emosi gue sudah cukup netral dan gue puas dengan itu.
Saat ini gue sedang memulai perjalanan pengampunan kedua gue, karena lagi-lagi gue merasa kecewa dan marah, tapi orangnya berbeda dengan yang sebelumnya. Memang manusia nggak akan terhindar dari pengalaman mengecewakan, ya.
Gue memutuskan untuk memaafkan bukan karena gue mau melupakan kesalahan orang itu, tapi demi mendapatkan ketenangan. Gue mau tidur nyenyak tanpa dibayangi wajahnya ketika gue memejamkan mata.
Cara memaafkan mereka yang menyakiti kita
Haemin Sunim mengajarkan cara yang terdengar simpel dalam memaafkan, yakni berempati. Nggak, kalian nggak salah baca. Haemin Sunim meminta kita untuk berempati dan menanamkan belas kasih pada orang-orang itu.
Kok bisa? Kan mereka brengsek sekali, membuat hidup kita nggak tenang dan bikin emosi negatif yang sebelumnya nggak pernah kita rasakan jadi keluar meluap-luap. Bisa-bisanya menyuruh kita untuk berempati?!
Tenang, jangan emosi dulu. Pada awalnya, gue juga merasa cara ini nggak adil, gue merasa mereka juga harus menderita dong! An eye for an eye, am I right?
Wrong.
Sebab, gue jadi terus menunggu kapan kemalangan-kemalangan akan menimpa mereka. Gue jadi terobsesi dengan ketidakbahagiaan mereka. Gue puas kalau mereka menderita. Duh, kok gue jadi ikutan jahat? Jangan-jangan gue pelan-pelan berubah jadi seperti mereka? Nggak mau!
Gue juga berharap pada sesuatu yang berada di luar kontrol gue. Memangnya kapan mereka akan menderita? Besok? Minggu depan? Tahun depan? Masa gue masih mau terus menunggu kayak gitu sih?
Gue juga bukan tipe orang yang nggak suka melihat kebahagiaan orang lain. Gue nggak akan membiarkan diri gue menjadi orang yang bitter seperti itu—seperti mereka.
Gue harus segera memaafkan mereka supaya hidup gue bisa terus berlanjut tanpa awan gelap di hati gue.
Ini dia rangkuman cara memaafkan dari dua buku Haemin Sunim:
- Biarkan segala perasaan yang ada di diri kita muncul ke permukaan. Jangan tahan-tahan air mata, marah, dan kecewa, lepaskan saja. Wajar sekali kalau kita sedih dan kesal, semua emosi yang kita rasakan valid.
- Identifikasi kenapa kita merasakan emosi tersebut. Apa di balik kemarahan, ada rasa malu? Mungkin di balik kesedihan, ada kegelisahan atau ketidaknyamanan? Dengan mengamati penyebab-penyebab ini, kita jadi bisa memahami apa yang sebenarnya membuat kita merasakan emosi negatif itu, alih-alih hanya meledak-ledak tanpa arah. Cara ini biasanya akan membuat hati perlahan lebih tenang.
- Mulai menelaah kira-kira apa yang membuat orang itu menyakiti kita. “Lihatlah apa yang ada di balik penderitaan mereka,” ujar Haemin Sunim. Gue setuju sama apa yang dibilangnya di sini, nggak mungkin orang yang bahagia bisa berbuat jahat ke orang lain. Jadi, pasti orang itu punya background atau fondasi yang kurang baik dalam hidupnya. Mungkin dia diremehkan oleh orang-orang di sekitarnya, mungkin dulu orangtuanya nggak merawatnya dengan baik, mungkin dia nggak punya teman untuk cerita, dan banyak alasan lainnya.
- Memahami latar belakang mereka. Kita sudah tahu beberapa kemungkinan kenapa mereka melakukan tindakan yang menyakiti kita. Sekarang saatnya kita membuka hati untuk memahaminya. “Oh, dia berkata kasar ke gue karena orangtuanya terbiasa memakinya” atau “Dia berusaha menjatuhkan gue karena dia frustrasi dengan pekerjaannya.”
Sekali lagi, cara ini bukan untuk membenarkan apa yang sudah mereka lakukan pada kita, melainkan supaya kita bisa lepas dari rasa dendam yang bergejolak di diri kita.
Dengan memahami mereka, hati kita perlahan akan memberikan rasa iba padanya. Bahwa di balik mereka yang angkuh, ada orang yang sepanjang hidupnya selalu diremehkan. Di balik mereka yang nggak memedulikan perasaan kita, ada orang yang nggak memiliki teman untuk bertukar cerita.
Hurt people hurt people itu benar adanya.
Bagi gue, metode ini berhasil karena gue nggak lagi memiliki rasa dengki dan dendam pada mereka. Gue malah jadi kasihan dengan hidup mereka yang tidak bahagia.
Pantas saja mereka menyakiti orang, karena mungkin mereka sendiri tidak menyadari bahwa yang mereka lakukan itu salah. Itu adalah respons otomatis mereka untuk melindungi diri mereka yang sebenarnya lemah.
Perjalanan pengampunan memang bukanlah sesuatu yang mudah, gue pun masih terus mempelajarinya. Memori buruk juga bakal datang dan pergi, tapi seiring berjalannya waktu, emosi-emosi negatif itu nggak akan lagi sekuat dulu.
Dari emosi yang awalnya berbentuk seperti kobaran api, semoga perlahan akan menjadi api kecil di lilin. Kita tinggal menunggu datangnya angin lembut, lalu tanpa perlu usaha lebih, emosi itu akan padam dengan sendirinya.