Burung Yang Mana Sih?
Memikirkan Kemungkinan Baru Setelah Bubaran Menonton ^Burung Bukan Sembarang Burung^ dari Teater Zat.
Tempo hari Teater Zat telah mementaskan drama yang berjudul Burung Bukan Sembarang Burung. Ini merupakan naskah adaptasi mereka terhadap naskah Malam Jahanam karya Motinggo Boesje. Pada satu sisi, mungkin ada orang yang menilai bahwa adaptasinya terlalu berlebihan karena mengubah drama yang sebenarnya tragedi menjadi komedi. Pada sisi lain, mungkin ada juga yang melihat kemungkinan tantangan baru dalam proses adaptasi. Dalam tulisan singkat ini saya mencoba untuk bolak-balik pada dua sisi itu.
Naskah Motinggo ini sebenarnya merupakan salah satu tonggak penting dalam drama beraliran realisme dalam sejarah teater modern Indonesia. Selayaknya drama realis, naskah ini berupaya menjelajahi lorong-lorong yang dalam dari jiwa manusia. Saya kira, ketika menuliskan karyanya ini, Motinggo Boesje dipengaruhi juga oleh pemikiran Sigmund Freud, salah satu ahli psikologi yang teorinya memang banyak dijadikan inspirasi dalam proses penciptaan karya sastra, terutama oleh para pengarang beraliran realis sejak era 1940-an. Salah satu yang memulainya dalam konteks novel Indonesia adalah Armijn Pane melalui karyanya yang berjudul Belenggu. Sejak itu eksplorasi terus dilakukan oleh pengarang-pengarang kita, termasuk Motinggo Boesje.
Bahkan, pengaruh Freud meluas juga ke dalam pembentukan genre cerita yang kemudian dikenal sebagai genre thriller. Genre yang sebelumnya sudah dipelopori oleh seorang pengarang Amerika, yaitu Edgar Allan Poe — yang cerpen-cerpennya sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kemudian menjadi lebih eksploratif dalam mengangkat bagian-bagian yang misterius dan tak terduga dari jiwa manusia berkat ilham dari teori Freud itu. Inilah yang kemudian disebut secara khusus sebagai genre thriller psikologis.
Dalam naskah Malam Jahanam kita bisa melihat kembali sebagian ciri dari thriller psikologi itu. Dari teori Freud, kita bisa memahami mengapa seseorang yang kelihatannya maskulin, pemberani, dan kuat, ternyata menyimpan ketakutan yang dalam. Jadi, maskulinitasnya hanyalah bungkus atau cover untuk menyembunyikan ketakutan dan kelemahannya. Dari teori itu, kita juga bisa memahami bagaimana seseorang yang begitu berusaha untuk tampil atau terlihat sukses, bergaya seperti orang sukses, banyak bicara tentang betapa suksesnya dia, sebenarnya lagi-lagi itu hanyalah cover untuk menyembunyikan kekosongan, kesepian, dan rasa rendah dirinya.
Dari teori itu pulalah kita jadi mengerti bahwa manusia menampilkan dirinya secara berganda: di hadapan orang banyak dan di hadapan dirinya sendiri. Jika seseorang terlalu sering menampilkan dirinya di hadapan orang banyak saja, maka dia lama-lama melupakan diri yang ada di hadapan dirinya sendiri. Diri yang terlupakan inilah yang kemudian menjadi alam bawah sadarnya, sedangkan diri yang publik itu hanyalah alam sadarnya.
Saya kira Motinggo Boesje ingin memperlihatkan kebergandaan jiwa manusia ini dalam tokoh Mat Kontan di naskahnya. Mat Kontan selalu berlagak petantang-petenteng sebagai orang yang kuat dan pemberani, orang yang selalu menang judi dan karenanya pintar, orang yang sukses dalam ekonomi (dalam ukuran kultur dan kelas sosial masyarakatnya, itu ditandai dengan banyaknya burung piaraan yang dimiliki), dan orang yang sukses dalam berumah tangga (ukurannya: punya istri yang cantik), serta seorang lelaki tulen (ukurannya: punya anak, jadi tidak mandul atau impoten).
Namun, seiring dengan perjalanan adegan dalam naskah ini, kita kemudian mengerti betapa sebenarnya Mat Kontan menyimpan rasa takut dan kepengecutan yang dalam. Ini terkait dengan peristiwa traumatik yang dialaminya di pasir isap. Dia juga bukanlah lelaki tulen sebab ternyata impoten, sedangkan anaknya itu adalah hasil hubungan gelap istrinya dengan tetangganya, yaitu Soleman. Dan, burung yang selama ini dia bangga-banggakan ternyata hanya berfungsi untuk membongkar semua hal yang ditutupi selama ini. Burung kesayangannya justru berusaha memperlihatkan kenyataan yang tidak mau dilihat oleh Mat Kontan.
Alhasil, seluruh sosok diri yang dibangun dan diperlihatkan Mat Kontan kepada orang lain di lingkungannya menjadi hancur-berantakan. Dia harus berhadapan kembali kepada dirinya sendiri. Seluruh bangunan penyangkalan (denial) terpaksa harus diakui. Di sinilah letak tantangannya memainkan tokoh Mat Kontan ini, bagaimana menghidupkan dua sisi dari jiwa manusia ini ke dalam suatu akting yang wajar di atas panggung tanpa harus kehilangan misterinya sebagai sebuah thriller.
Saya kira pada titik inilah adaptasi Teater Zat atas naskah ini bisa dibilang kedodoran. Penyebabnya simpel saja: unsur komedinya kebanyakan. Komedi yang seharusnya hanya bumbu, kini dijadikan menu utama. Bahkan, demi memenuhi plot komedi itu — yaitu happy ending — diperlukan tambahan adegan di akhir yang memperlihatkan betapa Romlah (=Paijah di naskah aslinya) kini menjadi istri dari tetangganya yang adalah pasangan selingkuhnya dulu. So, everybody happy. Kecuali, tentu saja Mat Kontan alias Sabeni yang sudah koit.
Jika adaptasi ini memang dimaksudkan sebagai sebuah lenong, yang kita tahu memang berciri komedi, maka adaptasi seperti ini bisa saja diterima, cukup dapat dimaklumi. Namun, kalau dipikir-pikir lagi, sebagai lenong pun juga tidak cocok sebab unsur tragedi dari naskah aslinya juga tetap kuat membangun plot inti dari adaptasi ini. Karen itu, kalaupun ini dimaksudkan sebagai sebuah sintesis antara komedi dan tragedi, maka saya pikir sintesisnya belum menjadi keterpaduan yang utuh.
Dengan demikian, muncul pertanyaan — yang ingin saya biarkan tidak saya jawab, siapa tahu bisa menjadi pancingan untuk proses kreatif Teater Zat lebih lanjut. Bagaimana menemukan suatu ramuan sintesis yang terpadu dan utuh antara lenong dan naskah Motinggo Boesje ini? Saya kira, cerpenis Zen Hae sudah memberikan jalan rintisan yang menarik melalui cerpen-cerpennya, terutama yang dikumpulkan di kumcer Rumah Kawin. Saya kira, rintisan ini dilanjutkan lagi oleh Ben Sohib dalam kumcernya Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang. Dari karya-karya kedua pengarang ini kita dihadapkan pada Betawi yang lain, yang berbeda dari Betawi streotipe ala lenong rumpi di televisi. Karya mereka harus dikulik lebih jauh untuk nantinya bisa menemukan jalan bagi sintesis yang utuh mengenai tragi-komedi dalam wujud lenong. Siapa tahu dari sini lahir semacam Lenong Baru?